#11

30 4 2
                                    

Ruby's POV

Suasana hening mencekam menyelimutiku. Di depanku kini berdiri seorang pria semampai bermandikan cahaya rembulan. Sorot matanya yang mengarah ke luar jendela, seolah menggambarkan emosi yang sedang meluap-luap. Tetapi bahasa tubuhnya masih terlihat amat tenang. Aku berdiri tak bergeming di sebelahnya, menebak-nebak kalimat apa yang akan Juna lontarkan kepadaku.

"Kenapa lo gak bilang dari awal By?"

Jantungku sepertinya siap meledak. Aku bingung, jawaban apa yang seharusnya aku ucapkan.

"B, bilang apa?" jawabku ragu.

"Blood bender." Kini sorot mata tajam yang sedari tadi mengarah ke luar jendela itu menghujamku. Refleks, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain sembari memikirkan jawaban selanjutnya.

"Maaf.." hanya itu jawaban yang terfikirkan olehku. Dengan ragu aku kembali menatap mata dingin milik Juna. Dengan secepat kilat, lagi-lagi aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

"Kenapa?" kini ia memutar badannya menghadapku. Posturnya menggambarkan bahwa Juna sedang amat-sangat serius, menunggu jawabanku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, memberanikan diri untuk menceritakan ketakutanku. "Gue takut kalian pada benci bahkan takut deket-deket sama gue. Karena sebagian besar reaksi orang-orang yang tau gue bisa blood-bender ya kayak gitu."

Kini tatapan kami bertemu. Tapi kali ini aku tidak mengalihkan pandanganku. Aku sudah mengatakannya, dengan jujur. Beberapa detik berlalu, kini Juna kembali memutar badannya ke arah jendela sembari menyilangkan kedua tangannya di dada. Apa Juna sekarang membenciku?

"Udah sejauh mana yang lo bisa?"

Apa dia sekarang ketakutan? Tidak, Juna tidak selemah itu kurasa. Apakah dia mengukur kemampuanku demi menyusun strategi nanti?

"Kendali penuh 1 tubuh."

-----

Author's POV

Kabut semakin menebal di Desa Dhoomil. Jarak pandang saat ini bahkan tidak mencapai 5 meter. Seluruh warga desa sudah memasuki rumahnya masing-masing.

"Kakak yang tadi siang meledak?" seorang bocah dengan pipi tembam bertanya kepada Juna. Pertanyaannyapun disambut dengan gelak tawa oleh Juna dan teman-temannya. Pak Kepala Desa juga dibuatnya tertawa.

"Bukan meledak Tobi, tapi terkena ledakan." Pak Kepala Desa menepuk-nepuk kepala Tobi. Tobi hanya mengangguk dan ikut tertawa.

"Iya, tadi siang kakak kena ledakan di perkebunan." Juna menyunggingkan senyuman lembutnya ke arah Tobi. Tampak ekspresi bingung di wajah Tobi. Mungkin ia bingung, mengapa Juna bisa terlihat baik-baik saja terkena ledakan yang sangat dahsyat siang tadi.

"Tapi kakak gak kebakar? Aku kena petasan yang dilempar Yohan aja kebakar kak, nih bekasnya." Tobi menyibak lengan kaus yang ia pakai. Nampak bekas luka bakar berwarna lebih terang dibanding warna kulit Tobi.

"Woah, Tobi mau disembuhin nggak? Luka bakar kakak disembuhin sama kak Ruby."

"Kak Ruby?" Tobi masih terlihat bingung.

"Iya, kakak yang cewek itu." Juna menunjuk kecil ke arah Ruby yang duduk di arah kanan Juna. Sembari melempar isyarat-isyarat kecil ke arah Ruby, akhirnya Ruby mengajak Tobi bersamanya ke ruang makan.

Juna dan anggota tim Ace yang tersisa meminta bantuan kepada kepala desa mengenai rencana mereka untuk esok hari dan keesokannya lagi, rencana jangka panjang lebih tepatnya.

Sedangkan di ruang makan, ditemani dengan suara jangkrik yang sayup-sayup terdengar, Ruby mulai mengeluarkan air penyembuhannya dari dalam tabung yang menggantung di pinggangnya.

"Woaaah, kakak pengendali air? Keren! Tobi baru lihat!" Tobi tampak antusias melihat air yang kini mengapung di udara.

"Iya dong! Kakak memang keren! Air ini khusus buat penyembuhan, Tobi." Ruby dengan percaya diri membuat atraksi menggunakan air penyembuhan itu.

"Waah, kalau pakai air sungai gak bisa sembuh kak?" kini Tobi semakin antusias. Bahkan kakinya yang menggantung di kursi makan, berayun dengan cepat disertai tepukan tangannya.

"Bisa doong~ Tapi agak lama, dan gak seampuh air ini. Ayo kita mulaii~" sekarang Ruby mengarahkan air tersebut ke arah luka bakar di lengan Tobi. Air tersebut seolah menempel di atas luka bakar Tobi dan berubah warna menjadi hijau.

"Waah, dingin kak!" Tobi yang kegirangan ini bahkan tidak menyadari bahwa deret giginya kini mulai mengering. Ruby hanya bisa tertawa melihat tingkah polos Tobi, menggemaskan.

"Kak, bisa nyembuhin luka jatuh dari pohon?" Tobi mulai penasaran.

"Hm, bisa."

"Luka terkena biji ketapel?"

"Bisa juga dong~"

"Kalau luka terkena cangkul?"

"Bisa dooong~" jawab Ruby gemas sembari memasukkan air penyembuhan kembali ke tabungnya. Kini luka bakar Tobi sudah sembuh. "Apa sih yang kakak nggak bisaa~" Ruby meraih pipi tembam Tobi dan mencubitnya lembut. Mungkin jika ada anak-anak yang lain, mereka akan meminta Ruby untuk menyembuhkan luka-luka mereka juga, pikir Ruby.

"Wah keren banget kak Ruby!" sekarang Tobi kembali bertepuk tangan. Ruby terkekeh sembari berpose menyombongkan dirinya.

"Enak ya yang udah disembuhin?" Juna memasuki ruang makan disertai kepala desa yang datang menghampiri Ruby dan Tobi. Dengan secepat kilat, Tobi berlari ke arah Juna dan kepala desa sembari memamerkan lengannya yang kini bersih tanpa luka bakar lagi.

"Lihat dong kakek, kak Juna, sekarang luka Tobi sudah sembuh!"

Kepala desa dan Juna tertawa melihat tingkah Tobi yang sedang kegirangan.

"Hahaha iya, sudah bilang terimakasih ke kak Ruby?"

"Oh iya, terimakasih kak Ruby!"

Kini Tobi berlari ke arah Ruby dan menggenggam erat kedua tangan Ruby. Di desa Dhoomil, mengucapkan terimakasih harus disertai dengan menggenggam tangan orang yang diucapkan. Ruby tampak agak kaget, tetapi sejurus kemudian ia tersenyum.

"Sama-sama Tobi embuul~"

"Nah kalau begitu, saatnya kita pulang Tobi."

Kepala desa dan Tobi kembali ke rumahnya dengan diantar oleh Ze dan Juna. Sedangkan Ruby dan anggota tim Ace lainnya beristirahat di kamarnya masing-masing.

-----

AVATAR : The Soldier Of PeaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang