Karena ingin memiliki penghasilan sendiri dan ingin merasakan bagaimana kerasnya bekerja. Melssa menjadi pelayan di salah satu kafe yang selalu saja ramai.
Melssa memakai pakaian pelayan yang adalah sebuah rok di bawah lutut, sebuah kemeja putih dan apron yang melingkar di pinggangnya. Tidak lupa menyanggul rapi rambutnya.
Walau, penghasilan kedua orang tuanya bisa membiayai Melssa. Bahkan sampai S2 atau S3 atau entahlah. Melssa tetap tidak ingin manja. Lebih baik susah sekarang agar saat dia mendapat pekerjaan yang tetap dia akan bisa melakukannya dengan baik.
"Mel, meja 7." Melssa mengangguk dan mengangkat nampan berisi dua buah pancake yang di atasnya terdapat es krim dan segelas kopi hitam.
Melssa tersenyum setelah meletakan semua pesanan di atas meja bernomor 7.
Melssa berbalik tidak sengaja menabrak sesuatu yang keras. Melssa mendongak, tersenyum kikuk.
"Maaf, saya tidak melihat anda di belakang saya." Melssa menarik diri, agar tidak lagi menempel pada cowok tinggi yang ada di depannya.
"Nggak, pa-pa. Santai aja." Cowok itu tersenyum. Lalu berjalan dan duduk di salah satu meja kosong.
Melssa berjalan pelan ke arah meja cowok itu, mengeluarkan kertas untuk mencatat pesanan cowok itu."Mau pesan apa?"
Cowok itu tersenyum. "Americano, atas nama Alano."
Melssa mencatat lalu cepat memberikan pesanan itu pada barista.
Selama cowok bernama 'Alano' itu duduk sambil mengetik sesuatu di laptopnya Melssa hanya memperhatikan dari jauh. Entah kenapa Melssa merasa familiar dengan wajah cowok itu.
"Mel, meja 16." Melssa berjalan menuju meja 16 yang telah diisi oleh beberpa orang yang tampak sedang bercanda, beberapa membaca menu.
"Oh, pelayan toh."
Melssa mendengus, mengabaikan. "Mau pesan apa?"
"Kok nggak ramah sih?" Gisell. Ya, lima orang yang duduk di meja bernomor 16 itu adalah orang-orang sekitar rumahnya.
"Mau pesan apa?" Tanya Melssa dengan nada lebih halus, bahkan tersenyum. Walau dengan terpaksa.
"Gue mau..." Gisell membaca menu lalu mengucapkan beberapa makanan dan minuman. Begitu juga dengan empat orang lainnya yang tidak ingin Melssa tatap. Muak.
Melssa meletakan pesanan Gisell dengan agak kesal karena gadis itu sejak tadi hanya mengejek pekerjaan dan apa yang ia lakukan. Melssa muak.
"Bisa nggak sih lo nggak buat masalah saat gue kerja?" Tanya Melssa dengan tajam membuat percakapan Gisell dan Tahta berhenti. Semua orang di meja itu menoleh ke arah Melssa.
Bahkan meja lain ikut menoleh.
"Kenapa kalo gue jadi pelayan? Setidaknya gue bisa punya yang sendiri, hasil keringat gue. Bukan hasil minta-minta ke orang tua gue. Nggak kayak lo! Manja!"
Dada Gisell naik turun, dia berdiri dan menatap tajam Melssa yang balas menatapnya tanpa rasa takut sama sekali.
"Diam lo!"
"Kenapa?" Tantang Melssa. "Yang gue bilang benar? Eh?"
Gisell mengepalkan tangan. Matanya menatap tajam sekaligus benci ke arah Melssa yang menatapnya dengan wajah datar.
Tanpa di duga, Gisell menyiramkan jus alpukat ke pakaian yang di kenakan Melssa. Membuat baju dan semua yang di gunakan oleh gadis itu basah. Tidak sampai di sana. Gisell bahkan mengambil milik minuman milik Tahta dan menuangkan minuman Tahta ke atas kepala Melssa.
Tidak melawan. Melssa diam. Dia memejamkan mata, kepalanya menunduk dengan tangan terkepal erat. Hatinya panas. Rasanya ingin membalas, tapi dia ingat sesuatu yang membuat dia tidak bisa membalas apa yang di lakukan Gisell.
Saat Gisell lagi-lagi ingin mengulang hal yang sama pada Melssa, tangan River menahan tangan cewek itu. Membuat Gisell menatap tajam River.
"Lepas!"
"Jangan lakukan hal konyol." River berkata datar namun ada masa ancaman di dalamnya.
Gisell tidak peduli, dia mengambil minuman milik River dan menyiramkannya ke Melssa. Tapi, air itu tidak pernah sampai ke Melssa karena ada seseorang yang berdiri di depan Melssa. Melindungi gadis yang telah basah kuyup itu dari serangan ketiga.
"L-o-anda.."
"Panggil Alano aja." Alano, cowok yang tidak sengaja Melssa tabrak itu adalah orang yang melindungi Melssa dari serangan ketiga Gisell.
"K-kenapa l-lo..."
Alano tersenyum, dia tau resiko apa yang dia lakukan tapi dia tidak suka melihat sikap pembullyan yang di lakukan. Alano benci itu.
Alano berbalik, menatap Gisell yang balik menatapnya. "Gue nggak tau kalian punya hubungan apa, tapi jangan gitu."
"Lo tau apa? Orang asing diam aja deh!" Gisell mendelik tajam. Jari telunjuknya hampir menyentuh hidung Alano jika saja Tahta tidak bangkit dan menahan tangan Gisell.
"Maafkan, pacar gue. Dia memang temperamen." Tahta menatap Alano sekali mencuri pandang ke Melssa yang berada di belakang Alano.
Alano tersenyum. "Jaga pacar lo itu." Nada bicara Alano berubah tajam. Alano berbalik dan menarik tangan Melssa.
Gisell mengepalkan tangan. "Kamu apa-apaan sih?!"
Tahta dengan tenang duduk kembali, lalu dengan malas menatap sang pacar. "Kamu yang apa-apaan, ini tempat umum. Pake otak sedikit."
Gisell berdecak, menjatuhkan dirinya di kursi. Dengan kesal melahap makanannya.
***
"Ruangan manager lo dimana?" Alano berhenti, membuat Melssa juga ikut berhenti.
"Mau ngapain?" Tanya Melssa bingung.
Alano tersenyum, tampaknya cowok ini sangat suka tersenyum. "Mau izin."
"Buat apa?"
"Lo basah gitu, masa mau tetap kerja. Pulang aja. Gue yang izin ke bos lo." Alano menarik tangan Melssa mendekat ke salah satu pelayan yang baru saja akan lewat. Bertanya dimana ruangan manager.
Setelah meminta izin Melssa mengganti bajunya. Dia akan berterima kasih pada Alano yang membantunya. Bahkan menolongnya.
Tapi saat Melssa keluar, dia tidak mendapati Alano. Hanya ada sebuah kertas yang menempel pada pintu ruangan untuk loker.
'Gue harap bisa ketemu lo lagi. Dan saat hari itu datang gue harap bisa tau nama lo.'
Melssa tersenyum, melipat kertas itu lalu memasukkannya ke dalam tasnya. Melssa berjalan dengan seulas senyuman di bibirnya.
Alano.
Akan Melssa ingat itu.
. . .
Sepi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahta
Подростковая литератураTahta. Tahta adalah Ketua Osis dengan segala kelebihan sedangkan Melssa mungkin hanya remahan rengginang jika di bandingkan dengan Tahta. Tahta © 2019 Dasyalily