Bab // 22

7.1K 690 102
                                    

Kenar terbangun dengan peluh membasahi seluruh tubuh. Napasnya tersengal, jantungnya berdetak cepat. Kedua tangannya mengusap wajahnya yang berkeringat.

Helaan napasnya terdengar berat, belum lagi terik matahari di luar masuk melalui celah-celah jendela, membuat kepalanya sakit.

Kenar berusaha menetralkan tarikan napasnya. Ia meraih ponselnya, menatap beberapa panggilan masuk.
"Ya Tuhan," lirih Kenar. Kenar memejamkan mata. Berusaha menjernihkan pikiran, mengingat kembali mimpi-mimpi ataupun bayangan hitam yang menghantuinya. Tidak hanya di malam hari tapi juga siang hari.

Sudah pukul 11.00 siang, dan ia tertidur, semoga saja ibunya Ayu tidak menganggapnya pemalas batin Kenar.

Setelah bisa bernapas dengan normal, dan degupan jantungnya normal Kenar melangkah keluar kamar dengan gontai. Meski ia tidak lagi gemetaran, tubuhnya masih terasa lemas.

"Selamat siang bu lek." sapa Kenar pada Seruni yang tengah mencuci piring. Seruni menoleh, tersenyum pada Kenar.

"Siang. Kamu ndhak enak badan?" tanya Seruni.

"Iya bu lek, kepalaku tiba-tiba sakit." jelas Kenar.

"Ayo duduk dulu, makanannya sudah siap. Tunggu Ayu sebentar, setelah makan kamu segera minum obat." ucap Seruni.

"Iya bu lek. Maaf, Kenar tadi gak bisa bantu masak." ucap Kenar dengan rasa bersalah.

"Ndhak apa-apa. Yang penting, kamu cepet sembuh." ucap Seruni.

"Bagaimana keadaanmu?" Ayu menanyakan kesehatan Kenar begitu ia bergabung dengan Kenar di meja makan.

"Masih agak berat." ucap Kenar pelan.

"Kamu makan yang banyak, setelah itu minum obat. Tidur lagi biar kamu segera baikan." saran Ayu. Kenar mengangguk.

Mereka mengisi piring masing-masing dengan nasi dan lauk. Ada ikan goreng dan tumis kangkung. Kenar menyukai rasa masakan ibunya Ayu, namun karena kepalanya yang sakit dengan segala keanehan yang menghantuinya ia tidak bisa menikmatinya.

"Masakannya gak enak ya?" tanya Seruni.

Kenar menengadah, menatap Seruni dengan tatapan tidak enak. "Bukan begitu bu lek, makanannya enak banget, hanya saja, lidahku terasa sedikit hambar." bohong Kenar.

"Di paksa aja, biar ada isi perutmu." ucap Ayu.

"Iya." gumam Kenar pelan kemudian melanjutkan makannya.

"Tadi di pasar ramai ndhak?" tanya Seruni membuka perbincangan.

"Lumayan bu. Tadi, Kenar pergi berdua bareng Dierja." Ayu melirik ke arah Kenar dengan senyum jahil di sudut bibirnya.

"Eh," Kenar salah tingkah, menatap Ayu dengan tatapan tajam lalu menatap Seruni dengan senyum malu.

Seruni tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala kemudian menyantap makanannya. Kenar kembali menatap Ayu tajam, mendapat tatapan tajam itu Ayu malah cekikikan dan mengabaikan Kenar.

Kenar yang kesal plus sakit kepala akhirnya melanjutkan makannya. Kembali perasaan aneh menyelimuti hatinya, pikirannya kembali di penuhi oleh keanehan-keanehan yang di alaminya.

Seruni.

Iya, Kenar baru ingat. Saat ia menyebut nama nenek Rahmi dulu, ibunya Ayu sangat terkejut.

Ya.

Kenar merasa bersemangat, ada harapan bahwa bu Seruni pasti mengetahui siapa nenek Rahmi. Dia pasti tahu di mana nenek Rahmi berada.

Kenar menatap Seruni dengan wajah penuh harapan. Ayu melihat Kenar sedang memperhatikan ibunya.

Ayu menendang pelan kaki Kenar di bawah meja. Setelah Kenar menatapnya, Ayu bertanya. "Ada apa?" tanyanya tanpa suara dan dengan wajah penasaran.

Kenar menggeleng, ia kemudian menyelesaikan makannya dengan cepat. Meski mulutnya tengah mengunyah, Ayu masih menatap Kenar dengan tatapan curiga.

Mereka sudah selesai makan, Kenar segera bangkit dari duduknya. Mengangkat piring serta gelas minumannya, membawanya ke tempat pencucian piring. Ayu menyusul membawa piringnya dan meletakkannya di depan Kenar yang tengah mencuci piring.

"Bener gak ada apa-apa?" Tanya Ayu lagi. Kenar mengangguk tanpa menatap wajah Ayu.

"Yu, tolong angkatin jemuran di belakang. Pasti sudah kering." perintah seruni.

"Baik bu." ucap Ayu meninggalkan dapur.

Kenar meletakkan piring-piring dan gelas di rak piring. Ia mengeringkan tangannya menggunakan lap bersih yang tersedia.

Kenar mendekati Seruni yang tengah membersihkan meja makan. "Bu lek," panggil Kenar.

Seruni menoleh, "Ada apa?" tanyanya, masih dengan tangan memegang lap meja.

"Mmmm," Kenar nampak ragu tapi ini kesempatannya untuk bertanya. Kenar menarik napas pelan kemudian bertanya, "Bu lek tahu, siapa nenek Rahmi?"

..................

***

Di rumah Kusumo nampak Chandra tengah menghisap cerutunya dengan wajah datar. Pandangannya tertuju pada hamparan sawah di depannya.

Chandra tengah duduk di teras belakang rumah Kusumo. Kusumo yang berada di sebelah Chandra hanya bisa menatap sahabatnya dengan perasaan yang berkecamuk

"Menurutmu, apa dia akan kembali?" tanya Kusumo dengan suara sangat pelan, seolah takut di dengar oleh angin.

Chandra menghembuskan napasnya berat. Ia kembali menghisap cerutunya kemudian menghembuskannya kasar.

"Dia ndhak akan muncul lagi. Dia sudah mati. Kutukannya ndhak akan berlaku pada kita." ucap Chandra dengan suara tegas.

"Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Kusumo.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa, kutukan itu akan terjadi?" tanya Chandra balik pada Kusumo.

Kusumo berdiri. Ia melangkah ke ujung teras, kedua tangannya di bawa ke belakang. "Purnama sing di janjikke arep teko. Lan wengi iki, pas malem jumat kliwon. Malem festival Kelawangin." ucap Kusumo.

(Purnama yang di janjikan akan segera tiba. Dan malam itu, tepat di malam jumat kliwon. Malam festival kelawangin)

"Itu hanya kebetulan saja. Ndhak usah kamu kait-kaitkan." ucap Chandra marah.

Kusumo menoleh pada Chandra. "Apa menurutmu semua serba kebetulan? Badai beberapa waktu yang lalu, sama persis seperti malam itu." ucap Kusumo mengingatkan.

Chandra menatap Kusumo dengan tatapan datar. Auranya yang kerap mengintimidasi membuat Kusumo menggelengkan kepala. Ia sudah tahu arti tatapan itu.

Kusumo hanya berpikir, apa yang akan dia lakukan?

Benarkah kutukannya akan terlaksana?

"Ndhak usah terlalu di pikirkan." ucap Chandra memecah keheningan.

"Aku ndhak bisa. Begitu banyak kebetulan yang terjadi." ucap Kusumo.

"Seharusnya kamu ndhak berpikir sejauh itu." ucap Chandra.

Kusumo mendengus, "Bagaimana kamu bisa sesantai ini?"

Chandra menghela napas, ia menyandarkan punggunggnya ke belakang kursi. "Karena kita ndhak pernah melupakan ritual tolak bala setiap tahunnya. Desa kita masih di lindungi." jawab Chandra.

"Bagaimana kalau ritual itu sebenarnya ndhak berpengaruh?" ucap Kusumo.

"Maksudmu apa?" geram Chandra.

"Maksudku, bagaimana kalau dia hanya menunggu waktu yang tepat?"

***

Happy friday night......

Maafkan typo deelel
Terima kasih vomentnya

Jangan lupa follow IG kenar ya di

@dewiesofia

Salam, author yang gaje maksimal  😂😂😂

NARIK SUKMO (TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang