Tujuh

1.3K 111 4
                                    

27 Mei 2018

Suasana canggung menyelimuti kami berempat. Aku duduk di sebelah Mentari, sedangkan Wirdah duduk di sebelah Kara. Kami berempat mendapat tugas untuk mencari ide pokok dan kesimpulan dari novel yang kami pinjam di perpustakaan saat ini. Mentari tampaknya terlihat lebih canggung dengan kondisi ini, terlihat dia beberapa kali berdeham dan mengganti posisi duduknya.

"Tinggal nyari kesimpulan aja," ucapku memecah hening.

Kara hanya melirikku, lalu membuka buku tulisnya tanpa berniat untuk menulis apapun disana. Sebenarnya, aku juga sangat tidak menyukai suasana seperti ini, bahkan, aku bisa sangat membenci diriku sendiri jika sedang ada masalah dengan seorang teman.

Suara ramai dari pintu perpustakaan membuat kami sekelas menoleh serentak ke arah sumber suara. Keramaian tersebut bersumber dari anak kelas lain yang sepertinya juga mendapat tugas yang sama. Aku hanya melirik sekilas, lalu kembali membaca novel yang berada di atas meja untuk mencari tugas terakhir.

"Hai."

Aku mendengar suara berat itu dengan jelas. Tidak salah, pasti dia di belakangku. Tapi, aku hanya diam menunduk, melanjutkan membaca novel di atas meja tersebut. Karena aku yakin, sapaan itu pasti ditujukan bukan kepadaku, melainkan seorang cewek yang kini sudah berdiri dengan senyuman mengembang.

"Kamu dapet tugas nyari ide pokok sama kesimpulan juga?" tanya Kara menggunakan aksen 'aku-kamu'.

"Iya," cowok itu berdeham, lalu menyentuh bahuku, "Lel–"

"Apa!?" aku langsung menepisnya. Beruntung suaraku tadi tidak terlalu keras.

Dengan gerakan cepat, aku mengemasi alat tulisku dan langsung keluar dari perpustakaan. Beberapa anak sempat menanyaiku akan pergi kemana, tapi aku hanya menggeleng dan tetap melanjutkan langkahku menjauhi perpustakaan. Bahkan aku juga melihat Galih yang tengah menatapku tajam, tapi aku hanya meliriknya sekilas.

Aku tidak ingin bertemu mereka. Tidak ingin mendengar suara mereka. Bahkan merasakan kehadirannya saja sudah membuat kepalaku ingin pecah. Tak terasa, langkahku tertuju pada toilet sepi di ujung koridor kelas sepuluh. Aku meletakkan peralatan tulisku dengan kasar di atas wastafel. Sudah cukup. Aku ingin menangis, tapi selalu saja tertajan. Aku juga tidak tau mengapa, tapi itu cukup membuatku tersiksa. Aku jadi tidak bisa mengeluarkan rasa kesedihanku yang sudah mencapai puncak, atau bahkan permainan ini baru dimulai?

Entahlah.

Aku memejamkan mata, berusaha mengendalikan emosiku. Bayangan-bayangan kebersamaan Kara dan Bara membuatku harus memejamkan mata semakin erat, juga harus mencengkram pinggiran wastafel. Tidak cukup sampai disitu, aku juga mengingat tatapan Bara semalam. Perlahan aku membuka mata, menatap diriku di cermin. Air mata sudah terlihat di pelupuk mataku, bibir yang bergetar, rambut sedikit berantakan, dan seragam yang tampak kusut. Padahal aku tidak melakukan hal-hal aneh.

Dan tepat saat aku melihat Galih berada di belakangku, saat itulah pertahananku pecah. Aku berbalik, langsung memeluk Galih. Beberapa detik kurasakan tubuhnya menegang, tapi kemudian berubah dengan napas yang teratur dan menenangkan. Galih mengusap belakang kepalaku, mencoba untuk memberi kekuatan. Sedangkan aku sendiri memejamkan mata erat, meremas seragam Galih dan menenggelamkan kepalaku di lekukan lehernya.

It's so hurt.

Bisa terdengar jelas suara isakanku di toilet ini. Galih masih diam, mungkin membiarkanku untuk mengeluarkan air mata yang tertahan beberapa hari ini. Sekitar dua menit, aku baru membuka mata. Hal yang pertama aku lihat saat membuka mata adalah melihat Wirdah berdiri tepat di belakang Galih dengan wajahnya yang prihatin kepadaku. Aku menghembuskan napas berat, kemudian melepas pelukan Galih.

Masih sama. Hening. Dan aku menunduk dalam, merasa kehilangan saat aku melepas pelukan tadi. Bisa kulihat dan rasakan, Galih menggerakkan tangannya untuk merapikan rambutku. Dia juga mengusap bahuku beberapa kali, sebelum Wirdah menerjangku dengan pelukan yang cukup erat.

"Gue nggak bisa liat lo sedih gini, Lel!" ucapnya dengan suara bergetar.

Aku hanya bisa mengusap punggungnya, berusaha terlihat tegar di depan mereka. Walaupun aku sudah menangis tadi. Setidaknya aku bisa sedikit menghilangkan kekhawatiran mereka dengan tersenyum tipis saat ini.

"Gue nggak papa, kok," jawabku dengan ragu di akhir kalimat.

"Gue benci lo ngomong gitu. Udah keliatan kalo lo itu lagi ada apa-apa."

Aku menghela napas berat yang kesekian kali. Perlahan aku melepas pelukan Wirdah dan menatapnya sambil tersenyum. Senyum palsu pastinya.

"Biarin gue sendiri," ucapku, kemudian melirik Galih yang menatapku tajam.

"Tapi, Lel. Lo itu but–"

"Biarin dia sendiri," Galih memotong kalimat Wirdah.

Wirdah hanya berdecak, lalu mengambil alih peralatan tulisku dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja. Beruntung, ini masih jam pelajaran. Aku sedikit tenang jika tidak ada yang melihatku menangis, kecuali dengan dua orang tadi.

"Ada gue, Lel."

Aku menoleh, mendapati Galih yang tersenyum tipis. Aku hanya mengangguk, membalasnya dengan senyuman tipis juga. Saat Galih hendak berbalik, aku menahan lengannya sebentar. Dia menoleh, menunggu kalimat yang ingin kusampaikan. Sebenarnya, sangat-sangat-sangat banyak yang ingin aku sampaikan saat ini, hanya saja, mulutku selalu susah untuk diajak kompromi. Jadi, kalimat yang keluar hanyalah ucapan terima kasih.

"Makasih, Gal."




















LELY, KAMU YANG SABAR YA! AKU JUGA PERNAH KOK KAYA GITU :')

Okey, jadi curhat. Seperti biasa, saya minta kalian tinggalin jejak seikhlasnya...

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang