Dua Puluh Dua

1.1K 73 0
                                    

03 Juni 2018

Beruntung saat aku duduk di salah satu bangku di alun-alun ini Galih sudah datang. Dia menyodorkan minum kepadaku, lalu duduk di sebelahku sambil menyeka keringatnya. Air sedingin ini tetap saja tidak membantuku untuk mendinginkan hatiku yang panas. Untung saja letak bangku ini di bawah pohon besar yang memberi kami keteduhan. Aku menaruh botol tersebut di sampingku dengan sedikit keras. Selalu saja Kara mengganggu waktuku dengan Bara.

"Kenapa?" tanya Galih padaku.

Aku masih diam, mencoba menahan tangis ketika melihat Kara yang berada di samping Bara tadi.

"Gue nggak maksa lo buat cerita."

Galih menyandarkan punggungnya di bangku dengan satu kaki terangkat. Kedua tangannya bergerak memutar-mutar pergelangan kakinya dengan suara ringisan yang tidak terlalu keras. Aku meliriknya sebentar, lalu kembali meneguk minumanku dan ikut menyandarkan punggung di bangku.

Melihat Galih seperti itu, aku merasa kalau dia baru saja terkilir. Dengan hati-hati aku menyingkirkan tangan Galih dan mulai memijit dan sedikit memutarnya. Galih sempat menolak, tapi aku memaksa untuk mencoba memijit dan sesekali memutar atau mencoba memggerakkan pergelangan kakinya.

"Tadi gue ketemu Bara," kataku membuka suara.

Aku melepas sepatunya dan mencoba memutar pergelangan kakinya dengan hati-hati.

"Gue kira dia sendiri," terdengar rintihan kesakitan dari Galih, "Ternyata sama Kara."

Kini aku kembali memakaikan sepatunya dan meluruskan kaki Galih. Dia mencoba menggerakkan pergelangan kakinya yang sakit dan berdiri untuk memastikan kalau sudah sedikit membaik.

"Thank's."

Aku hanya mengangguk, lalu menarik tangan Galih agar dia mendengarkan ceritaku. Galih menurut saja, dia memposisikan duduknya sedikit menyamping sambil menatapku untuk kembali melanjutkan ceritaku.

"Padahal, gue baru aja ngobrol dikit. Tiba-tiba Kara dateng sambil bawain minum. Gue juga pengen kali, berada di posisi Kara," lanjutku dengan tatapan menurun pada botol yang ada di samping Galih.

"Oh."

"Anj- HEH! Cuma gitu doang?!"

Galih mengangkat kedua alis, "Terus?"

Aku ingin sekali mengumpat saat ini, tapi masih bisa kutahan. Aku merapatkan bibir, menarik napas sedalam-dalamnya untuk meredakan emosi yang sudah memuncak. Dengan santainya, Galih malah berdiri dan menyiramkan minumku untuk membasuh wajahnya.

Aku membuka mulut, ingin memprotes lagi, tapi kembali merapatkan bibir ketika Galih pergi begitu saja meninggalkanku dengan keterkejutan yang nyata.

"Setan!" aku berdiri dan mencak-mencak tidak jelas untuk menyalurkan emosiku.

Tidak peduli beberapa orang memandangku dengan tatapan aneh intinya sekarang aku benar-benar kesal kepada Galih. Aku mengepalkan tangan, segera berlari mengikuti Galih yang sudah jauh dariku. Cepat sekali jalannya.

"HEH! SINI LO!" kupercepat langkahku dan langsung memukul punggungnya dengan keras saat tiba di belakangnya.

Galih mengaduh kesakitan, tapi aku sudah terlanjur kesal. Jadi, lebih baik aku berjalan terlebih dahulu dan langsung pulang tanpa mempedulikan cowok itu. Napasku memburu ketika aku mulai berlari menjauh dari Galih. Keringat sudah membasahi tubuhku, juga kepalaku kini lebih pening dari sebelumnya.

"Lel!"

Sekedar menoleh saja kepalaku terasa berat, apalagi membuka suara. Kudengar suara langkah kaki mendekat ke arahku, dan langsung menarik tanganku hingga aku berhenti dan membalikkan tubuhku menghadap Galih.

"Lel, sorry lah."

Aku sudah tidak kuat lagi. Terakhir aku hanya melihat wajah Galih dan selanjutnya aku benar-benar kehilangan tenagaku.

°°°

Yang pertama kali kulihat saat membuka mata adalah langit-langit kamarku. Kepalaku masih sangat pusing, tenagaku seakan menghilang tiba-tiba. Kucoba menggerakkan tangan untuk menyibak selimut, disini terasa panas. Baru saja aku menyibakkan setengah selimutku, tiba-tiba ada tangan yang kembali menutupi tubuhku menggunakan selimut, malah mencapai daguku. Aku hafal betul siapa yang berada di sampingku saat ini.

"Jangan gerak dulu," katanya dengan suara serak seperti orang baru bangun tidur.

Aku hanya diam, memejamkan mata sebentar untuk menghilangkan rasa sakit di kepalaku ini. Beberapa detik kemudian aku menghirup napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku menoleh ke samping, mendapati Galih yang tidur dengan posisi duduk di kursi belajarku dan tangan yang terlipat di atas perut.

"Gue haus, Gal," ucapku pelan.

Kukira Galih tidak mendengarnya, ternyata aku salah. Galih langsung membuka mata dan berdiri untuk mengambilkan minum di nakas. Galih membantuku untuk setengah duduk dan menyodorkan gelasnya ke mulutku untuk minum. Setelah selesai minum, aku kembali dalam posisi tidur. Aku melirik ke arah pintu yang terbuka, sepertinya sedang sepi di rumah.

"Mama kemana?" tanyaku.

Galih mengusap rambutnya sebentar, "Gue kesini tadi udah nggak di rumah. Cuma Kak Ardo aja, dia belum berangkat kuliah."

Oh iya, aku ingat sekarang. Mama pasti sedang pergi ke acara arisan teman lamanya di komplek sebelah. Tapi... Bukannya acaranya siang? Aku terdiam sebentar, sebelum akhirnya melebarkan mata melihat jam dinding di kamarku.

"Aiish!" aku memijit pangkal hidung.

"Kenapa?" tanya Galih heran.

Aku mendengus keras, lalu menoleh pada Galih, "Berapa jam gue pingsan?"

Galih melihat jam tangannya sebentar, "Tadi lo pingsan jam tujuh, sekarang jam sebelas. Empat jam."

Cukup lama. Dengan sekuat tenaga aku bangkit dan menarik tangan Galih untuk keluar kamar. Gerah sekali disini, apalagi aku juga lapar. Kakiku terasa lemas untuk berjalan, tapi aku harus menuruni anak tangga agar sampai di bawah.

Tanpa kuduga, tiba-tiba Galih langsung mengangkat tubuhku dengan gaya ala bridal style seperti ini.

"Heh! Ih, jijik banget! Turunin gue, Gal!" teriakku sambil memukul bahu Galih dan menjambak rambutnya.

Galih hanya diam, tapi sesekali juga menghindari pukulanku. Dia menuruni anak tangga dengan santai, seperti tidak merasa keberatan sama sekali.

"KAK ARDO, TOLONGIN GUE DONG!" teriakku sambil menggoyang-goyangkan kaki.

"Dah, diem."

Galih menurunkanku di sofa ruang keluarga. Dia langsung pergi begitu saja saat Kak Ardo memanggilnya dari arah dapur. Aku mendengus kesal, merapikan rambut dan berbaring di sofa ini.

























Jangan lupa vote dan komen yaaa! Thx.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang