#1

256 9 0
                                    

Juna's POV

Teng...Teng...Teng...
Lonceng perak raksasa di puncak bangunan dimana aku tinggal dan menuntut ilmu selama 5 tahun terakhir berbunyi. Seluruh 'Kuda Putih Muda' bersorak dan terlihat senyuman bangga dan bahagia pada bibir kedua orang tuaku yang ikut hadir pada upacara kelulusan Akademi Perdamaian.

5 Tahunku tidak sia-sia...

Ah iya, adikku juga hadir. Ia bersorak paling kencang hingga kurasa aku dapat mendengar sorakannya dari atas podium. Ya, aku sekarang berada di atas podium dengan mengenakan jubah emas dan akan menyampaikan beberapa kalimat, yang sebenarnya kalimat ini dibuatkan oleh temanku, sebagai lulusan dengan nilai terbaik.

"Ehem, kerja keras dan ketekunan memang akan membuahkan hasil pada waktunya. Dan kurasa ini adalah waktu dimana hasilku berbuah, ehehe.."
Aku ragu, apakah aku harus melanjutkan kalimat ini atau tidak.

"Err... Terimakasih atas segala dukungan kedua orang tuaku dan penyemangatku, Jo.."
Aku melemparkan senyum kepada adikku yang saat ini memasang puppy face andalannya.

"Dan juga guru-guru, teman-teman, serta seluruhnya yang ikut andil dalam pelatihan kami para Kuda Putih Muda. Kuharap kami dapat selalu menjaga perdamaian dunia. Salam Perdamaian!"
Entah, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku tidak lagi membacakan kalimat buatan Lee yang terlalu... ah sudahlah. Aku bergegas turun dari podium diiringi sorakan dan tepukan orang-orang yang hadir hari itu. Aku tidak terlalu ahli dalam berkata-kata, apalagi di depan umum.

"Kakak!! Kau memang yang terbaik!" Teriak Joan sembari menampilkan barisan gigi-giginya yang masih gigi susu semua. Aku mengusap asal kepalanya sembari duduk di sebelahnya. Ibuku, yang duduk disebelah Joan, terlihat mengusap matanya.

"Bu, apakau menangis?" Tanyaku memastikan.
"Ah tidak Juna, ibu hanya... hiks, bahagia.." Senyum bahagia ibuku membuat aku sangat-sangat puas dan bahagia karena sudah lulus dari akademi ini. Lalu ayahku memeluk ibuku dan mengusap-usap punggung ibuku untuk menenangkannya.

------

Akhirnya aku menginjakkan kaki di rumah sederhana kedua orang tuaku di pinggiran kota Basingse. Aroma rawa, kesejukan alamnya, serta makanan buatan ibuku selalu membuatku rindu akan rumah.

"Juna, Joan, Ayah, masuklaaah kita makan bersama~"
Suara ibuku menyeruak dari dalam rumah. Aroma kalkun panggang kesukaanku mulai menghampiri hidungku. Bergegas aku masuk ke dalam rumah melesat menuju ruang makan. Tak sadar aku menyeringai lebar dibuatnya.

"Kak, kurasa kalkun itu akan lari melihatmu menyeringai seperti itu. Ahahahaha" Joan meledekku dan ia tertawa geli sekali hingga memukul-mukul meja makan.

"Jo, apakau ingin berlari bersama kalkun itu?" Ancamku sembari menatap tajam kepada Jo.

"Ibuuuu, kak Juna menyeramkaaan"
Sekarang giliranku yang tertawa geli melihat adikku yang berhasil kubuat cemberut.

"Juna, kau baru saja pulang tetapi sudah membuat adikmu cemberut." Ucap ayah yang muncul dari arah toilet sembari mengacak-acak rambutku.

"Bercanda yaaah, bercandaaa" kucubit pipi adikku agar ia tidak cemberut lagi.

"Sakit kaaak huuuuh" gerutunya membuatku semakin gemas.

"Heeei sudah ayo makan, kalkunnya nanti keburu dingin lho." Ibu mengambilkanku potongan kalkun besar dan meletakkannya di piringku.

"Makanlah yang banyak Juna, kamu pasti merindukan masakan ibumu ini. Haha" ibu kembali mengambilkan potongan kalkun untuk ayah dan Jo.

"Ahaha tau saja ibuku ini. Kurasa ibu bisa membaca pikiranku, ehehehe" dengan lahap aku memakan kalkun panggang buatan ibuku yang super enak ini.

Setelah makan, kamipun beranjak tidur.

"Kak, maukah kau mengajariku sedikiiit saja pengendalian tanah ataupun tumbuhanmu?" Jo masih belum tidur rupanya.

"Hmmm tapi kau tidak boleh manja jo. Tidak boleh banyak mengeluh." Aku agak tidak yakin karena Jo masih sangat kecil dan yaa... dia dilahirkan sebagai nonbender. Karena kedua orang tuaku nonbender. Aku terlahir sebagai bender karena sedikit keturunan dari kakek ku.

"Iya kaaak, Jo tidak akan manja! Besok ajari Jo yaa~" lagi-lagi ia mengeluarkan puppy face andalannya. Aku tidak bisa menolak dan hanya mengangguk melihat tingkah lucu Jo.

Memang saat ini bendering dapat dipelajari, meskipun sulit. Karena 20 tahun terakhir muncul ilmuwan sekaligus penulis ternama yang mengajari bendering melalui temuannya dalam buku yang ia terbitkan. Aku sangat mengidolai mereka. Bahkan aku dapat mengendalikan tumbuhan berkat mempelajari tulisan-tulisan mereka.

-----

"Kaaak, ayo banguuun~ kak Junaaa ayoo ajari aku mengendalikan tanah atau tanaman kaak~"
Kurasa aku baru tertidur beberapa jam saja, tetapi Jo sudah mengguncang-guncangkan badanku dan memintaku untuk mengajarinya bendering.

"Hoaaam jam berapa memangnya sekarang Jo?" Aku berusaha membuka mataku sekuat tenaga. Mataku masih terasa berat. Mungkin karena selama di akademi aku tidak bisa tidur dengan sangat pulas.

"Sekarang sudah jam 10 kaaak~ Ayoo banguuunnn" Jo mulai merengek dan suaranya mulai meninggi.

"Iya iyaaa, kakak mandi dan sarapan dulu yaa. Jo udah mandi dan sarapan?" Dengan setengah melek aku duduk di atas ranjangku sembari mengecek ke arah jendela.

Sudah siang rupanya, Jo benar

"Jo sudah mandi dan sarapan kok kaak. Ayo ayooo kak Juna mandi dan sarapaaannn" Jo menarik lengan kananku dan membawaku ke arah kamar mandi.

"Iya iya Jooo. Kamu ini gak sabaran banget sih. Ohiya ibu dan ayah mana?" Suasana rumah yang sepi membuatku mengedarkan penglihatanku mencari kedua orang tuaku.

"Ibu dan ayah sedang di resto kak. Kakak lupa? Ibu dan ayah kan buka resto kalkun panggang di kota."

Ah iya aku lupa. Kedua orang tuaku memulai bisnis kalkun panggang 3 tahun yang lalu. Dan sekarang resto kalkun panggang milik kedua orang tuaku sudah terkenal di Basingse.

-----

"Jooo, ayo kemari! Lepas alas kakimu Jo!!"
Jo masih tampak ragu untuk melepas alas kakinya.
"Jo ayolah, kakak bilang apa kemarin?" Ia menatapku dengan pandangan ragu. Jo kembali menunduk melihat alas kakinya. Akupun menghampirinya.

"Jo, ini tanah biasa kok. Kamu tak akan terluka Jo tenang saja. Lihat? Ini lembut Jo, seperti mainan pasirmu." Aku mengaduk-aduk tanah pinggiran rawa yang berwarna hitam. Aku mengajak Jo kemari karena tanah hitam ini jauh lebih mudah dikendalikan daripada tanah biasa.

Akhirnya Jo mau melepas alas kakinya. Ia memainkan tanah-tanah itu dengan kakinya dengan ragu, namun lama-kelamaan ia menikmati memainkannya.

"Tidak semengerikan itu bukan Jo?" Kuusap kepala Jo dan segera memulai pelatihan awal. Jo mengangguk dan menyembulkan senyumnya.

-----

Hai readers ^^
Chapter 1 selesai~
Jangan lupa vote dan ditunggu komennya yaa
Thankchu ^^
Chapter 2 kita move to Ruby's POV :3

AVATAR : The Soldier Of PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang