[4] Melepas yang Seharusnya

1.2K 123 123
                                    

_____________________________________________

Karena ada beberapa hal yang lebih baik dikubur dengan susah payah, daripada diingat dengan mudah.
_____________________________________________

Setelah Bora berpacaran dengan Reksa, Anka semakin terbiasa sendiri. Tidak, Bora tidak meninggalkannya sendiri karena sudah punya pacar, Anka hanya sadar diri untuk tidak terlalu banyak mengganggu keduanya. Mereka masih sering mengajaknya berangkat atau pulang bareng, tapi rasanya aneh, kan, berada di tengah orang yang berpacaran. Lebih baik dia pergi dan pulang sendiri, daripada merasa aneh sepanjang perjalanan.

Tapi, tidak enaknya berangkat atau pulang sendiri adalah seperti ini. Anka mungkin saja akan diikuti oleh salah satu dari dua cowok yang belakangan ini semakin membuat hidupnya tidak tenang. Pertama Danny, yang masih saja tidak menyerah untuk dekat lagi dengannya. Yang kedua Brav, yang memang punya rumah searah dengannya. Dalam hal ini, cowok kedua lebih sulit dihindari daripada yang pertama, karena Anka tidak punya alasan kuat untuk menolak. Mana bisa dia melarang orang untuk pulang ke rumahnya sendiri.

Saat ini Anka sedang berusaha berjalan secepat mungkin supaya tidak terkejar oleh dua cowok itu. Iya, kali ini tidak tanggung-tanggung, dua-duanya bersikeras pulang dengannya. Anka merapalkan doa supaya kali ini saja, Bora bisa tiba-tiba muncul di hadapannya. Kali ini dia rela menjadi nyamuk, lalat atau apa pun, asalkan terhindar dari dua cowok itu.

Namun nasib sial tidak akan tanggung-tanggung sekali datang. Bukannya bertemu Bora, Anka malah harus melihat Rama dan gengnya di dekat pagar sekolah. Mereka sedang berkerumun, dan Rama berada di tengah sebagai pusat segalanya, bagi geng itu tentu saja, bukan bagi dunia. Anka menghela napas sesaat. Dia tidak tahu apa yang sedang geng itu lakukan, tapi dia tidak berniat menambah kesialannya hari ini, maka dia memilih berjalan di pinggir.

Dari pinggir yang berlawanan dengan keberadaan geng itu, Anka masih bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Dia melongok sesaat sebelum benar-benar pergi dari sana. Ada satu cowok yang berada di tengah kerumunan, menghadap Rama dengan raut memohon. Di sekelilingnya, anggota geng lain berdesakan sambil tertawa mengejek.

"Lo mau masuk geng ini? Nggak salah? Lo nggak tahu betapa kerennya Rama dan betapa cupunya lo?" Cowok yang selalu memulai omongan di geng itu kembali menjalankan tugasnya. Mungkin dia memang juru bicara geng itu.

Anggota geng lain kembali tertawa, kali ini semakin kencang karena omongan cowok tadi. Sedangkan cowok yang sedang mereka tertawakan masih memasang ekspresi memohon. Wajahnya terlihat benar-benar memelas. Bahkan telapak tangannya disatukan di depan dada, persis seperti sedang memohon sesuatu dengan bersungguh-sungguh.

Melihat itu Anka hanya bisa berdecak sambil menggeleng-geleng. Sampai sebegitunya cowok itu memohon supaya bisa masuk ke geng itu, padahal bagi Anka, geng itu sama sekali tidak jelas. Memang sih, mereka geng yang terkenal, bukan cuma di sekolah ini, tapi juga di antara sekolah-sekolah lain.

Tapi sampai harus memohon seperti itu sih cukup berlebihan bagi Anka. Berlebihan banget malah. Toh, masuk geng itu tidak menjamin apa-apa. Tidak ada yang berubah. Dia masih harus tetap sekolah, tidak sukses begitu saja. Dia masih harus menghadapi berbagai masalah, tidak akan tiba-tiba hidupnya bebas dari segala beban pikiran. Yang ada malah bertambah sih itu beban pikiran kayaknya.

Untuk kali ini, Rama tidak menjawab. Dia hanya melihat cowok yang sedang memohon itu dengan tatapan yang belum bisa diartikan oleh Anka. Dan sialnya, saat Anka melihat ke arahnya, dia juga menoleh. Anka cepat-cepat memalingkan wajah, dan begitu melihat ke sana lagi, tatapan itu sudah dapat diartikan. Tatapan remeh. Pastinya. Anak seperti dia, apalagi dengan jabatan ketua geng, pasti jauh lebih menganggap remeh cowok itu dibanding anggota geng lainnya.

Captivated!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang