#10

34 4 2
                                    


Juna's POV

Gelap.

Berisik.

"Jun?"

"Juna?"

Suara-suara itu berhasil membuatku membuka mata yang sedari tadi terpejam rapat.

Sedetik aku membuka mata, seseorang dengan sangat cepat bergerak ke arahku. Memelukku dengan erat. Kepalaku masih pusing, ditambah lagi orang yang sedang memelukku kini merengek-rengek, berisik.

"Akhirnya lo melek juga, maafin gue Jun, maafin."

Aku mencoba menelaah kata-kata Ruby yang kini sudah melepaskan pelukannya. Matanya bengkak, dan ia masih berusaha mengatur nafasnya. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi. Mengapa Eryq, Luke, Senna, Theo, dan Ze juga ada disini menatap ke arahku dengan tatapan yang seolah mengatakan 'Poor you', sial.

Aku berusaha bangun dari posisiku yang terlihat sangat lemah ini. Aku tidak mau terlihat lemah di depan anggota tim ku.

"Ugh,"

Sial! Punggungku terasa remuk tak berbentuk. Ruby dan Luke dengan sigap membantuku duduk.

"Oke gue heal punggung lo lagi ya Jun." Ruby mengubah posisi duduknya menjadi di belakangku.

Sekelebat kejadian demi kejadian mulai berputar di ingatanku.

Pria besar dengan pedangnya.

Pertarungan di perkebunan.

Menangkap pria besar itu.

Ledakan.

Lalu di ruangan ini.

"Jadi bisa ceritain detailnya sekarang gak nih? Jun?" Ze memecah keheningan yang sempat bertengger di kamar penginapan ini.

"Semua orang sampe khawatir Jun." Eryq menyodorkan segelas teh hangat kepadaku. Aku menyeruput teh hangat itu dengan perlahan hingga hanya menyisakan serbuk-serbuk endapan daun teh.


"Gue dijebak."

-----

Kabut sudah mulai menyelimuti desa. Aku harus secepatnya membuat strategi untuk melawan dan menangkap pria besar itu. Setelah selesai dipulihkan Ruby, aku akan meminta semua berkumpul dan memberikan laporan detail mengenai pekerjaan hari ini.

"Jun," Ruby nampaknya telah selesai memulihkan punggungku.

"Hm?" Aku mencoba meregangkan lengan dan pundak ku. Juga meregangkan punggungku yang sedari tadi terasa kaku. Sudah seperti sedia kala. Baru kali ini aku merasakan dipulihkan secara langsung oleh healer dengan tingkat kerusakan yang tinggi, hebat juga dia.

"Mmh, itu.."

"Apa?" aku mengerutkan alisku melihat Ruby yang bertingkah aneh.

"Ah.. itu,"

Lagi-lagi kalimat Ruby menggantung. "Apaan sih?" tanyaku tak sabar.

"Um, udah laporan ke Kapten?"

Orang aneh. Atau bodoh? Pertanyaan yang tak perlu dipertanyakan.

"Ya belomlah. Daritadi kan lo juga liat sendiri, gue belom ngehubungin Kapten. Masih di-heal sama lo."

"Oh iyaya, um kalo gitu gue ke luar dulu ya." Ruby bergegas keluar dari kamarku. Tingkahnya aneh juga, pikirku. Apa dia takut aku laporkan ke kakaknya? Kekanak-kanakan sekali.

Ruby's POV

Sigh

Bodoh! Kenapa aku malah bertanya hal bodoh seperti itu sih?! Huaaaaa~ Aku masih tidak berani mengatakan sesungguhnya aku bisa blood-bendering. Ya, aku memang pengecut. Aku takut kejadian itu terulang kembali. Meskipun seharusnya aku sekarang sudah kebal terhadap reaksi orang-orang yang membenciku setelah mengetahui aku memiliki kemampuan 'terkutuk' ini.

Semenjak tragedi pembantaian masal yang terjadi 6 tahun yang lalu, sebagian besar orang-orang menganggap pengendali darah adalah keturunan si pembantai. Padahal leluhurku, Katara, juga merupakan pengendali darah. Mereka seakan-akan lupa, atau lebih tepatnya menolak untuk mengingatnya. Aku bisa memakluminya.

Tragedi itu memakan korban jiwa kurang lebih 50.000 jiwa. Ayah dan kakak Claire serta ayah dan ibu Ken turut menjadi korbannya. Aku bersyukur Ken dan Claire tidak sertamerta membenciku seperti kebanyakan orang.

"By, Juna udah sembuh?" Senna menghampiriku yang masih terdiam di depan pintu kamar Juna, memecah lamunanku.

"Ah, iya udah."

"Oh oke. Gue mau ngomong sama Juna."

"Oh, silahkan." Aku menyingkir dari depan pintu kamar Juna dan mengambil langkah menuju ruang makan. Aku masih berusaha melupakan kebodohanku di depan Juna.

Di ruang makan, Eryq sibuk membereskan sisa-sisa makanan dan piring kotor dari meja makan.

"By, makan dulu nih. Tinggal lo doang yang belom makan dari tadi karena lo sibuk nge-heal Juna." Kini Eryq menyodorkan sepiring nasi dan kari yang masih mengepulkan asapnya.

"Waaah thank you Eryq!!" Aku langsung melahap makanan buatan Eryq. Aku baru menyadari bahwa perutku ternyata terasa amat sangat lapar. Sejak kejadian ledakan siang itu, aku hanya memikirkan keselamatan Juna. Aku amat sangat merasa bersalah kepadanya. Siang itu aku hanya merepotkan Juna. Bahkan aku belum sempat memberikan serangan sedikitpun ke pria besar sialan itu. Dan sialnya lagi, ia sekarang bisa lolos.

Ah iya, apa respon kak Harry nanti ya saat mendengar laporan dari Juna? Apa mungkin dia akan mencacimaki aku? Ia pasti kecewa denganku. Menyedihkan sekali kamu, Ruby.

Aku menghela nafasku dalam-dalam. Makanan di piringku sudah habis tak bersisa, dan di belakangku terdengar langkah kaki. Aku menolehkan kepalaku ke arah suara langkah kaki itu berasal.

"By, ada yang mau gue omongin sama lo." Juna menyelesaikan kalimatnya sembari menunjuk dengan sudut matanya ke arah kamarnya.

Deg!

Apalagi ini?!

-----

AVATAR : The Soldier Of PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang