Dua Belas

750 51 1
                                    

29 Mei 2018

Setelah berjalan selama sekitar tujuh menit, aku dan Galih sudah sampai di danau yang kumaksud. Danau disini tidak terlalu luas, tapi lumayan banyak yang datang jika sudah akhir pekan. Sayangnya, ini hari kamis.

Aku menduduki bangku putih di sebelah danau, lalu diikuti Galih yang duduk di sebelahku, menyisakan jarak kira-kira satu dengkal. Galih menyandarkan tubuhnya, menikmati terpaan angin malam. Aku hanya menghela napas, menyiapkan diri untuk mendengar penjelasan Galih. Setelah sekitar dua menit kami diam, aku memilih membuka suara.

"Jelasin."

Galih menarik napas, memposisikan tubuhnya menghadapku, "Gue udah tau sebelumnya."

Saat aku hendak membuka suara, Galih mencegahku, "Dengerin penjelasan gue sampai selesai dulu."

Aku mengangguk, membiarkan Galih menjelaskan semuanya. Galih menarik napas lagi, "Gue kira, pertemuan ini cuma sekedar pertemuan antar rekan kerja perusahaan. Karena gue, cuma sekedar menuruti omongan mereka, tanpa berani membantah apapun itu. Apalagi Papa."

Ada penurunan suara saat Galih mengucapkan kalimat terakhir.

"Gue... Broken home."

Mataku melebar, hampir saja tanganku menyentuh tangan Galih saat dia mengatakan hal tersebut. Aku tidak percaya jika dia broken home, makan malam tadi keluarganya tampak harmonis.

"Semua itu sandiwara. Terserah lo percaya atau enggak, sebenernya Mama nggak pernah akur sama Papa. Gue dituntut untuk selalu nurutin kemauan mereka, karena gue udah tau risikonya."

Aku mengerutkan dahi, mencoba bersabar untuk tidak memgeluarkan suara.

"Gue sayang banget sama Mama. Dan risiko yang gue bilang tadi, itu risiko yang berdampak besar ke Mama," Galih menghembuskan napas berat, "Mama bakal kehilangan apapun yang dia punya, termasuk gue. Kalau Mama mau nurutin kemauan Papa, Papa nggak bakal bawa gue kembali ke Bali dengan wanitanya."

Sebelum aku bertanya, Galih sudah menjawabnya.

"Iya, Papa selingkuh. Tapi, Papa masih tinggal serumah dengan Mama, tanpa pernah menyapa sekalipun. Gue, nggak bisa apa-apa, selain ngehibur Mama dan berusaha bahagiain Mama. Perjodohan ini sebenernya, bentuk rasa terima kasih Papa gue ke bokap lo, karena bokap lo udah bersedia bantuin perusahaan Papa gue yang hampir bangkrut."

Ini benar-benar di luar dugaanku. Bagaimana bisa aku menjalani ini tanpa rasa cinta?

"Gue tadi sore denger Mama sama Papa berantem. Mama nggak mau gue dijodohin, tapi Papa tetep pada pendiriannya. Dan katanya, ini juga atas persetujuan bokap sama nyokap lo. Gue udah tau semuanya, tapi gue pura-pura kaget sama hal itu."

Galih menundukkan kepalanya, beberapa kali bergerak tak tenang.

"Gue... Nggak mau Mama kenapa-napa. Jadi, gue terima perjodohan itu. Dan... Maaf, kalo ini bikin lo sakit hati. Itu alasan gue."

Galih mengangkat kepalanya, menatapku tajam seakan menunjukkan kejujurannya berkata seperti itu. Matanya berkaca-kaca, aku bisa melihat dia memang sedang tertekan dengan hal ini. Begitu juga aku. Aku sudah tidak bisa menahan tangisku, membayangkan aku berada di posisi Galih membuatku sesak.

"Maaf. Jangan nangis."

Galih memajukan dirinya, menangkup wajahku lalu merengkuhku.

°°°

Penampilanku benar-benar kacau. Rambut tak tertata rapi, kantung mata yang sangat terlihat, dan seragam sedikit kusut membuat Wirdah meyebutku seperti zombi di film Train to Busan. Aku kehilangan semangatku hari ini, alasan yang sangat mendasariku seperti ini adalah soal kejadian kemarin. Memori tentang penjelasan Galih semalam masih terbayang di kepalaku, seolah terus.berputar-putar di atas kepala sebagai pajangan.

"Ck, capek sendiri gue liat lo diem!" ucap Wirdah sambil menggebrak meja kantin.

Aku terlonjak kaget, segera menguasai diri, "Hm? Udah selesai kan bayarnya?" tanyaku.

"Udah. Kenapa sih? Lo nggak mau cerita sama sekali ke gue," omel Wirdah sambil memajukan bibirnya.

Aku tertawa hambar, "Apa sih? Gue semalem marathon drakor. Ya gini jadinya," jawabku bohong.

Wirdah terlihat tak percaya, tapi lama-lama dia mengangguk juga. Dia mengajakku untuk kembali ke kelas, tapi aku menahannya karena melihat dua orang di pojok kantin. Dari wajah mereka, sepertinya yang dibicarakan sangat serius. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku memang penasaran.

"Lagi berantem," kata Wirdah seolah tau apa yang sedang aku pikirkan

"Kok tau?" tanyaku menoleh ke Wirdah.

"Gue tadi nggak sengaja lewat, denger-denger sih Bara nggak bales chatnya semaleman."

Aku kembali menatap mereka berdua dari kejauhan. Bara terlihat pasrah saat menghadapi amukan Kara di depannya. Rambutnya acak-acakan, seragamnya juga keluar. Aku ingin sekali menjadi orang pertama yang mendengar keluh kesahnya, tapi sepertinya mustahil.

"Gue kangen mereka, Wir."

Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Cinta memang mengubah segalanya. Tidak mudah mencintai sahabat sendiri. Kini aku benar-benar merasakannya, tidak ada lagi lelucon hanya canggung yang menyelimuti.

"Gue juga sebenernya. Tapi... Mau gimana lagi? Kara aja males buat nyapa kita," ujar Wirdah sambil mengajakku pergi dari kantin.

Aku diam saja saat Wirdah menarikku untuk keluar dari kantin. Di tengah perjalanan, pikiranku melayang, memikirkan kalimat yang terucap dari.mulut Galih.

Gue... Broken home.

Benar kataku, Galih memang misterius. Dia terlalu pintar menyembunyikan lukanya sendirian. Bahkan aku sendiri yang tidak merasakannya, justru ikut terhanyut dalam ceritanya.

"Oke," tiba-tiba Wirdah menghentikan langkahnya, membuatku juga berhenti, "Gue bener-bener udah kepo tingkat dewa ya! Mianhe nih kalo gue maksa, lo ada masalah apa sih?! Dari tadi lo ngelamun mulu. Lo denger gak gue dari tadi cerita apa?"

Aku mengerjap beberapa kali, lalu menampilkan cengiranku. Jadi, Wirdah sedari tadi sedang bercerita?

"Emang cerita apa?" tanyaku polos.

Wirdah mendecak, lalu mengangkat kedua tangannya seperti ingin mencakarku.

"Ya... Sorry, Wir," ucapku sambil tertawa.

Wirdah menurunkan tangannya, lalu menghela napas dan kembali berjalan. Aku mengikutinya, "Gitu dong!" ucap Wirdah.

Aku menghentikan tawaku, menatap Wirdah heran, "Wae?"

"Gue seneng liat lo ketawa lagi. Kalo liat lo murung gitu, bawaannya pengen nenggelamin lo ke laut!" aku kembali tertawa.

Ya, setidaknya, aku punya Wirdah yang bisa menghiburku.





















Nah, apdet juga kan? Iya, minta hotspot sama ayaaah.

Ya, meskipun temen aku tuh nggak pernah bisa kasih nasehat, dia pinter banget bikin aku ketiwi. Uh, mksh lah Diyah :* faradiyah123

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang