Tiga

1.6K 99 7
                                    

24 Mei 2018

Aku melebarkan mata ketika kelas berubah hening. Aku bisa merasakannya. Mendengarkannya. Jelas sekali. Suara degupan jantung orang ini terdengar cepat. Dengan kesadaran yang belum penuh, aku melepas tangan kekar yang mengelilingi bahuku tadi. Galih. Orang itu adalah Galih. Satu kelas menatapku dengan tatapan yang tak bisa kubaca, bahkan aku bisa mendengar suara kipas angin yang berputar. Bola plastik menggelinding tepat di sebelah kakiku, lalu aku menggerakkan mataku ke atas lagi, tapi sedikit mendongak. Mataku bertemu dengan matanya.

"So-sori. Gue tadi nggak sengaja."

Aku menoleh ke belakang, mendapati Diat yang berjalan tergesa menghampiriku. Dia menjabat tanganku dengan tatapan bersalah, kini kelas kembali ramai seperti tadi.

"Nggak papa. Lain kali kalo main bola di lapangan, Yat," kataku menasehati atau lebih tepatnya menyindir.

Diat hanya mengangguk, lalu mengambil bolanya dan kembali ke kumpulan cowok yang bermain bola tadi. Aku membasahi bibir, menoleh ke arah Galih yang masih memandangku tajam.

"Eh, makasih ya. Gu-"

"Hati-hati."

Setelah itu Galih duduk dan mengambil bukunya yang sempat dimasukkan ke dalam tas tadi. Saat aku melirik Bara, aku benar-benar tidak tau apa yang ada di pikirannya. Yang kutangkap dari mataku hanyalah lirikan tajam dengan kedua tangan yang terkepal kuat di atas meja.

°°°

"HAH?!"

Aku membungkam mulut Wirdah dengan satu tangan. Selalu saja seperti ini. Wirdah menurunkan tanganku pelan-pelan, lalu melebarkan mata memandangku.

"Beneran lo dipeluk?!" tanya Wirdah dengan suara berbisik tapi masih bisa di dengar Kara yang berada di sampingku.

"Ih! Itu kan nggak sengaja!" jawabku kembali melahap batagor yang kupesan tadi.

"Terus, Galihnya gimana?" kini giliran Kara yang bertanya.

Aku meletakkan garpu, "Datar. Tanpa ekspresi."

Kara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi, mengapa aku semakin merasa aneh dengan Kara? Apa ini hanya efek canggung karena dua minggu lebih tidak bertemu dengan Kara? Apapun itu alasannya, aku merasa ada yang ganjil dengan ini semua. Apalagi saat Kara membuang muka kepadaku dua hari yang lalu, itu sungguh di luar dugaanku.

"Gue nggak tau ya..." ucap Wirdah sambil menelan makanannya, "Ini mungkin cuma perasaan gue aja. Gue tuh, ngerasa Galih sosok misterius gitu."

Aku juga merasakannya.

"Misterius gimana?" Kara bertanya.

"Bener apa yang dikatakan oleh seorang cewek bernama Mutia Lely Anjani," Wirdah melirikku sebentar, "Galih memang aneh."

"Nggak mudah ketebak?" Wirdah menjentikkan jarinya.

Ya, memang aku juga merasa seperti itu. Aku tau, sepertinya di balik kacamata dan buku yang selalu menemaninya, pasti ada rahasia yabg tersimpan. Aku tertarik dengan itu.

"Eh iya, Wir, gue nanti pulang bareng Bara."

Apa?! Bukannya Bara...

"Sori, Lel. Bara tadi bilang, dia mau nganterin gue beli novel juga," kata Kara dengan tatapan bersalahnya.

Aku ingin membuka mulut, menyuarakan protesku. Tapi, semuanya harus tertelan kembali ketika melihat Kara tersenyum miring padaku. Siapa yang disini mempermainkanku? Bara? Kara?

"Oh gitu. Yaudah, hati-hati," jawab Wirdah tenang.

Aku mencoba tersenyum menanggapinya, walaupun aku harus meremas rok di bawah meja. Dengan perasaan campur aduk, melirik Kara sekilas yang masih mempertahankan senyuman miringnya kepadaku.

Dan aku baru sadar. Jika permainan ini baru dimulai.

°°°

Aku berjalan sendiri menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Setelah melaksanakan kewajiban piketku, aku tidak langsung pulang, melainkan mendengarkan protes-protes yang tertahan untuk disuarakan kepada Bara. Aku ingin sekali menghubungi Bara, meminta penjelasan apa maunya. Tapi, lagi-lagi aku tidak bisa. Kenapa hatiku selalu seperti ini jika melihat Bara dengan cewek lain?

Ugh, aku sangat membencinya.

Koridor kelas XI sepi, hanya ada beberapa anak yang masih mengerjakan piketnya sepertiku tadi. Aku menyelipkan rambutku ke belakang kepala. Rambut pendekku ini adalah hasil perdebatanku dengan Mama satu minggu lalu. Aku ingin sekali memotong rambutku yang awalnya sepinggang menjadi sebahu. Tapi, Mama tidak mengizinkannya begitu saja. Dan aku juga, tidak mau menyerah untuk membujuk Mama. Alhasil, Mama mengalah.

"Lo nggak bisa terus-terusan nyembunyiin perasaan itu."

Aku mendongak, menatap seorang cowok yang berdiri tepat di depanku. Kacamata hitam yang selalu dia pakai kini dimasukkan ke dalam saku. Aku berhenti ketika Galih berjalan mendekatiku. Seperti biasa, Galih menatapku tanpa ekspresi dan aura misterius itu kembali terpancar.

"Maksud lo?" aku mengerutkan dahi tak mengerti.

"Sepandai-pandainya lo nyembunyiin bangkai, lama-kelamaan kecium juga baunya," lanjutnya.

Aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan Galih ini. Aku berpikir seolah-olah aku adalah seorang anak kecil yang mencuri uang diam-diam di dalam dompet Ibunya.

Aku tertawa kecil, "Lo ngomong apaan sih? Gue nggak ngerti."

Galih menghembuskan napasnya perlahan. Dia maju mendekatiku, dengan senyum tipis yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Benar-benar tipis, mungkin saja orang lain menganggap itu bukan senyuman. Aku juga tidak tau jin mana yang merasukiku untuk berjalan juga mendekati Galih. Lalu saat Galih sudah tepat di depanku, Ia mengulurkan tangan, menyambutku kali ini dengan senyuman yang tidak terlalu lebar terlihat di wajahnya.

"Wan't to share a story?"

Dan aku menyambut uluran tangannya.

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang