Hari itu, saat hatimu dipatahkan olehnya, aku ingin sekali membawamu pergi. Sejenak. Hanya untuk membuatmu lupa pada rasa sakit di hatimu untuk satu hari saja. Untuk membuatmu tersenyum, bahagia, tanpa ada sedikitpun kesedihan yang akan menghinggapi hatimu. Satu hari saja.
Kita akan pergi, ke suatu tempat yang asri, menenangkan, dengan pemandangan yang mampu memanjakan mata.
Kemudian, aku akan berkata,
"Tinggalkan sejenak kenangan yang semalam kau dekap begitu erat. Sambut mentari yang perlahan membasuh dirimu dengan kehangatan--memang, tak kan sehangat dekapannya, tapi tentu saja tak akan sedingin sikapnya yang pernah membekukanmu. Hirup sebanyak mungkin udara segar yang menyejukkan ini--yang kuharap sanggup menyejukkan dadamu dari kobaran api cemburu."
Lalu, akan kuajak kau ke tempat dimana kehidupan begitu hening. Hanya ada gemericik air, juga desir angin di sela-sela dedaunan. Begitu tenang sampai aku khawatir kau dapat mendengar degup jantungku yang berdetak lebih kencang karena bisa menyaksikan senyummu dari jarak sedekat ini, dan sesering ini.
Aku ingin di sana selamanya. Bersamamu, tentu saja. Tapi kita harus beranjak. Selanjutnya ku ajak kau ke tempat dimana kehidupan begitu ramai. Di jantung kota yang dipenuhi hiruk pikuk manusia ini, kau membaur di antaranya. Kerumunan itu bisa dibagi menjadi dua, yang bahagia dan yang berusaha terlihat bahagia. Syukurlah hari itu kau termasuk golongan yang bahagia, tanpa pura-pura.
Ketika malam semakin larut, kita akan menepi dari keramaian. Mencari tempat yang cukup tinggi untuk bisa melihat cahaya kota kecil ini. Kau diam, terpukau menyaksikan kilau cahaya di bawah sana. Aku diam, tertegun menyaksikanmu dari jarak sedekat ini.
"Bagaimana rasanya sehari tanpa sendu?" Tanyaku.
Kau tersenyum, "Nikmat."
Perlahan, senyummu mulai terasa getir, matamu mulai tergenangi air.
"Tersedulah. Aku akan di sini menemanimu, mencoba menenangkan resah gelisah hatimu yang merindu, mendengarkan keluh kesahmu selama yang kau mau. Habiskan air matamu, biar ia membasahi pundakku malam ini. Yang terpenting bagiku, esok, kau tak perlu tersedu karena hal ini lagi. Kau bisa bahagia dan aku bisa menikmati senyummu lagi."
Malam itu, kau menangis tersedu dalam dekapanku. Lalu, ketika perasaanmu perlahan kembali tenang, aku akan dilanda dilema. Apakah aku harus segera mengembalikan kita berdua pada realita, atau aku boleh mendekapmu sedikit lebih lama, memberhentikan waktu, dan mencegah malam berlalu.
Pada akhirnya, aku pasti memilih mendekapmu sedikit lebih lama.
Kemudian barulah kita berdua kembali pada realita. Dimana semua itu, hanya skenario dalam kepalaku saja. Karena kau, menolak pergi denganku. Menolak usahaku yang mencoba menyembuhkan luka di hatimu yang tak kunjung kau obati. Kau menolak membuka hatimu sekali lagi.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Emosi & Puisi
PoetryKumpulan kata-kata yang disusun saat gabut, saat imajinasi dan realita melebur menjadi satu. Isinya rindu, cemburu, dan berbagai emosi yang coba diutarakan lewat puisi. 1-9 berhubungan. 10 sampai entah berapa mungkin tersusun acak dan gak berhubunga...