Tiga Belas

989 55 2
                                    

29 Mei 2018

Aku harus menyelesaikan piketku dengan cepat. Wirdah menungguku sambil bermain ponsel di kursinya, dia memang sengaja menungguku karena ingin pergi ke mall sebentar. Sebenarnya aku juga ingin pulang, tapi melihat wajah Wirdah saat memohon meminta ditemani kesana, aku pun menurutinya. Kini, di kelas tinggal aku, Wirdah, Saipul, dan Dea.

"Eh, denger berita laptop kantor ilang nggak?" tanya Dea sambil menghapus papan tulis.

Aku mengerutkan dahi, "Kapan tuh beritanya?"

"Kemaren," jawab Saipul tenang masih sibuk dengan meja dan kursi yang harus dirapikan.

"Pinter banget deh malingnya," timpal Dea lagi, "Padahal ada CCTV, dia tuh nggak ketahuan sama sekali."

"Pake topeng?" tanya Wirdah, kini memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Enggak. Orangnya pake topi sih katanya. Selain laptop, dia ambil beberapa uang di brankas."

Aku hanya diam mendengarkan. Bagaimana bisa wajah maling tersebut tidak dikenali, padahal dia hanya memakai topi? Suasana kembali lengang, hanya ada suara meja dan kursi yang digeser oleh Saipul, termasuk juga sapuku yang terkadang mengenai pinggiran meja.

"Trus CCTV nya?" tanya Saipul, kini mengambil tong sampah di belakang kelas.

"Ya gitu deh. Gue nggak tau kelanjutannya," jawab Dea mengembalikan penghapus ke tempatnya.

Selesai menyapu, aku segera mengembalikan sapu tersebut ke pojok kelas, lalu berpamitan pada Dea dan Saipul. Aku dan Wirdah berjalan beriringan di koridor yang nampak sepi. Hanya ada beberapa anak ekskul yang masih berkeliaran disini, ada juga penjaga kebun yang masih sibuk membersihkan sekolah. Dari arah berlawanan, terlihat jelas Galih yang sedang membawa buku dan masih memakai kacamata m. Tumben saja belum pulang?

"Itu Galih kan?" tanya Wirdah menyenggol lenganku.

Aku mengangguk. Galih terus menatapku, membuatku penasaran mengapa dia masih di sekolah. Aku dan Wirdah memelankan langkah saat Galih sudah dekat dengan kami. Dia melepas kacamatanya, lalu mengulurkan tangan kepadaku.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

Tanpa persetujuanku, Galih menggandeng tanganku, membuatku memekik karena kaget. Wirdah juga tak kalah hebohnya, bahkan dia berjalan mendahuluiku dan langsung menghalangi kami untuk segera berhenti.

"Woh woh! Kalian pacaran!?" aku langsung melepas genggaman tangan Galih lalu menginjak kaki Wirdah.

Aku menggaruk belakang telinga, bingung harus menjawab apa. Namun, Galih dengan santainya mengangguk, membuatku harus menahan napas seketika. Sedetik kemudian, ekspresi Wirdah berubah drastis. Dia langsung melotot, menganga lebar, lalu kemudian berteriak. Astaga, mengapa dia seheboh ini?

"WIRDAAAH!" aku membungkam mulut Wirdah, memberi peringatan agar dia berhenti melakukan hal seperti ini.

Wirdah melepas tanganku, tapi masih mempertahankan ekspresi terkejutnya. Galih? Dia hanya diam, dengan santainya memasukkan bukunya ke dalam tas.

"Demi Sehun yang belum jadi pacar gue, elo jadian sama diiiaaaa?!" pekiknya sambil menunjuk Galih yang memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Aku berdecak, "Apa sih?! Diem nggak!" aku melipat kedua tangan, menatap Galih sebal, "Elo, jangan ngaku-ngaku jadi pacar gue!"

Galih mengedikkan bahu, "Gue pengen ngomong serius sama lo."

Lagi, Wirdah kembali memekik heboh, membuatku ingin mendorongnya dari lantai dua ini. Tapi, melihat ekspresi Galih yang serius, membuatku jadi penasaran dengan apa yang ingin dibicarakannya denganku. Aku menoleh ke arah Wirdah, menyuruhnya untuk diam.

"Gini aja, lo temenin kita ke Mall dulu, baru kita bisa ngomong," kataku ke Galih.

"Ngapain?"

"Nemenin dia beli novel," aku menunjuk Wirdah yang sedang merapikan rambutnya.

Galih tampak menimbang sebentar, "Oke."

°°°

Dua puluh menit sudah, Wirdah memutari gramedia ini untuk mencari novel incarannya. Aku tidak terlalu tertarik dengan novel, aku lebih tertarik dengan Bara. Beberapa kali Wirdah menanyakan padaku dimana Galih saat ini, aku hanya mengedikkan bahu. Karena memang, aku tidak tau saat ini cowok itu dimana. Yang kutahu, dia keluar dari gramedia beberapa menit yang lalu.

"Udah, yuk pulang!" ajak Wirdah sambil memeluk lenganku.

Saat aku dan Wirdah hampir saja menginjak eskalator, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh, membuat Wirdah juga menghentikan langkahnya. Galih? Dia masih disini?

"Apa?" tanyaku.

Galih mengangkat bungkus plastik yang dia bawa, ternyata makanan.

"Kita makan dulu," ucapnya sambil menarik tanganku, membuatku juga menarik tangan Wirdah untuk mengikutinya.

Kami bertiga duduk di food court yang tak jauh dari gramedia tadi. Galih membelikan kami chicken pop dan milk tea ice. Aku tidak menyangka Galih akan sepeduli ini.

"Kalian tuh pacaran nggak sih?" tanya Wirdah sambil memasukkan ayamnya ke dalam mulut.

Aku melirik Galih, dia nampak tenang sambil mengunyah makanannya dan melirikku sebentar. Aku masih tidak menjawab, apa aku harus memberitahu tentang perjodohan ini?

"Ye, malah diem," Wirdah menyeruput minumnya, "Keliatan nih, kayak ada yang disembunyiin," ucapnya sambil memicingkan mata kepadaku.

Aku meneguk ludah, "Gini, Wir... Gue tuh–"

"Aku nanti ke rumah kamu."

Wirdah langsung tersedak. Sedangkan aku membulatkan mata tak percaya, apa dia bilang?! Galih memakai aku-kamu?

"Hah?"

"Tuh, tuh! Kalian pacaran kan?!" Wirdah kembali heboh.

Aku menggeleng cepat, langsung menoleh pada Galih yang sedang memasukkan ayamnya ke dalam mulut seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Padahal, saat di sekolah tadi, Galih masih memakai gue-lo saat memanggilku.

"Gal, lo ngapain sih pake aku-kamu gitu!?" aku menepuk bahunya sedikit keras.

"Apa?" Galih menoleh padaku.

Aku berdecak sebal, tidak menanggapi pertanyaan Galih. Sedangkan Wirdah, dia masih membuka sedikit mulutnya, menatapku dan Galih bergantian. Ugh, semakin rumit.




















Weitss, aku update sore, kalo malem males. Jangan lupa vote yeee!

Broken {Completed}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang