EIGHT - Surat Misterius

505 43 19
                                    


Sebuah gerbang dengan tulisan 'selamat datang' menyambut Shella yang baru saja tiba di rumah sakit setelah berhasil mendapatkan ojek sepuluh menit yang lalu. Begitu sampai,dia langsung berlari dengan cepat. Menaiki beberapa anak tangga lalu berbelok ke arah kiri. Dari arah kejauhan,Bang Reza,juga ditemani ibunya dan bibinya juga tampak sudah berada di sana lebih dulu.

"Ayah kenapa?"

"Ngga apa-apa. Lo tenang dulu." Bang Reza menyergah dengan cepat,sembari memegangi pundak adiknya yang mulai terlihat panik.

"Gue serius Bang,lo jangan canda,deh! Mah,ayah kenapa?"

"Engga apa-apa Shella,kamu harus tenang dulu," jawab ibunya dengan suara yang terdengar masih tenang.

"Ngga bisa,kan mamah sendiri yang bilang di telfon katanya ayah..."

"Tadi mamah juga panik,tapi sekarang udah ngga apa-apa. Udah,kamu tenang dulu."

Shella menghela nafasnya dengan berat, lalu mengangguk dengan lunglai. Dia mendudukan tubuhnya di kursi dengan lemas sembari menutupi wajahnya yang terlihat lesu itu dengan jemarinya. Sekali lagi,rasa cemas benar-benar menguasainya hari ini. Shella bahkan belum sanggup membayangkan suatu hal yang bisa saja terjadi di luar dugaannya. Dia benar-benar belum siap menerima apapun. Dan dia menyadari bahwa perasaannya sekarang benar-benar berantakan.

Di sampingnya, dengan tatapan yang tidak teralihkan dari ponselnya,Bang Reza mendadak ikut duduk. "Ada yang nyari lo kesini,lo temuin sana. Dia nunggu lama tuh."

Shella kontan langsung menatap kakaknya itu dengan mengernyit. "Siapa?"

"Cowok," Bang Reza mendelik seraya tersenyum menyeledik. "Pacar lo,ya?"

"Gue ngga punya pacar!"

"Yakin lo? dia setia banget nungguin lo dari tadi."

"Gue serius! lo jangan bikin gue nambah badmood napa?" Suara Shella mendadak terdengar kesal. Namun dia segera menghela nafas sejenak untuk menenangkan dirinya. "Terus mana orangnya?"

"Ke kantin mungkin. Tadi dia bilang mau beli makanan."

"Lo serius? Bang,lo jangan canda."

"Gue serius!" Bang Reza menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mentang-mentang idung gue ngga kaya pinnochio,ngga percayaan banget lo sama gue," katanya,ikut kesal,lalu memusatkan kembali perhatiannya ke layar ponselnya.

Shella menyipitkan matanya ke arah kakaknya itu dengan curiga. "Awas aja kalo lo bohongin gue,gue blokir nomer lo."

Shella langsung berdiri. Dia juga merapikan rambutnya sejenak sebelum berjalan meninggalkan posisi kakaknya yang kini tengah menatap tercengang ke arahnya.

"Bocah laknat! ngga ada sopan santunnya lo jadi adek!" seru Bang Reza dengan geram sembari menatap kepergian Shella yang benar-benar tidak memperdulikan ucapannya. Sementara di depannya,ibunya langsung melotot tajam ke arahnya. "Ja! Masih aja mau gangguin adik kamu di situasi kaya gini?!"

"Dia yang mulai tuh, Mah!"

"Yaudah jangan keras-keras ngomongnya. Ini di rumah sakit!"

Dari arah kejauhan, Shella menoleh ke belakang sekilas untuk memperhatikan situasi di sana. Dia tersenyum simpul melihat kondisi kakaknya yang justru menjadi sasaran utama dari omelan ibunya. Setidaknya,Shella sedikit merasa lebih tenang. Interaksi keluarganya seolah cukup mampu menjauhkan kecemasan di sekitarnya. Hingga ia merasa sedikit lebih baik kali ini,meskipun kondisi sepertinya tidak benar-benar melukiskan itu.

Setelah berjalan lumayan jauh di sepanjang koridor hingga mencapai area kantin, Shella mendadak bergeming memperhatikan sekelilingnya itu. Dilihatnya beberapa warung makan yang berjejer di sepanjang tepi koridor. Dia bahkan kembali mengumpat dengan kesal begitu mengingat kakaknya yang tidak memberi alamat tempat dengan jelas. Di rumah sakit sebesar ini,kantin biasanya lebih dari satu. Bahkan bukan hanya kantin,di sana juga terdapat super market yang bisa juga di jadikan tujuan untuk membeli makanan. Jadi mana mungkin nyari satu orang dengan sebejibunnya manusia di sekitarnya.

Memori Untuk ShellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang