FIFTEENTH - Permainan Pertama

252 16 6
                                    


     "BANG REZA BURU!! ANTERIN GUE, NANTI GUE KESIANGAN!!" 

     Seruan keras itu terdengar mengggema dari balik rumah minimalis dengan perpaduan warna cat cream dan brown— yang berdiri kokoh dari sekian banyaknya deretan rumah di perumahan Raflessia. Suasana yang lengang membuat suara itu terdengar nyaring.

     Shella berdiri di depan cermin sembari merapikan rambutnya dengan asal. Matanya melirik ke arah jarum jam lagi. Sebuah jarum terpanjang dari sebuah jam dinding bulat itu kini sudah mendarat di angka lima untuk ukuran menuju pukul tujuh pas. Cewek itu merutuk kesal, seraya pergi menuju dapur rumah. Kakaknya— Bang Reza justru masih asik mengunyah sesuap nasi goreng dengan santai, tanpa mempedulikan kondisi adiknya yang kini sedang berlomba dengan waktu.

     "BURUANNN!!" 

     "Ngapain gue yang nganter, goblok?! Udah ada yang jemput lo tuh di depan!"

      "Siapa coba? ngga usah ngeles!"

      "Liat sendiri tuh di luar!" kata Bang Reza sembari menunjuk ke arah pintu depan dengan dagunya.

     Shella melirik ke arah pintu— mengikuti arah pandangan Bang Reza dan segera berjalan ke luar rumah. Tepat di depan teras rumahnya, sebuah motor ninja bewarna merah mencolok terparkir bersamaan dengan sang pemiliknya.

     Seorang pemuda dengan jaket bomber warna dongker tengah duduk di atas jok motor dengan membelakanginya. Mata Shella menyipit memperhatikan cowok itu dari arah samping. Dan detik itu juga Shella langsung bergeming. Sebuah wajah dengan aura dingin yang khas seketika muncul begitu cowok itu menoleh ke arahnya. Bukan wajah Aiden yang dia temui kali ini, melainkan Gabriel yang sekarang datang menjemputnya.

     "Elo—"

     Cowok itu tersenyum lalu berdiri dengan menaruh kedua tangannya di belakang punggungnya.

     "Udah siap? Yuk berangkat, nanti keburu siang."

     "Lo jemput gue?"

     "Kenapa emangnya. Ngga boleh?"

     "Engga juga, kok. Tapi aneh aja gitu," jawab Shella dengan canggung. Cewek itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

     "Yaudah, yuk berangkat. Ini udah jam setengah tujuh," kata Gabriel sembari meneliti arloji di pergelangan tangannya.

     Shella masih berdiri. Bergeming. Bahkan tatapan matanya masih juga belum beralih dari kedua bola mata tegas dari cowok di depannya itu. Bukan apa-apa, tapi ini memang tidak bisa lagi di anggap main-main oleh Shella. Kalo melihat teman cowok lainnya yang menjemput masih wajar-wajar saja. Tapi ini... Gabriel! Si cowok yang terkenal dingin seantero sekolah, bahkan Shella sendiri tahu betul, justru harus dia temui dengan sikapnya yang berbeda. Benar-benar bertolak dari apa yang pernah diceritakan.

     Tatapan cowok itu hangat. Wajahnya tidak lagi datar karena dia tersenyum. Senyum yang sangat jarang ditemui. Senyum yang bahkan Shella sendiri tidak mengerti. Mungkin sebagian orang akan lama mengamatinya. Selain karena pesonanya yang memikat, juga sebuah hal langkah itu cukup menjadi tontonan unik untuk memunculkan sebuah tanda tanya baru.

     Aura dingin, wajah datar dan mata yang menatap sengit seolah pudar begitu saja, dan digantikan dengan sebuah kehangatan yang bahkan jauh dari ekspetasi orang-orang— termasuk Shella sendiri.

     "Tuh cowok yang waktu di rumah sakit itu, kan? Boong lo kalo lo bilang dia bukan cowok lo." suara bisikan Bang Reza yang tepat berada di samping telinganya itu otomatis membuat Shella langsung terhenyak kaget.

Memori Untuk ShellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang