Ruang musik yang memang kerap suara dan sepi, semakin sepi. Melssa dan Alano duduk di lantai sambil bersandar pada dinding.
Melssa menghela nafas. Matanya menatap setiap alat musik yang ada di ruangan.
Alano melirik Melssa yang beberapa kali terus saja menghembuskan nafas, tambak berat dan tampak lelah.
"Lo nggak takut?"
Melssa menoleh, menaikan salah satu alisnya. "Takut apa?"
Alano memperbaiki letak kacamatanya sebelum menjawab. "Nggak takut di skors atau di DO."
Melssa tertawa pelan. "Mereka nggak bakal keluarkan gue dari sekolah ini. Ayah gue penyumbang dana terbesar di sekolah ini. Mereka nggak mungkin membuat tambang emas mereka pergi begitu saja hanya karena masalah ini."
Alano mengangguk pelan. "Lo kelihatan sayang banget dengan Ayah lo."
Melssa tertawa kali ini bernada sinis. "Sayang? Gue benci sama Ayah gue itu."
Alano tampak kaget. "Kenapa?"
Melssa melipat kedua lututnya, dia memeluk kedua lututnya. Dagunya ia letakan di atas lutut, pandangannya ke depan. Lurus, tatapannya kosong.
"Dia seorang kepala keluarga, tapi tidak pernah melakukan hal yang seharusnya di lakukan seorang kepala keluarga. Seorang suami dan seorang Ayah. Dia mengabaikan tugasnya itu. Semua karena perempuan itu." Tangan Melssa meremas roknya dengan kuat. "Semua hancur."
Alano mengusap bahu Melssa. Alano kira Melssa adalah seorang anak yang di sayang oleh kedua orang tuanya. Karena itu dia bebas berbuat nakal. Toh, orang tuanya akan tetap menyayanginya.
"Dia lebih suka makan di luar, bahkan saat Mama udah masak makanan kesukaan dia," tatapan Melssa masih kosong. Dan masih tetap lurus ke depan. "Gue berbuat nakal bukan karena gue mau, tapi karena gue terpaksa. Gue harap dengan gue melakukan kenakalan Papa gue nggak perlu keluar rumah untuk ketemu perempuan itu, dan dia sadar kalo gue perlu kasih sayangnya kalo gue perlu dia peduli. Tapi, bertahun-tahun gue lakukan itu, semua masih sama saja. Masih masa bodo."
Alano bisa melihat jelas tatapan terluka dari Melssa, gadis itu menyembunyikan semua dalam cangkang yang keras. Tapi, dia menunjukan sisi lemahnya itu pada Alano.
Pintu ruang musik di ketuk membuat Alano menoleh ke arah pintu tapi tidak dengan Melssa yang masih setia dengan tatapan kosongnya.
Ragen dan Aliani masuk dengan tatapan khawatir. Alano berdiri kemudian mengambil langkah mundur saat Aliani memeluk Melssa yang hanya diam saat sahabatnya itu memeluknya.
"Mel," Aliani menangkap kedua pipi Melssa, tatapan mata kosong itu bertemu dengan mata Aliani yang cemas dan memerah karena menahan tangis melihat keadaan Melssa yang seperti sekarang ini. Kosong.
Melssa tersenyum, mata kosongnya berubah sendu melihat sang sahabat. "Al, jangan nangis." Aliani tidak bisa menahan air matanya, baginya Melssa sudah seperti saudaranya sendiri. Dia sayang pada gadis pembuat masalah, cerewet dan selalu saja membuat dia kesal dengan kelakuannya. Tapi, Aliani tetap tidak bisa melihat tatapan gadis itu yang kosong. Membuat dia teringat kejadian beberapa tahun silam. Membuat dia terlempar pada masa lalu terdalam Melssa, dimana gadis pengacau itu jatuh sejatuh-jatuhnya. Kejadian itu.
Aliani memeluk Melssa erat, mendekap sang sahabat seerat mungkin. Bagai mengatakan ada dirinya di sini, sama seperti dulu. Masih ada, Aliani masih tetap di sisinya.
Melssa membalas pelukan Aliani, mengusap pungung Aliani yang bergetar. Jika di berikan pilihan, lebih baik mana antara melihat Aliani menangis atau membersihkan aula sekolah yang super luas, dia akan memilih opsion kedua. Kenapa? Karena Melssa benci air mata, apa lagi jika air mata itu berasal dari orang yang dia sayang. Melssa benci itu. Dia benci melihat air mata, dan dia berusaha sebaik mungkin agar air mata itu tidak akan jatuh. Tapi, dia membuat sahabatnya menangis, lagi karenanya.
Aliani meregangkan pelukannya tapi belum melepaskan tangannya yang masih memegang seragam Melssa.
"Jangan nangis, lo tau gue benci air mata." Melssa mengusap air mata Aliani dengan lengan bajunya. Melssa lalu menyelipkan anak rambut Aliani ke belakang telinga gadis itu. "Jelek."
Aliani terkekeh, lalu dengan tangan yang begitu ringan menepuk pipi Melssa agak kuat hingga terdengar bunyi 'plak' saat telapak tangan itu bertemu dengan pipi Melssa.
Bukannya marah, Melssa malah tertawa. Dia memeluk sahabatnya, sebelum melepaskannya dan tersenyum.
Ragen yang hanya berdiri, memperhatikan kedua sahabat itu terkekeh pelan. "Berasa lihat drama."
Melssa mendelik, dengan kesal mengangkat kepalan tangannya kearah Ragen. Yang tentu di balas tawa oleh cowok itu.
"Sepupu laknat." Melssa mendengus. "Mau muntah gue lihat lo."
Ragen mengangguk beberapa kali. "Awas lo, kalo datang ke gue."
Melssa menjulurkan lidah. "Bodo."
Alano yang merasa hanya bagai nyamuk perlahan membalikan badan, tapi suara Ragen membuat langkahnya terhenti.
"Boleh bicara sebentar?"
***
Alano tidak pernah membayangkan jika dia akan duduk berhadapan dengan seorang anak yang terkenal akan sifat badung dan selalu menjadi incaran guru untuk di beri hukuman. Sama seperti Melssa. Alano lupa jika mereka adalah sepupu.
Ragen meneguk minuman kopi dalam kemasan yang dingin sebelum mengeluarkan suaranya. "Tolong maklumi kelakuan tiba-tiba sepupu gue itu. Dia memang suka bertindak tanpa memperdulikan apa resikonya."
Alano melirik Ragen yang menatap langit yang biru tanpa kehadiran awan.
"Gue sayang dengan sepupu gue itu, kenapa? Karena kita cuma berdua. Dia satu-satunya sepupu perempuan gue dan gue satu-satunya sepupu laki-laki dia. Gue Kakak sepupunya, Ayah gue Kakak dari Ayah Melssa," tatapan Ragen lalu menerawang sambil tetap menatap langit. "Dulu gue bukan Ragen yang seperti sekarang. Nakal, dan semua orang takut ke gue karena gue selalu menjadi anak yang ada di barisan terdepan saat tauran. Tapi, gue lakukan itu semua bukan tanpa sebab. Gue belajar bela diri, semua itu semata-mata karena gue mau balas dendam pada beberapa orang yang buat sepupu kesayangan gue itu hancur. Gue maui lindungi dia. Karena, dia sudah terlalu banyak di sakiti."
Alano tau jika apa yang di ucapkan Ragen bukan main-main, mata cowok itu berkilat dengan benci saat menyangkut balas dendam pada orang-orang yang membuat Melssa hancur. Alano tidak tau hancur seperti apa yang dimaksud Ragen. Tapi Alano yakin, jika apa yang terjadi di masa lalu Ragen dan Melssa bukalah kenangan yang baik.
"Gue udah pernah kecewa," Ragen bersuara lagi, kali ini suaranya melemah. "Gue berikan sepupu gue ke orang yang salah. Dan buat Melssa hancur. Gue harusnya nggak pernah tinggalkan Melssa, jika saja gue nggak pergi hari itu. Mungkin, semua masih sama seperti dulu."
Alano diam karena tau Ragen akan melanjutkan ucapannya.
"Bisa gue percaya elo?" Manik mata Ragen menatap mata Alano dengan serius. "Gue udah pernah buat banyak orang bonyok. Tapi gue tetap belum pernah balas apa yang pernah mereka lakukan ke sepupu gue. Tapi, gue harap kali ini gue kasih sepupu laknat gue ke orang yang benar. Jadi bisa lo jaga Melssa?"
Alano tidak tau apa maksud menjaga yang di katakan oleh Ragen, tapi Alano mengangguk. Kenapa dia harus menolak jika itu menyangkut orang yang menyelamatkannya kemarin? Yang membuat dia percaya jika tidak semua anak yang di cap minus oleh sekolah melakukan hal yang semena-mena hanya untuk kesenangan.
Dan Ragen tersenyum. "Lo tau apa yang akan gue lakukan kalo lo buat sepupu laknat gue kenapa-napa."
. . .
Typo banyak....
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahta
Fiksi RemajaTahta. Tahta adalah Ketua Osis dengan segala kelebihan sedangkan Melssa mungkin hanya remahan rengginang jika di bandingkan dengan Tahta. Tahta © 2019 Dasyalily