Empat

1.4K 98 8
                                    

25 Mei 2018

Suasana disini tidak terlalu ramai. Beberapa orang mampir kesini hanya untuk sekedar mengopi atau menghabiskan sisa sore bersama gorengan dan beberapa makanan ringan lainnya. Awalnya, aku berpikir Galih akan membawaku ke kafe dekat pertigaan sekolahku. Bukan aku terlalu percaya diri, tadi Galih mengatakan kalau tempat makan favoritnya ada di dekat sini. Jadi, aku berpikir jika kafe itu yang dimaksud Galih. Tapi, nyatanya aku salah. Galih membawaku ke warung kopi di sebelah kafe tersebut. Warung kopi ini tidak seperti warung kopi kebanyakan. Tempat duduknya lebih nyaman dengan kayu jati yang masih kuat, bangunannya tidak terlalu kecil, dan satu lagi yang membuatku tertarik. Ada papan tulis dengan tulisan 'Bahagia Itu Sederhana', yang ditulis menggunakan kapur berwarna biru dan putih.

Ada empat orang yang berada di warung ini, termasuk juga aku dan Galih. Satu orang sedang menghabiskan kopinya sambil ditemani televisi berukuran 21 inch yang tersedia di warung itu. Dan satunya lagi adalah pemilik warung kopi ini. Bu Lin namanya.

"Bu Lin, saya pesen teh hangat dua," ucap Galih sambil tersenyum ramah kepada wanita paruh baya tersebut.

Bu Lin mengangguk, langsung masuk ke dalam warungnya untuk membuatkan teh. Suara televisi yang menyala, dentingan sendok beradu dengan gelas, dan sepeda motor yang lewat menambah suasana santai bagiku. Baru kali ini aku duduk di warung kopi dengan seorang cowok yang bahkan aku baru mengenalnya selama dua hari.

"Ini, nak Galih," Bu Lin menaruh dua gelas berisi teh hangat di meja kami.

"Eh, ini siapanya, Nak?" tanya Bu Lin melirikku dengan senyum jahilnya.

Aku tersenyum canggung, ingin menjawab tapi sudah didahului Galih.

"Temen baru, Bu. Kenalin, Lely namanya," Galih memperkenalkanku.

Aku mencium punggung tangan Bu Lin sembari memperkenalkan diriku. Bu Lin orang yang ramah, beliau memberi senyum hangatnya sebentar lalu pergi ke dalam warung lagi. Galih meminum tehnya sebentar, disusul juga aku.

"Maksud omongan lo tadi apa?" tanyaku pada ke inti.

Galih melirikku sebentar, lalu membuang pandangan ke jalanan yang lumayan ramai oleh karyawan yang baru pulang kerja.

"Apa gue harus mengatakan secara frontal?" Galih balik bertanya.

"Kalo frontal kenapa?"

Galih mendesah pelan, lalu menatapku datar, "Oke. Gue akan bilang."

Aku mengangkat kedua alis, menunggu pernyataan dari Galih berikutnya. Cara Galih menatapku kali ini sangat intens, seperti mencari sesuatu dalam mataku. Dan itu membuatku risih.

"Lo suka Bara."

Aku mematung sebentar. Apa yang dikatakan Galih membuatku harus bertarung melawan isi hatiku sendiri. Apakah benar aku menyukai Bara? Tapi sejak kapan?

"Nggak! Jangan asal bilang gitu deh!" ucapku mengelak kalimat Galih tadi.

Galih tersenyum miring, "Gitu ya?"

"Hm."

°°°

Kenapa juga aku mau diantar Galih sampai depan rumah? Kalau saja aku tadi menolaknya, pasti Mama dan Papa tidak akan sesemangat ini menyambut kedatangan Galih. Pukul setengah enam petang, Galih sudah di rumahku selama sepuluh menit yang lalu. Aku sudah lelah, ingin sekali rasanya mengusir anak baru ini.

"Ma, ini udah mau malem loh. Kasian Galihnya," kataku mencoba memelas.

"Tuh, Gal. Lely aja perhatian sama kamu," Mama menjawabnya tenang.

Aku melebarkan mata, langsung menegakkan dudukku di samping Galih. Apa maksud Mama bilang seperti itu?

"Loh? Ada tamu nih. Pacarnya Lely ya?" tiba-tiba Kak Ardi muncul dari dapur sambil membawa gelas berisi air putih.

"Bukan, Kak. Saya temannya," jawab Galih masih mempertahankan senyumnya.

Aku berdecak, ingin sekali rasanya bangkit dari sofa dan langsung pergi ke kamar. Aku belum mandi. Aku lelah.

"Lel, Bara tadi nyariin tuh. Dia khawatir banget sama lo," ucap Kak Ardi langsung menaiki tangga.

Aku melebarkan mata seketika. Kenapa harus khawatir? Bukannya dia sendiri yang pulang bersama Kara? Hatiku rasanya sesak mengingat itu.

"Ehm, kamu deket banget ya sama Lely?" tanya Papa dengan senyum berkharismanya.

Aku memajukan bibir, langsung pergi dari ruang tamu menuju kamarku. Aku butuh sendiri. Aku ingin melihat Bara dari balkon kamarku. Aku juga ingin penjelasan dari Bara. Tidak peduli dengan orang-orang di ruang tamu tadi.

Lima belas menit waktu yang kubutuhkan untuk membersihkan tubuhku. Setelah itu, aku tidak ingin turun untuk makan malam dulu, aku ingin mengecek ponsel yang sudah empat jam lalu tidak kubuka. Ah, sial. Baterainya habis. Aku tidak jadi membuka ponsel karena aku harus menchargernya terlebih dahulu.

Saat aku berbalik hendak menutup jendela, aku melihat sesuatu dari kamar seberang. Ya, aku bisa melihatnya. Sangat jelas menurutku. Tangan dan mulutku sudah bergetar menatapnya, tapi mataku tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku meneguk ludah dengan susah payah, berusaha menguasai diriku yang rasanya sudah tidak kuat lagi berdiri. Kututup jendelaku dengan keras, tidak peduli jika kacanya akan pecah.

Disana, di kamar Bara. Ada Bundanya dan Kara yang sedang mengobrol dengan Bara yang sedang makan.












Huhuhu, deg-degan sekaliii nunggu hasil danem yg keluar!

Maaf-maaf jd curhat. Oke, jgn lupa vote dan komen ya! Jgn sider, tunjukkan sosok dirimu yg sebenarnya, eak.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang