Abid Kecewa

57.9K 5.6K 229
                                    

Bea bernapas lega, untung saja Abid tidak bertanya lebih lanjut. Saat sedang mengemasi barang, Abid menemukan sebuah kotak. Ia mencoba membukanya, ternyata kotak itu isinya foto. Abid mengambil satu foto, di sana seorang perempuan, laki-laki, anak kecil, dan bayi terlihat. Pria di foto itu mirip Alex.

“Itu kami,” ucap Bea, seakan yakin Abid bertanya-tanya tentang foto itu. Bea yang tadi berdiri, kini berjongkok sejajar dengan Abid.

“Itu Papa Alex, Mama, aku, dan yang bayi itu Liana,” jelas Bea.

“Bukannya Liana adik tirimu?” tanya Abid penasaran. Bea mengangguk.

“Papa Alex dan Mama berpisah sejak aku umur enam tahun. Lalu di umurku yang delapan tahun dia menikah dengan Papa Bram. Foto itu selalu aku pajang di dekat meja belajar, saat Liana umur delapan tahun, ia bertanya padaku kenapa tidak ada fotonya di foto itu. Aku menjawab, karena dia belum lahir. Aku kira dia akan puas dengan jawaban itu, ternyata Liana malah menangis. Aku berinsiatif mengambil foto bayi Liana, lalu aku gunting hingga membentuk sesuai tubuh bayi, dan ditempel di tangan Papa. Terlihat seperti Papa sedang menggendong Liana saat bayi. Setelah itu, Liana berhenti menangis. Lucu sekali memang anak itu ... foto itu akan aku simpan sampai kapan pun.” jelas Bea

Abid menyimak dengan baik saat Bearista menceritakan masa kecilnya. “Kakak yang romantis. Berarti bukan hanya pacar yang bisa romantis, kakak juga bisa romantis kepada adiknya,” ucap Abid.

“Iya dong. Itu harus, meskipun kami bukan dari rahim yang sama,” jawab Bea.

Abid menyetujui apa yang Bea katakan. Abid mengambil lonceng emas hingga benda tersebut bersuara.

“Lonceng itu dari nenekku. Lucu, kan?”

“Iya,” jawab Abid.

Bea mengambil lonceng itu dari tangan Abid, lalu ia goyangkan seperti saat kecil dulu. Ia selalu melakukannya ketika sedang sendiri. Suara lonceng itu membuat Bea tertawa. Abid yang melihat Bea tertawa, ikut tersenyum tanpa sadar. Umur saja sudah dua puluh lima tahun, tetapi jika seperti ini tetap saja Bea seperti anak delapan belas tahun.

“Sudah, kemasi lagi. Kalau seperti ini terus, tidak akan selesai,” ucap Abid sembari menarik lonceng dari tangan Bea. Dimasukkan kembali foto tadi dan lonceng ke kotak.

Barang yang mereka kemasi, kini sudah siap dipindahkan. Tidak cukup satu mobil akhirnya Abid memesan mobil lagi. Bukan baju atau peralatan rumah tangga yang membuat barang Bea banyak, tetapi lukisan serta barang-barang yang katanya Bea beli saat ia berjalan-jalan.

“Bola dunia, bola dunia, katakan padaku di mana negara yang bisa kukunjungi lagi,” ucap Bea. Tanganya memutar-mutar bola dunia bagaikan peramal.

“Di sini.” Tiba-tiba saja ada telunjuk yang menunjuk tepat di negara New Zealand.

Bea menyingkirkan tangan Abid, menganggu saja.  “Menyetirlah dengan benar. Jangan ikut-ikutan.” Bea menepis tangan Abid.

Ya, mereka sedang di dalam mobil untuk berpamitan ke rumah Mama.

“Ingin ke New Zaeland?” tanya Abid

“Iya. Tapi, menunggu dapat tiket pesawat gratis dari kamu,” jawab Bea.

“Menunggu semut melahirkan sepuluh ribu ekor anak sekaligus, baru saya kasih kamu.”

“Dasar pelit!” Bea mendengus

“Kamu memanfaatkan profesi saya. Mentang-mentang saya pilot, kamu minta tiket gratis.”

“Tidak,” jawab Bea.

“Beruntung kan, punya suami pilot?”

“Iyain saja takut ngambek,” sahut Bea

***

Bagi seorang ibu, berpisah dengan anaknya adalah kesedihan terdalam. Walaupun ia tahu ketika sang anak sudah besar, mereka pasti berpisah. Jika bukan karena kematian, maka karena harus memulai hidup baru. Begitu pula yang dirasakan oleh orang tua Bea dan Abid. Saat Abid dan Bea berpamitan, keluarga mereka sempat melarang. Namun, Abid menjelaskan tujuan mengapa ia ingin hidup berdua saja. Dibantu juga dengan Bea yang berjanji akan selalu mengunjungi mereka.

“Bea pamit ya, Ma,” ucap Bea pada Aliyana yang kebetulan masih ada di rumah Leli.

Aliyana mengangguk. “Kamu hati-hati, jaga diri baik-baik. Jadi istri yang baik,” balas Aliyana

“Siap, Ma. Sudah dong, jangan pada sedih,” ujar Bea

Abid masih mempersiapkan barangnya dari rumah Leli. Abid mencari barang yang dari tadi ia cari. Biasanya ia taruh di dekat ranjangnya, tetapi sekarang tidak ada.

“Mencari apa, Nak?” Leli masuk ke  kamar Abid.

“Mama tahu bingkai foto Abid sama Gea, biasanya aku taruh sini. Sekarang tidak terlihat, ya?” tanya Abid.

Leli mendekati Abid. “Sudah Mama bakar semua barang kamu dengan Gealina,” jawabnya.

“Dibakar?!" Abid terkejut.

“Lagian buat apa disimpan? Kamu sudah punya istri, Gealina sudah tidak ada di dunia ini.”

“Setidaknya kenangan masih ada di dalam hidup Abid, Ma. Mama tidak berhak membakarnya! Aku yang berhak atas semuanya,” tegas Abid.

“Mama berhak Abid! Mama tahu mana yang terbaik untuk kamu.”

Abid menetralkan napasnya. Ia tidak boleh terlalu emosi, Mama memiliki penyakit jantung. Ia tidak boleh membuat Mama sakit. “Tapi, bukan berarti Mama membakarnya. Mama bisa menyimpannya,” ujar Abid dengan suara sedikit merendah.

“Maaf, Mama hanya takut kamu mengingat Gealina lagi,” ujar Leli dengan suara merendah juga.

“Aku memang masih mengingat Gea, Ma. Bahkan saat ijab kabul pun aku menyebut nama dia. Aku belum bisa melupakan Gea. Jika aku merindukannya, aku selalu melihat barang itu. Sekarang barang itu sudah Mama bakar. Lalu, bagaimana kalau aku merindukannya nanti?” ucap Abid.

“Ada Bea yang akan menggantikannya. Bea akan menjadi Gea untukmu, Ab.”

“Bea tidak akan pernah menjadi Gea, Bea tetaplah Bea. Gea tetaplah Gea, wanita terakhirku!” kata Abid. Ia meninggalkan Leli. Meskipun ia berusah untuk tidak kecewa, tetap saja ia masih merasakannya pada Mama. Abid menarik tangan Bea, lalu meninggalkan rumah Leli tanpa pamit.

“Ada apa lagi?” tanya Arif saat Leli keluar dari kamar putra mereka. Tadinya Leli ingin mengejar Abid, sayang Abid sudah pergi dari rumahnya.

“Abid marah padaku,” jawab Leli.

“Aku selalu memperingatimu, tapi kamu melanggar. Sekarang kamu lihat, Abid marah. Pasti dia kecewa denganmu,”  ucap Arif

-TBC-

Tinggalkan vote dan komentar.

Instagram: Marronad.wp

Marronad

TraveLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang