Dua Puluh Enam

1.1K 76 1
                                    

05 Juni 2018

Aku mencengkram erat kursi yang kududuki. Mataku menatap nyalang ranjang di depanku. Napasku naik-turun tak beraturan. Aku merasa kacau, aku merasa menjadi cowok yang tak berguna untuknya. Kenapa harus Lely yang terbaring lemah disini? Kenapa bukan aku? Kenapa Lely yang melindungiku dari pencuri itu? Kenapa bukan aku yang melindungi Lely?

Ingin sekali aku membalas dendam kepada pencuri keparat itu.

Syukurlah warga dan teman-teman Lely datang disaat yang tepat. Mereka akhirnya bisa menangkap pencuri itu dan langsung menyerahkannya pada polisi. Dugaanku dengan Lely salah. Itu bukan Rafi, hanya jaket saja yang sama.

Suasana dalam ruangan ini hening. Hanya alat bantu medis yang suaranya mendominasi ruangan ini. Luka tusukan di perut Lely cukup dalam, kami semua menyetujui jika Lely segera dioperasi jika keadaannya memungkinkan. Dan yang paling parah adalah benturan di kepalanya. Lely hampir saja mengalami gagar otak jika tidak segera dibawa ke Rumah Sakit. Itu karena Lely jatuh terlalu keras dengan kepala yang mendarat terlebih dahulu.

Semuanya sedang keluar, hanya aku yang menunggunya disini. Matanya terpejam damai, hembusan napasnya juga teratur, wajahnya pucat dan kepala serta perutnya dibalut perban.

"Bara tadi kesini," ucapku dengan suara serak.

Tanganku juga sudah diobati. Aku sangat berterima kasih kepada Lely yang melindungiku.

"Dia keliatan khawatir banget sama lo," aku mengusap wajahku, tidak tega melihat Lely terbaring lemah disini.

"Dia bilang besok pagi kesini lagi, buat minta maaf sama lo."

Suara pintu terbuka membuatku menoleh. Kak Ardo dan Kak Ardi datang sambil membawa tas yang mungkin berisi pakaian milik Lely. Hampir saja aku menjadi sasaran amukan Kak Ardi jika bukan Papa Lely dan Kak Ardo yang melerai. Sudah pantas aku diberi pelajaran karena lalai menjaga Lely.

"Udah malem, lo pulang aja," ucap Kak Ardo sembari menaruh tas di sofa.

Aku menurut, bangkit dari kursi dan langsung berpamitan pada mereka berdua. Kak Ardi juga sempat melempar senyum padaku, dan aku juga membalasnya.

°°°

Semalam aku tidur dengan perasaan tak tenang sama sekali. Aku hanya tidur selama satu jam, yakni dari jam empat pagi sampai jam lima pagi. Pikiranku tentu melayang pada kejadian semalam yang menimpaku dan Lely. Teman-teman sudah mengabari jika pelaku tersebut sudah masuk penjara, juga barang-barang milik sekolah sudah dikembalikan. Hari ini aku izin untuk tidak masuk sekolah, selain karena tubuhku yang masih sakit, juga aku ingin sekali bertemu dengan Lely.

Meskipun begitu, keadaan ini tidak mengubah apa yang terjadi dengan Mama dan Papa. Mereka tetap saja saling diam dan menjenguk Lely secara terpisah. Entah apa yang dikatakan mereka untuk alasan itu, tapi tetap saja aku sangat tidak menyukainya. Saat aku pulang dari rumah sakit, aku melihat Mama yang sedang minum di dapur sambil menatapku dengan senyuman tipis. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi tertahan.

"Habis sarapan, kamu ikut Mama ke Rumah Sakit ya?"

Aku nengangkat kepala, "Iya, Ma."

Kami berdua kembali melanjutkan sarapan. Papa jarang sarapan disini, hanya makan malam saja yang biasanya di jadwal empat kali seminggu. Rasanya ingin sekali mengeluarkan semua keluh kesahku, tapi aku tidak sanggup. Bagaimanapun juga, mereka yang merawat dan membesarkanku selama ini.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi, aku dan Mama sudah selesai sarapan. Kami bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit. Aku mengambil mobil di garasi, sembari menunggu Mama yang sedang mengganti pakaian. Tanganku sudah mulai pulih, hanya sedikit perih jika terkena air. Setelah memanaskan mesin mobil, aku menunggu Mama di dalam mobil sambil membuka ponsel.

Ada beberapa telepon masuk dari nomer tak dikenal, aku tak ambil pusing, lebih baik aku mengabaikannya. Jika nomer tersebut kembali menelepon, baru aku akan mengangkatnya. Mama memasuki mobil, dan aku segera menginjak gas menuju Rumah Sakit.

Dalam perjalanan, kami tidak banyak bicara. Hanya sesekali membahas sekolah dan kronologi kejadian semalam. Setelahnya, kami berdua saling diam.

"Bentar lagi Papa juga nyusul."

Aku menarik napas, hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin Mama sampaikan," aku masih diam, "Bukan Mama saja. Dari keluarga Lely juga."

Aku menoleh sebentar ke arah Mama, lalu kembali fokus menyetir, "Tentang perjodohan?"

"Iya. Tapi, melihat Lely mengalami kejadian ini, kami terpaksa menundanya."

Coba saja, aku bisa melindungi Lely, pasti tidak akan seperti ini ceritanya. Aku menghela napas berat saat mobilku sudah memasuki parkiran Rumah Sakit. Setelah memarkirkannya, aku dan Mama turun dari mobil.

Kami berdua menyusuri koridor yang cukup ramai. Setibanya di kamar Lely, aku menundukkan kepala, berjalan ke arah Mama Lely dan Kak Ardi untuk mencium tangannya. Kak Ardi menolak, tapi lebih memilih untuk memberi tos kepadaku karena usianya tak terlalu jauh denganku.

Mama Lely mempersilahkan kami duduk. Baru beberapa detik kami duduk, suara pintu terbuka membuat kami serentak menoleh. Disana, Papaku dan Papa Lely sedang berjalan menuju ke arah kami, lalu di belakangnya disusul dengan Kak Ardo. Pasti ada sesuatu penting yang akan disampaikan jika semuanya sudah mengumpul.

"Keadaan Lely, masih sama seperti yang kemarin. Jadi, belum bisa untuk dioperasi," Mama Lely membuka suara.

Suasana hening sebentar, hanya suara detektor detak jantung yang mengisi suara disini. Kulirik ranjang Lely, dia masih memejam damai dengan hembusan napas teratur.

"Kami dari pihak Galih beserta keluarga, meminta maaf yang sebesar-besarnya atas peristiwa ini," ucap Papa dengan tegas.

Aku menunduk, merasa sangat bersalah dengan keluarga ini, termasuk juga Lely.

Papa Lely berdeham, "Ini murni kecelakaan. Kami juga sudah memaafkan Galih, dia juga korbannya."

Setidaknya, aku bisa bernapas lega untuk sesaat karena mereka sudah memaafkanku. Tapi tetap saja, ada yang mengganjal jika aku tidak melihat Lely siuman.

"Galih," aku menoleh pada Papa, "Sebenarnya, acara pertunangan kalian akan diadakan beberapa bulan setelah kalian lulus SMA."

Aku mengulum bibir, merasa tidak nyaman dengan perjodohan itu. Bagaimana jika perasaan Lely masih sama? Dia tidak menyukaiku, apalagi untuk mencintai. Tapi aku, sudah terlanjur untuk jatuh padanya.






















Kamu sama aku aja, Gal :)
Dih.

Nah, yg pada ngabuburit, sini baca-baca cerita aku. Jgn lupa vote dan komen ye! Thx.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang