[27] Maju Perlahan

563 64 2
                                    

_____________________________________________

Tak apa berjalan tertatih-tatih. Setidaknya bergerak, tidak hanya diam di tempat.
_____________________________________________

Melihat Anka menangis adalah pilihan terakhir yang bisa muncul di otak Brav selama cewek itu menghindarinya. Dan sialnya, kemungkinan terakhir yang tidak diinginkannya itulah yang terjadi. Di hadapannya kini, di bangku ruang tunggu rumah sakit, Anka membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Cewek itu terlihat berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis, tapi air mata yang mengintip di sudut matanya tidak bisa berbohong. Berulang kali, dia menyekanya dengan cepat, sebelum terlihat semakin jelas.

Tadi sepulang sekolah, setelah Anka memalingkan wajah dan kembali menghindarinya, Brav memilih mengikuti cewek itu. Tidak masalah jika Anka masih tidak mau menerimanya di sekitar, Brav akan menurut. Dia akan menjaga jarak, sambil memastikan kalau cewek itu baik-baik saja, ke mana pun dirinya pergi.

Namun, kenyataannya Anka benar-benar tidak baik-baik saja. Sebenarnya Brav sudah cukup bingung saat cewek itu berjalan ke samping sekolah, apalagi mengingat geng besar sekolah ini selalu berkumpul di sana. Dan ternyata, yang terjadi jauh melebihi kata buruk. Ada seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Anka sambil membawa batu. Brav langsung berlari saat melihat itu, tapi dia kalah cepat dengan Rama, ketua geng besar yang lagi nongkrong di sana. Sebagai hasilnya, cowok itu langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dari sekolah mereka, dan di sini juga lah Brav dan Anka berada.

Dokter masih memberi penanganan yang seharusnya. Anggota geng Rama juga masih menunggu di area depan. Anka sendiri memilih tempat ini, yang tidak terlalu dekat dengan tempat anak-anak lain berkumpul, tepat sebelum Brav berniat menggiringnya menjauh. Sejak datang ke rumah sakit, Anka masih tidak berbicara sama sekali. Cewek itu bahkan tidak menatap Brav, membuat hatinya kembali merasa nyeri. Namun, memikirkan itu terasa terlalu egois saat ini, mengingat ada teman satu angkatan mereka yang sedang mendapat penanganan serius.

Brav masih berdiri sambil menatap Anka lekat-lekat. Seluruh tubuh cewek itu gemetar, terlebih tangannya. Berulang kali dia meremasnya, tapi tidak mengurangi apa pun. Satu helaan napas lolos dari mulut Brav. Dia benar-benar tidak tahan melihat Anka seperti ini. Tangannya terjulur, berniat meraih tangan Anka dan berusaha menenangkannya, tapi gerakan itu terhenti begitu saja. Dia kembali menunduk, lalu tangannya bergerak ke arah pundak Anka. Mungkin itu bisa menenangkannya. Tapi lagi-lagi gerakannya terhenti. Dia tidak bisa. Dia tidak bisa. Kalau Anka tidak mau disentuh, dia tidak bisa melakukannya, untuk alasan apa pun itu.

Sambil mengembuskan napas frustrasi, Brav berjalan menjauh dari tempat Anka duduk. Dia hampir mengerang, kalau tidak ingat ini di rumah sakit. Kenapa semua jadi sesulit ini? Saat yang ingin dia lakukan hanya menghibur dan memberi dukungan pada Anka, tapi benteng cewek itu dan semua niat Brav untuk memenuhi keinginannya jauh lebih tinggi. Dia berhenti di depan mesin penjual otomatis, melihat-lihat sebentar dan akhirnya memilih.

Dengan sebotol minuman di tangan, Brav kembali ke tempat Anka. Cewek itu masih bertahan dengan posisi yang sama. Brav mendekat, berjongkok di hadapan Anka lalu mengangsurkan minuman yang dibelinya tadi. Cewek itu mendongak. Akhirnya setelah sekian lama, mata mereka bisa bertemu lagi. Entah bagaimana Brav harus menjelaskan betapa dia merindukan tatapan sendu di hadapannya saat ini. Dia sendiri hampir kehilangan kata.

"Gue nggak bisa genggam tangan lo atau nepuk pundak lo buat nenangin, jadi ini," ujar Brav sambil mendekatkan minuman itu ke Anka. "Genggam dia seerat yang lo mau biar tenang."

Anka merasa matanya kembali memanas. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi kembali mengintip di pelupuk. Kenyataan kalau Brav sangat baik dan mengerti dirinya membuatnya kembali tidak bisa berpikir jernih. Apalagi dengan fakta tambahan yang berlawanan, bahwa dia ada di rumah sakit karena Rama terluka, untuk menyelamatkannya. Kenapa kehidupan mempermainkannya sedemikian rupa?

Captivated!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang