Konsultasi dan pemeriksaan tentang penyakit Alex pun usai. Abid sudah mengetahui semuanya, ia bisa bernapas lega ketika dokter mengatakan kanker mertuanya baru menginjak stadium satu. Dokter menyarankan Alex untuk melakukan radioterapi. Menggunakan sinar X-ray bertenaga tinggi untuk membunuh sel kanker. Sel kanker stadium satu hanya ditemukan di daerah paru-paru. Sel kanker tidak ditemukan di kelenjar getah bening dan belum menyebar ke organ lain. Kali ini sesuai permintaan Alex, bahwa akan menjalani pengobatan ringan, tentunya setelah menjalani pengobatan Alex harus menjaga diri, termasuk berhenti merokok.
“Setelah Abid selesai penerbangan, Abid akan menemani Papa,” ucap Abid, mereka berada di mobil, berniat kembali ke galeri
“Tidak perlu, Ab. Temani Bea saja. Biar Papa ke sini sama Dimas.”
“Abid akan tetap ke sini, Papa jangan berangkat sendiri. Abid sudah izin ke Bea, Pa,” ujar Abid.
“Maksudmu, memberitahu Bea tentang Papa?”
“Tidak, Pa. Saya hanya izin melakukan penerbangan selama sepuluh hari,” jawab Abid.
Alex kembali bernapas lega, untung saja Abid menuruti permintaannya. “Syukurlah ... terima kasih banyak atas semuanya. Papa tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa.”
Abid menyentuh pundak Alex. “Papa tidak perlu membalas, saya hanya ingin Papa melawan penyakit Papa.”
Alex harus berterima kasih pada mantan istrinya, sebab telah memilihkan Abid untuk dirinya dan Bearista. Mobil mereka sudah sampai tepat di depan galeri.
“Pa, sepertinya saya tidak bisa mampir, mau langsung ke BKP,” ucap Abid.
“BKP itu apa, Ab?”
“Balai Kesehatan Penerbangan untuk melakukan tes kesehatan sebelum take off,” jelas Abid.
Alex mengangguk. “Kamu hati-hati ya, Ab. Fokus kerja. Ingat nyawa mereka ada di tangan kamu dan Allah.”
“Iya, Pa. Makasih banyak. Doain saya, ya.”
Alex mengangguk. Abid menyalami Alex sebelum pria itu benar-benar turun dari mobilnya.
***
Rasanya Abid ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar bisa menemui Bearista. Dulu jika sudah melakukan tugasnya Abid biasa saja. Sekarang, menyelesaikan tugas adalah hal yang Abid tunggu-tunggu.
Benar apa yang dikatakan beberapa teman pilotnya. Jika sudah mempunyai ikatan sakral, pasti berat untuk melaksanakan tugas. Berat karena mereka harus berpisah walaupun sementara.Sebelum benar-benar pergi meninggalkan daratan, ia menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video. Ingin mendengarkan suara dan melihat istrinya. Padahal Abid belum melakukan take off, tetapi hati memang tidak bisa dibohongi, bahwa Abid merindukan istrinya.
“Hai.” Abid tersenyum ketika wajah istrinya memenuhi layar ponsel.
“Sudah landing, ya?” tanya Bearista.
“Iya,” jawab Abid. Padahal ia sama sekali belum take off, ini alasan pertama dari kebohongannya.
“Landing di mana?”
“Kuala Lumpur. Masih sibuk?”
“Nggak kok, sudah mau siap-siap buat pulang. Dasi kamu nggak rapi.”
Pandangan Bearista jatuh pada dasi Abid, ia mengerutkan kening tidak suka.
“Saya memang tidak bisa pasang dasi jadi begini deh hasilnya.” Abid mengedikkan bahu acuh.
“Kamu longgarin dulu, terus tarik ke atas biar rapi.”
Abid mengikuti interupsi istrinya.
“Nah, gitu kelihatan rapi. Dasar, masang dasi aja nggak bisa, kalah sama Adit dan Nala.”
“Lain kali kamu yang pasang dasi saya.”
“Harus terbiasa pasang sendiri.” Bea terlihat masih sibuk membereskan meja kerjanya.
“Maunya dipasangin.”
Abid tersenyum memandang Bea.“Dasar manja!” Dibarengi kekehan dari Bea.
“Hati-hati di jalan. Ingat, jangan pulang bareng sama Bos. Mentang-mentang nanti tidak ada saya.”
Bea malah tertawa. “Masih cemburu sama dia? Nggak mungkin ngajak pulang bareng, bisa-bisa digorok sama Ronald.”
“Siapa lagi Ronald?”
“Teman kantorku, bagian teknisi, dia udah aku anggap kakak sendiri.”
“Yakin cuma kakak?”
Bea mengangguk, menampilkan jari telunjuk dan tengah sebagai tanda bahwa dia tidak bohong. “Iya, aku masih marah sama kamu gara-gara tadi pagi, sembarangan banget melakukan itu di kantor.”
“Saya nggak suka kamu ngobrol dengan bosmu.”
“Padahal aku duluan yang ngajak dia ngobrol.”
Bea memandang Abid tanpa henti. Ia ingin sekali bilang kalau Abid sangat tampan. Apalagi sekarang Abid memakai topi pilot, kadar ketampanannya meningkat.
“Jangan diulangin, aku malu.” Wajah Bea memerah.
“Ternyata bisa malu juga.” Abid senang sekali melihat wajah merah Bea, tambah cantik wanita itu.
“Manusiawi! Sudah, sana terbang, cepat pulang, jangan lama-lama di udara.”
“Oke, deh. Saya tutup, ya. Hati-hati di rumah. Jangan lupa mengabari. Satu lagi, jangan rindu.”
“Nggak akan rindu, malah tenang nggak ada kamu.”
“Kalau tenang kenapa tadi menyuruh cepat pulang?” Bea memalingkan wajahnya. “Malah bengong, saya mau take off lagi. Sampai ketemu sepuluh hari lagi. Ingat, jangan dekat-dekat bosmu.”
Panggilan video bersama Bea berakhir. Abid bangkit, menggeret kopernya masuk ke bandara. Kebetulan ada beberapa teman sesama pilot yang berjalan beriringan.
Tiba-tiba langkah Abid berhenti ketika melihat seseorang yang begitu ia kenal. Abid pamit sebentar dan langsung mengejar seseorang itu.
“Tante Yanti!” Abid berlari cepat agar tidak kehilangan jejak ibu Gealina. Akhirnya selama pencarian yang cukup lama Abid menemukan ibu dari mantan kekasihnya itu.
“Tante Yanti, tunggu.” Abid berteriak lagi, yang dipanggil menoleh, terlihat terkejut.
“Abid?”
“Akhirnya ....” Abid mengucap penuh syukur. “Tante, saya mencari Tante.”
Yanti menunduk. Setelah kepergian anaknya ke pangkuan ilahi, ia tidak berani berhubungan dengan Abid. Bertemu Abid hanya akan mengingatkan dengan putrinya. Ia memilih pergi, karena itu cara terbaik untuk mengubur luka daripada mendengar banyak pertanyaan dari Abid.
“Tante ke mana selama ini?” tanya Abid.
“Tante ada,” jawab Yanti singkat.
“Tante, saya ingin bicara ....”
“Tentang Gea?”
Abid mengangguk cepat. Ia bukan bermaksud untuk mengusik, tetapi hanya ingin tahu lebih jelas bagaimana Gea pergi begitu cepat. Apa benar hanya karena penyakitnya?
“Intinya Gea meninggal karena asma. Kamu tahu dari kecil Gea sudah memiliki asma. Bisa jadi Gea terlalu banyak aktivitas hingga asmanya kambuh. Maaf, Tante menghindarimu. Tante tidak sanggup bertemu denganmu, akan membuat Tante sedih karena kehilangan Gea. Maafkan kesalahan Gea. Berbahagialah dengan istrimu sekarang dan lepaskan Gea. Gea sudah bahagia,” jelas Yanti. Perempuan paruh baya ini sekuat tenaga menahan air matanya. Meskipun Gea sudah pergi, tetapi hatinya belum menerima.
“Tante harus pergi,” ucapnya
“Terima kasih, Tante.”
Tidak ada yang perlu diperjelas lagi, Abid memang harus menerima takdir tentang masa lalunya. Sekarang Gea hanya butuh doa. Meskipun masih ada ribuan pertanyaan ingin dilontarkan, tetapi saat melihat mata sendu Yanti, membuat Abid mengurungkan niatnya. Biarkan Gea tenang di alam sana.
-TBC-
Tinggalkan vote dan komentar.
Instagram: Marronad.wp
Marronad
KAMU SEDANG MEMBACA
TraveLove
RomanceMaret, 2018 #2 chicklit #1 rank pilot #12 #14 Bea hampir yakin kalau apa yang dikatakan mamanya benar, berpakaian selalu serba hitam turut membawa kelam dalam hubungan percintaannya. Buktinya, setelah berulang kali dijodohkan, tidak ada yang cocok d...