[16] Hati yang Menyelipkan Harap

759 95 42
                                    

_____________________________________________

Harapan bukan sesuatu yang bisa dibatasi, karena hati selalu punya cara kerjanya sendiri.
_____________________________________________

Orang itu menyeret langkahnya ke perpustakaan tanpa semangat. Sebenarnya, dia tidak punya rencana mengunjungi tempat ini. Hanya saja, datang terlalu awal dan tidak punya tempat tujuan membuatnya berakhir di sini. Dia menunduk pelan, memberi salam kepada penjaga perpustakaan dan melanjutkan langkah ke rak favoritnya.

Setiap masuk ke perpustakaan, dia akan selalu menuju rak ini. Ada satu novel favorit yang selalu dibacanya berulang-ulang. Saat meraih novel itu, dia tidak punya firasat apa pun, sampai kertas yang waktu itu diselipkannya di sana meluncur begitu saja. Dia menangkap cepat kertas itu sebelum lolos dari genggaman. Matanya membesar tiba-tiba melihat sesuatu yang baru di sana.

Bagi gue, hantu itu berupa penyesalan. Mau cerita lebih jelas tentang kegelapan dan keluarga?

Balasan dari tulisannya yang ada di atas itu membuatnya bergeming dalam waktu yang lama. Seluruh kesadarannya seolah tersedot ke kertas itu. Akhirnya ada yang membalas tulisannya, walau sejak awal menuliskan rahasia itu, dia tidak pernah berharap atau memikirkan balasan dari siapa pun.

Tanpa sadar, senyumnya mengembang setelah sekian lama. Entah siapa orang itu, tapi dia sudah membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Harapan. Kepedulian orang itu membuatnya tersentuh. Setidaknya, ada satu di antara sekian banyak orang yang masih punya hati untuk memedulikan orang lain, bahkan yang tidak diketahui identitasnya.

Perlahan, tangannya merogoh bolpoin yang ada di dalam tasnya. Selama sekian detik dia masih bolak-balik menutup dan membuka kembali tutup bolpoin itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ragu, walau tidak dapat terelakkan, ada kebahagiaan yang sudah lama tidak terasa dalam hatinya.

Membagi rahasia berarti memercayakan hidup pada orang itu. Tidak ada yang tahu, bagaimana orang itu akan menggunakan rahasia yang kita bagi. Akan dijadikan senjata untuk menusuk kita suatu hari nanti, atau bahkan menjatuhkan kita di depan orang lain. Kalau cukup baik, rahasia itu hanya akan disimpan.

Dipakai untuk menghibur atau bahkan memperbaiki bagian yang rusak dari diri sang pencerita terasa terlalu muluk. Dia tidak percaya ada orang sebaik itu, setulus itu. Kalau yang harusnya bertahan dan melindungi saja bisa meninggalkan, apalagi orang lain yang tidak punya kewajiban apa-apa. Dia tidak pernah percaya, sampai bayangan orang itu muncul di pikirannya. Bayangan saat orang itu menyelipkan sececah harapan di hatinya, seperti saat ini. Apa mungkin ini orang yang sama?

Pikiran itu membuatnya menatap kertas itu lagi selama beberapa saat. Untuk kali ini. Hanya kali ini saja, dia akan meraih tangan orang itu, siapa pun dia pada akhirnya. Untuk saat ini saja, dia ingin mencoba menyambut kebahagiaan, walau dia tidak tahu, wujud itu akan menjadi nyata atau lenyap begitu saja di akhir nanti.

Keluarga yang harusnya melindungi dan menyayangi malah pergi, menciptakan kegelapan yang tak bisa terusir. Hanya tersisa seorang nenek tua yang menjadi harapan, tapi akhirnya membongkar kenyataan yang malah semakin menghancurkan. Yang satu mengejar impian, yang satu merasa malu. Apa memang hidup orang lain tidak ada artinya bagi mereka?

Tangannya masih mengatung di udara seusai menulis. Dia tidak bisa menyusun kata dengan benar, dengan bahasa sehari-hari, karena tidak ingin ada yang mengenali. Namun, dia juga tidak tahu pasti, apa yang ditulisnya bisa diterima orang lain atau tidak.

Dia menggeleng keras-keras lalu memasukkan kertas itu kembali ke novel. Otaknya berusaha tidak memikirkan apa pun. Namun, hatinya menolak dan tetap berusaha menyelipkan harap.

Captivated!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang