[8] Sisi Lain

1K 107 23
                                    

_____________________________________________

Segala sesuatu selalu punya banyak sisi. Bahkan lampu pun punya sisi gelap di sampingnya.

_____________________________________________

Ka, nanti nyusul ke kantin, dong. Udah lama kita nggak makan bareng.

Chat dari Bora itu sudah masuk ke ponsel Anka sejak sebelum bel istirahat berbunyi. Anka juga sudah menolak ajakan itu karena memang sedang malas jalan dan merasakan suasana kantin yang ramai. Namun, chat-chat selanjutnya dari Bora masih juga berisi ajakan yang sama. Memang, bukan Bora namanya kalau mudah menyerah.

Rasanya Anka hampir berhasil menyusun rencana istirahatnya yang tenang tanpa gangguan apa pun, sesaat sebelum Brav masuk ke kelasnya. Seperti biasa, cowok itu terlihat begitu senang. Mungkin memang mengganggu orang lain sudah menjadi hobinya, sampai bisa selalu menampilkan wajah seperti itu setiap datang dan merecoki Anka.

“Keluarga lo menyenangkan banget, ya, ternyata,” ujar Brav sambil duduk di depan Anka.

Tidak berniat menanggapi, Anka memilih menenggelamkan diri ke tugas Bahasa Inggris yang diberikan gurunya barusan, padahal waktu pengumpulan masih minggu depan. Anka memang tidak suka menunda-nunda pekerjaan yang harus diselesaikan. Apalagi dengan pengganggu seperti sekarang, sudah pasti dia lebih memilih fokus pada sesuatu yang bisa membantunya mengelak.

Brav melongok ke buku yang sedang Anka coret-coret dengan serius. Matanya membesar ketika menyadari itu tugas dari pelajaran yang baru saja selesai. “Gurunya aja baru keluar dan lo udah ngerjain tugasnya?” Brav menggeleng-geleng lalu bertepuk tangan.

“Suka kerja dengan sistem last minute. Pekerja keras tapi apa-apa dikerjakan kalau sudah mepet.” Brav berkoar-koar sambil menatap ponselnya. Entah apa yang sedang dia baca. “Ini udah pasti salah, sih. Bukan lo banget.”

Anka mengernyit sejenak, tapi tetap tidak terpengaruh. Melihat itu, Brav kembali membaca tulisan yang dia lihat di ponselnya. “Stalker yang andal. Apa yang dia mau tahu, pasti semua dia dapat. Nah, ini bener, nih. Kemarin aja lo nyeritain es goyobod yang hasil searching.”

Dia lagi baca apa, sih? Anka bertanya dalam hati, tapi tidak mau bersuara sama sekali. Wajahnya bahkan sebisa mungkin dikontrol agar tidak terlihat tertarik, apalagi penasaran. Biarkan saja Brav terus mengoceh sendiri, nanti juga berhenti. Anka masih berusaha memercayai keyakinan itu, padahal Brav tidak pernah menyerah untuk menerornya.

“Memang agak pendiam kalau orang nggak kenal dia, tapi kalau sudah dekat, keluarlah usil-usil manjanya. Oh … jadi lo aslinya usil-usil manja gitu, toh,” ujar Brav sambil mengangguk-angguk. Matanya terus memandang ponsel dan lanjut membaca. “Cemburuan, cerewet, tengil, dan yang paling penting … setia. Wah … setia. Gue juga. Dan hmm … cemburuan? Tenang, gue nggak suka deket-deket cewek lain, kok.”

Kali ini Brav akhirnya mengangkat kepala dan langsung disambut oleh tatapan tajam Anka. Brav menyengir lebar. Sejak awal membaca tulisan itu, dia sudah dapat menebak bagaimana ekspresi yang akan Anka berikan. Apalagi untuk dua kalimat terakhir. Sudah pasti cewek itu menatap garang.

“Jadi … fakta anak kedua yang gue baca tadi bener, nggak?” tanya Brav akhirnya. Tadinya, dia masih ingin membahas soal usil-usil manja atau cemburuan, tapi terlalu berisiko. Daripada nanti dia gosong karena api dari mata Anka.

Napas Anka tertahan saat mendengar anak kedua. Tangannya yang dari tadi masih mencoret-coret di buku langsung berhenti, lalu mengepal kencang. Brav melihat itu dengan kening berkerut. Dia tidak pernah melihat Anka seperti ini sebelumnya. Sepertinya, semarah apa pun cewek itu, reaksinya tidak pernah seperti ini. Kesalahan apa yang sudah dia buat kali ini?

Captivated!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang