Gundah

32 6 0
                                    

Hatiku mulai mengheran ragu
Resah setiap pikir dikepalaku
Ketika nama itu mulai muncul selalu

Aly_april
_______________________________________________________________

Sudah lebih dari sepuluh kali telepon genggam ku berbunyi. Namun aku tak mengangkatnya. Nomer yang tak kukenali. Ingin rasanya aku mengangkatnya. Tapi, bagaimana bila yang menelpon adalah ssosok yang membuatku risau. Bagaimna jika Rian yang menelpon. Bagaimana jika tenyata dia menelpon lewat nomor lain dan aku mengangkatnya dan aku. Ah, aku pusing dan merasa sangat risau. Sudah dua jam aku mondar mandir dikamar seperti strikaan.

Aku menghempaskan badanku kekasur dengan pasrah. Kecupan itu, pelukan itu. Ah, kenapa ini. Aku bingung dan sangat bingung.
Teleponku kembali berbunyi. Jika Rian menelpon tidak mungkin pakai nomor orang lain, aku rasa aku harus mengengkatnya. Tapi bagaimana jika dia ?. ah, aku bisa gila. Aku bingung harus bagaimana. aku tarik nafas dengan dalam dan dkeluarkan secara perlahan.

Mudah-mudah bukan Rian yang menelponku. Aku bisa mati karena tegang.

“Hallo”.

“Yunda”. (suara lelaki)

“Siapa ?”

“Aji”

“OH MY GOD. Kamu bisa bicara juga ?”

“Sue ! kamu dimana ?”

“Dirumah, kenapa ?”

“Aku bawa formulir pendaftaran universitas unp. Rian titp tadi.”
“Rian yang suruh ?”

“Rumah mu dimana ?”

“Lumin.”

Tut...... telepon terputus. Belum sempat aku memberitahu lebih lanjut tentang alamat rumah, obrolan kami berakir. Aji bisa bicara. Aku terkejut mendengar suaranya. Lembut sekali seperti wanita. Ah, biar saja dia mencari rumahku. Dia juga punya mulut untuk bertanya, pikirku.

Persaanku sedikit lega. Entah kenapa pikiranku begitu panik sejak kejadian sehari yang lalu. Apakah aku gundah ? ah aku bisa gila. Aku merasa nyaman bersamanya. Sangat nyaman.
Air cerek yang kujerangi sudah mendidih kiranya. Satu cangkir teh hangat dapat menemaniku menghabiskan waktu satu kali ini. Ya, hari ini aku tak akan kemana mana. Dan tidak tau akan melakukan apa. Aku duduk di balkon kamarku. Posisi kamar ku dilantai dua sehingga membuatku nyaman. Jauh dari kebisingan dan juga dapat melihat orang yang keluar masuk dari jarak yang jelas. Aku mengambil sebuah buku yang sudah lama mengabu dimejaku. Ya sudah lama sekali aku tidak membukanya.

Diary depresi. Terkadang aku menyebutnya begitu. Mirip sekali dengan subuah judul lagu. Tapi, memang begitulah aku menyebut buku ini. Aku buka helai lembaranya. Ada hanya ada tiga baris kalimat setiap lembarnya. Dan terkadang juga satu kalimat saja.  Semua tertumpah disini. Dibuku ini. Kesehidaha, kebahagiaan, prestasi, air mata, luka, kecewa segalanya tertulis disini. Hanya diwakili dengan beberapa kalimat yang dalam. Aku membukanya hingga halaman terakir dari tulisan. Hanya tiga lembar lagi, kosong. Dan aku sudah menamatkan petualangan dibuku ini.

Tak ingat kapan terakir kali aku menulisnya. Yang jelas buku ini rasanya sudah lama kubiarkan mengabu dimeja. Tanpa disentuh sedikitpun. Aku mengambil sebuah pena dan juga pensil. Diam sejenak untuk berpikir. Apa sebenarnya yang sedang aku rasakan. Dan lewat tinta semua pecah dan menggema menjadi lagu yang ironi.

Sesaknya gua yang kulalui, memberiku sebuah tanda untuk keluar.
Kurasa ini bukan sebuah akir, tetapi adalah sebuah awal.
The End

Aku menutup diary depresi dengan lega. Sambil menyeruput secangkir teh. Aku meletakkannya dengan rapi diaatas meja. Diary ini pemberiannya. Dan kurasa, kali ini dia menyuruhku untuk keluar dari lubang yang kugali sendiri. Satu hal yang kupercaya. Proses tak akan pernah menghianati hasil. Begitu juga prosesku, menuju bahagia.

***

Yunda, ada temenmu. Suara mama memanggilku. Aku segera keluar, tak ku sangka ternyata Aji bisa menemukan rumahku. Mungkin sudah keahliannya menemukan rumah oang-orang tanpa diberitahu alamat. Pikirku.

“Kamu nyampe juga kesini, tau dari siapa ?”

“Penting emangnya ?”

“Ish, mana formulirnya. Aku meminta dengan kesal.”

“Diminum teh nya nak Aji. Mama menyuguhkan secangkir teh.”

Aku melirik tajam kearah Aji. Ini adalah orang paling aneh yang pernah aku jumpai. Tapi ada yang sedikit berbeda kali ini. Modis, kali ini dia modis sekali.  Tapi kata itu cocok ?. tidak-tidak. Dia tampak maskulin. Atau tampak tampan ya ?. kemeja hitam dengan kancing yang dibuka dan kalung aneh yang ada di lehernya. Celana caper putih dan jas putih. Mirip seperti model. Pandanganku tergeser pada sebuah buku yang di selipkan di tas kecilnya.

Novelkah ? aku mencoba melihanya lekat.

“Kamu kenapa ?”

“Eh, ga papa. Aji mengejutkan lamunanku.”

Adi model. Itukan buku kumpulan puisi. Terka ku. Penagrangnya adi model. Ternyata anak ini fanatik dengan dunia tulisan ternyata. Nih, formulirnya, aku jemput dua hari lagi. Aji meletakkan formulir pendaftaran itu diatas meja. Mengahbiskan teh dan beberapa roti marie dan segera berdiri.

“Aku balik dulu ya.”

“Tunggu.” Tahanku

“Apa ?”

“Ka kamu suka buku juga ?”

“Oh ini, punya adikku”. Sembari berpamitan dengan mama

“Owh...”

Huf, ternyata buku itu punya adiknya. Aku pikir milik dia. Aku ingin meminjamnya sebentar. Banyak kudengar karya adi model juga terkenal. Tapi aku tak sempat mengunjungi toko buku dikotaku ini. Ditambah lagi kendalaku yang tidak pandai mengendarai motor. Andai saja punya satu teman yang sama hobi. Aku ingin sekali bertukar buku yang kumiliki dengannya.

Bersambung......

Acieeee udah baca sampai sini.  Scrol terus kebawah ya buat bacanya......

Gerimis Milik AyundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang