PROLOG

1K 114 58
                                    


     Sepi.

     Juga hening kian kali terasa pada ruangan dengan rak buku berjajar itu. Sunyi. Tidak ada seorang lagi, otomatis suara pun tidak terdengar. Hanya bunyi gesekan putaran kipas angin yang memecah keheningan pada ruangan dengan nuansa beku itu. Shella memejamkan matanya. Merasakan setiap hembusan sepoi-sepoi angin dari kecepatan putaran baling-baling yang berputar lumayan cepat. Kepalanya tersandar pada dinding ruangan. Sekali lagi, dia telah terlelap oleh letihnya. Menikmati keadaan, sambil enjoy merileks. Namun kali ini suasananya agak berbeda dari sebelum ia menidurkan pandangannya.

     Gadis itu menoleh samping kanannya. Dilihatnya sekarang, ternyata ada seorang cowok di sampingnya. Posisinya lumayan berjauhan. Hanya berjarak kurang lebih tujuh langkah dari tempatnya.

     Cowok itu juga sama dengan dirinya. Terlelap suasana, serta ikut merasakan hembusan kipas angin yang memutar. Di mejanya tampak  banyak buku tebal yang menumpuk, namun tidak dibaca. Cowok itu juga meliriknya. Menatap Shella yang kerap kali berubah mood ekspresi menjadi heran.

     Jarang-jarang ada cowok yang betah ke perpus. Batin Shella di dalam hati.

     Kemudian, mata cewek itu tidak sengaja mengarah pada dinding di hadapannya begitu dia menolehkan kepalanya. Dilihatnya jam dinding bulat dengan angka jarum yang menunjukan angka sangat strategis, sehingga membuat mata gadis itu terbelalak seketika.

     Sepuluh lewat lima belas!

     Tak percaya, seolah dia menyamakan dengan arlojinya. Hanya beda tipis dua menit. Pelajaran Bu Ratna, Wali kelasnya— biasanya masuk lebih awal sebelum bel masuk dibunyikan. Barisan yang telat biasanya kena laknat ditulis bolos di buku absen. Bukan hanya itu, seolah tak puas, biasanya korbannya disuruh mengukur panjang lapangan belakang sekolah, lalu menghitung luas kelilingnya.

     Cewek itu langsung kalap. Membereskan buku-bukunya dengan asal. Ceroboh. Tidak peduli, yang penting tidak terlambat.

     Entah kenapa hal itu justru membuat cowok di sampingnya ikut terusik. Membuyarkan kosentrasinya yang otomatis membuat bola matanya ikut tergerak menoleh. Beruntung, gadis itu sudah keluar, sehingga ia bisa melanjutkan suasana tenangnya.

     Namun bukannya melanjutkan, cowok itu lebih memilih untuk tidak melanjutnya kosentrasinya. Matanya tersudut oleh buku di bangku yang sebelumnya diduduki cewek tadi barusan.

     Itu buku cewek tadi kan? Ketinggalan? Hatinya penuh bertanya-tanya ragu. Heran. Dia justru menimbang-nimbang dalam hatinya. Diambil, atau biarkan saja? selalu itu. Bimbang tidak karuan. Kenal pun tidak. Hambar rasa hatinya yang penuh gejolak.

     Diambil aja kali ya?

     Iseng. Tidak tahu. Sesuatu justru menggerakan hatinya untuk melahirkan niat. Dia mendekat ke arah kursi di sampingnya. Mengambil buku dengan sampul bunga sakura itu. Cowok itu meneliti bukunya sejenak, lalu pandangannya tertuju pada stiker nama yang tertempel di bagian pojok bukunya.

     Shella Aurelia
     XI IPA 3

     Kira-kira begitu tulisannya.

     Cowok itu tersenyum simpul. Kemudian, dia melanjutkan membuka halaman pertama. Tampilan sebuah hasil jepretan kamera menghias seperempat halaman yang menampilan wajah sang gadis tengah tersenyum memamerkan lengkungan bibirnya.

     Dia tersenyum untuk kesekian kalinya. Cantik.. Gumamnya kecil. Tak sadar bahwa hati telah melahirkan sebuah kata. Dia menimbang kembali dalam hatinya. Dikembalikan, atau disimpan saja? Namun hanya hatinya yang mampu memenangkannya.

****

Memori Untuk ShellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang