Arevie

41 7 0
                                    

Happy reading ya guys..... 
Jangan lupa vot ment nya
Share nya juga....

__________________________________

Mobil ini masih belum menepi. Sekiranya sudah lima belas menit dari awal keberangkatan. Tidak ada alunan lagu, tidak ada puisi, tidak ada canda dan tidak ada tawa kali ini. Aku hanya duduk diam memaku kearah jendela mobil. Hanya suara angin. Yang meliuk pelan membelai selingan rambut ditelingaku. Kota ini sudah mulai padat dan sesekali macet. Dunia memang cepat berkembang.

Aku menurunkan jendela sepenuhnya. Aku biarkan angin masuk dengan kencangnya saaat ini. Ryan hany sibuk dengan hanphone nya dan mela sibuk dengan tas baru miliknya. Silvia juga tampaknya sangat berkonsentrasi membawa kendaraan. Aku menyandarkan daguku tepat pada bibir jendela. Perlahan ada putaran angin masuk kedalam mobil. Mobil ini berputar arah. Menuju arah tamrin. Bukankah kita akan ke Transmart ? pikirku.

Kita mampir ke GM bentar ya, ujar Silvia.

Aku hanya diam menganggukkan dagu. Serasa sangat malas bibirku berucap kali ini. Entah kenapa aku merasa diam kali ini menjadi lebih tenang. Biasanya disaaat seperti ini aku akan mengambil sehelai kertas dan sebuah bulpen. Namun, kali ini aku tidak melakukan hal itu. Aku melihat perjalanan yang diamm ini sepanjang jalan. Ada sepasang remaja yang tampak sedang bertengkar dengan kekasihnya.

Jelas sekali air mata gadis itu, menggenang. Dan wajah gadis itu memerah menahan tangisan yang hentak meloncat keluar.
Ya begitulah sebuah cinta, pikirku. Tidak semua hati dapat disatukan. Tidak semua cinta dapat dipaksakan. Terkadang kau juga harus merelakan. Dan membangun kerajaan yang baru. Namun, bila takdir cinta tidak harus memiliki, itu akan sangat mengerikan sekali. Karena pada dasarnya, cinta itu saling melengkapi dan juga saling melindungi. Bukan mempertahankan ego diri kemudian memutuskan untuk pergi. Prihal cinta itu sangat indah, seindah kamu membangun kerjaan yang kamu impikan. Namun, jika tidak diiringi dengan kesabaran dan diperkokoh sebuah rasa kepercayaan. Cinta itu tidak lebih dari soal matematika yang apabila sudah diketahui rumusnya, didapatkan hasilnya lalu berpindah kesoal yang lain dengan rumus yang berbeda.

Aku menarik nafas panjang. Mobil sudah memasuki parkiran sebuah geung bertingkat empat itu kiranya. Gramedia, toko buku terlengkap di kota ini, setahuku begitu. Aku sudah melihat dari toko buku lain, tidak ada yang selengkap disini. Tapi kalau untuk belanja murah atau bekas, bisa dijumpai pasar loak yang ada di pusat kota yakninya pasar raya Padang. Aku segera menutup kaca jendela dan turun dari tunggangan yang dari tadi membopong tubuhku.
Mau cari apa kesini Sil ? Tanyaku
Ni, ada tugas dari dosen dan perlu buku. Coba liat disini, aku malas ngonline.

Oh gitu. Jawabku.

Udah ikutin aja, jarang-jarang ketoko buku bareng-bareng kan. Ajak Ryan memasuki gerbang GM.

Aku menaikkan sedikit tas ranselku yang turun dari bahu. Benar juga, sudah lama juga aku tidak pergi bersama ke tempat ini.

Ryan berjalan beriring dengan Mela. Aku hanya mengikuti mereka dibelakang. Entah kenapa kakiku malas melangkah, apa mungkin karena kemarin aku baru balik dari tempat ini makanya tubuhku menjenuh seperti ini. Tapi aku rasa tidak, aku tidak jenuh. Hanya saja sedang berpikiran tak terarah.
Aku melangkahkan kaki menuju buku bazar yang terletak di base toko. Hanya ada beberapa buku novel yang tidak kusukai, beberapa majalah dan buku-buku ilmu pengetahuan. GM belum menurunkan bazar bukunya. Aku melangkah keluar menuju bangunan lantai tiga. Seperti biasa, aku akan mapir pada rak sastra. Kumpulan buku puisi dan sajak-sajak. Dan disana aku masih melihat sajak yang sangat kusuka. Sapardi djoko damono, wira negara dan banyak lagi lainnya. Aku mengambil sebuah buku yang bersampulkan aneh menurutku. Disampulnya tampak seorang penari dari timur tengah. Penari sufi. Buku ini kecil tapi menyita perhatianku. Rubayat rumi.

Ada beberapa judul disana. Dan aku memilih tiga buku untuk sedikit dibaca sebelum memutuskan membelinya. Namun tiba-tiba saja seseorang menyerobot buku yang hendak kuambil. Aku berdalih melihatnya. Sosok pria tinggi putih bermata coklat berambut pirang berbadan atletis. kamum, awalnya, dia sangat tampan. Namun sayang aku terlanjur kesal kepadanya.

Itu aku yang pilih tadi. Ujarku

Kamu memang mau beli ?
tanyanya

Aku terdiam sejenak, aku hanya ingin membacanya dahlu baru memutuskan membelinya.

Kalau mau baca buku di perpus buk, jangan disini. Ledek pria itu.
Aku naik pitam. Tidak ada orang yang berani meledekku sebelumnya. Wajahku merah merona menjadi padam. Sudah serasa ingin keluar lahar amarah dari mulutku, aku menahannya.
Revi kan ? tiba-tiba seseorang bersuara.

Eh, Silvia. Pria itu bermuka kaget.

Kangen banget kamu Rev. Mereka saling bersalaman.
Aku menurunkan amarahku. Ini masalah sepele aku tidak harus marah terlalu lama. Lagian tampaknya pria itu dan Silvia saling mengenal. Jika itu temannya Silvia berarti juga akan menjadi temanku nantinya. Pikirku.

Eh kenalin, ini temanku Ayunda. Ujar Silvia.

Oh, jadi si bunglon ini temenmu. Aku Arevie.

Aku membuang muka dari arahnya. Aku segera mengahampiri Ryan dan Mela yang dari tadi menyudut di dekat rak puisi. Ryan memperhatikan raut wajahku. Dia hafal kondisi pikiranku saat ini. Sambil tersenyum dia menatapku dalam.

Kamu sedih lagi Yunda ? sapaan lembut Ryan padaku.

Tuh, temen Silvia nyebelin.

Mana ?

Noh, dia noh. Aku menunjuk kearah pria itu.

Arevie ?

Lha ? kamu kenal ? tanyaku
Jelas, Dia adalah masa laluku.

Masa lalumu bagaimana ?
tanyaku penasaran

Kau tak akan mengerti meski kujelaskan.

Rian pergi meninggalkanku menuju arah Arevie. Sedikit berbincang lalu mengambil buku yang kami perebutkan. Aku tak mengerti apa yang harus dilakukan kali ini. Tak biasanya mati langkah begini. Situasi ini begitu sulit kupahami. Semua terlalu asing.

Perlahan mereka bertiga menuju kearahku. Aku mendadak gugup dan terpaku. Mereka berdua sangat tampan, tiba-tiba hatiku berdesir. Ada senyuman yang tersungging kali ini. Tidak juga aku mengerti cara bersikap kali ini. Rasa kesal perlahan hilang, saat mereka sudah tepat didepan mataku. Aku berasa hampir mati.
Nih, buku mu. Ujar Ryan sembari mengusap kepalaku perlahan dengan manja.

What’s ? hanya itu ucapan yang sedang berkecamuk dalam dadaku kali ini. Ryan mengusap kepalaku di depan teman-temannya. Jantungku mulai berdebar kencang. Ada perasaan malu kali ini. Tidak biasanya Ryan seperti ini, pikirku.

Wajahku mulai menampakan ronanya. Memerah. Ah, kenapa dengan diriku ? . hatiku mulai berkomat-kamit. Tidak lagi terpikirkan oleh ku kondisi kali ini. Yang terasa hanya berdebar. Sama seperti pelukan dan kecupannya saat itu.

Sudah, aku mencoba menyadarkan diri. Perlahan merah wajahku mulai hilang. Ryan hanya menatapku dengan dalam. Silvia dan mela sempat melirik namun kembali fokus dengan buku-buku yang berada disekitarnya. Sedangkan Arevie. Dia tidak melihat kearahku sama sekali. Sukurlah tidakada yang risih kali ini. Aku menarik nafas dalam.

Oh, ini Ayunda pacar kamu itu ?
tiba-tiba Arevi bicara.

Aku tersentak kaget dengan ucapannya. Pacar ? hatiku mulai bergeming.

Udah jangan dengerin. Ujar Ryan sembari menarik lenganku.

Dear pembaca...  Masih penasaran dengan sosok ayunda ryan dan arevi. Ikuti terus yaaa novel ayunda....  Scrol scrol scrol.  Jangan lupa vot mentnya


Gerimis Milik AyundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang