Masih terngiang-ngiang ekpresi Alex, bahkan pelukan Abid yang menenangkan saat Bearista tak kuasa menahan tangis di depan pintu karena tertekan. Peristiwa rumit berputar di kepala Bea. Gara-gara semua itu Bea malas dan tidak semangat bekerja.
“Sakit?”
Teguran Nayla membuat Bea mendongak. “Nggak, Nay.”
“Mata bengkak, habis menagis?” tanya Nayla. Bea hanya menggeleng dan melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
“Mau cerita?” Setidaknya, Nayla khawatir melihat Bea melamun sejak tadi.
“Tidak ada yang perlu diceritakan,” jawab Bea lagi.
Nayla memahami kondisi Bea pagi ini, tidak memaksaan Bea bercerita. Nayla tahu sahabatnya itu tidak baik-baik saja, tetapi Bea ini pintar menahan permasalahan.
Bearista tahu matanya membengkak. Kemarin malam ia menangis, untuk pertama kalinya ia benar-benar merasa lemah di hadapan orang lain. Biasanya Bea paling bisa menahan air matanya, tetapi malam itu pelukan yang Abid berikan seperti magnet.
“Motor kamu bawa ya, aku mau fitting baju pernikahan,” kata Bea.
“Oke, beres,” jawab Nayla.
“Mau pulang dulu. Tadi sudah izin,” ucap Bea.
“Hati-hati di jalan.”
Bearista mengangguk, lalu meninggalkan ruangan kerjanya. Namun, baru saja Bearista ingin keluar, sudah ada Lukas yang sedang memeriksa bahan yang baru saja datang di kantor mereka.
“Mbak Bea kok tumben jam segini keluar kantor?” tanya salah satu karyawan.
“Mau ada ur—”
“Dia mau fitting baju pengantin,” sela Bos Bea.
Bea menatap Lukas tidak suka, harusnya tidak perlu membuka suara.
“Waduh ... kalau Mbak Bea nikah, nanti Bos patah hati,” ucap karyawan itu, Bea sedikit lupa namanya, karena yang sedang bersaa Lukas sepertinya anak baru.Namun, Lukas menatap tajam karyawannya. Berani-beraninya dia mengatakan hal itu pada Bea, Lukas tidak merasa patah hati.
“Bercanda, Bos. Hidup kok serius mulu, sih,” ucap kayawan yang merasa hawa dingin mulai memenuhi ruangan.
Bea mengabaikan candaan dari beberapa karyawan. Ia langsung berpamitan, tentu saja ia tidak lupa berpamitan dengan bosnya juga.“Mau saya antar?” Ternyata Lukas mengikuti Bea.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih.”
“Hati-hati di jalan.”
Bea mengangguk lalu melangkah keluar. Bea menunggu Abid di salah satu halte yang tak jauh dari kantor. Bea sengaja meminta bertemu sedikit jauh. Ia tidak mau nantinya karyawan kantor mengetahui wajah Abid. Biar saja nanti di pesta pernikahan mereka melihatnya.
Suara klakson mobil membuat Bea berdiri. Abid membuka kaca mobilnya agar Bea mengetahui bahwa ia yang datang. Bea tersenyum singkat pada Abid, sejujurnya ia masih malu dengan Abid. Abid membalas senyuman Bea seperti biasanya. Ia sempat menatap wajah Bea. Sepertinya Bea masih tertekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TraveLove
RomanceMaret, 2018 #2 chicklit #1 rank pilot #12 #14 Bea hampir yakin kalau apa yang dikatakan mamanya benar, berpakaian selalu serba hitam turut membawa kelam dalam hubungan percintaannya. Buktinya, setelah berulang kali dijodohkan, tidak ada yang cocok d...