BAB 8

7.4K 239 9
                                    

"Hoaaaaammm." Ucap Farah sambil meregangkan seluruh otot - ototnya.

Farah melihat sekelilingnya. Ternyata ia masih di kamarnya. Ia bangkit dari tempat tidur dan mulai mengingat kejadian sebelumnya.

"Ah Mamah. Kenapa Mamah dukung Kak Fera? Penonton kecewa ih." Ucap Farah sambil membuka pintu balkon.

Farah kaget saat melihat keadaan luar. "Lho? Udah sore aja? Oh iya, kan tadi gue ketiduran. Dasar pelupa!" Ucap Farah pada dirinya sendiri.

Farah menatap langit. Menyaksikan burung yang berterbangan kesana kemari. Merasakan hawa sejuk saat matahari hendak terbenam. Ia baru sadar bahwa sejak tadi rumah terasa sepi.

Farah pun keluar dari kamarnya. Benar saja, tidak ada satu orang pun yang terlihat. Ia berjalan menuju kamar orang tuanya, berharap ada orang disitu.

"Pah, Mah, kalian di dalem?" Ucap Farah sopan sambil membuka pintu perlahan.

Kosong. Kamar orang tuanya kosong. Farah menutup pintu kamar orang tuanya kembali. Ia berjalan menuju kamar Fera. Tangannya terhenti saat akan mengetuk pintu kamar itu.

"Ah iya. Pak Faiz udah balik." Ucap Farah.

Farah kembali menyusuri sekeliling rumahnya. Berharap ada seseorang yang ia temukan. Akhirnya, ia berhenti di ruang keluarga. Ia duduk manis di sofa depan televisi.

"Sepi amat sih hidup gue. Papah sama Mamah pergi. Kak Fera juga pergi. Dosen gue yang nyebelin itu juga ikut - ikutan pergi. Bi Fika ambil cuti. Tinggal gue doang dong." Gerutu Farah yang sedang meratapi nasib.

Ia tak tinggal diam dengan keadaannya yang seperti ini. Ia bangkit dari sofa lalu berlari menuju kamarnya. Diraihnya sebuah jaket yang tergantung dibelakang pintu. Tak lupa, ia juga mengambil kunci mobilnya yang terletak dilaci meja riasnya.

Farah keluar rumah. Dia mengunci rumah dengan baik dan benar. Ia tak mau jika harus kehilangan semuanya, termasuk juga rumahnya.

Farah mengendarai mobilnya dengan cepat. Menuju rumah seseorang yang mungkin bisa menenangkan hatinya. Setelah sampai di rumah orang itu, Farah terkejut. Pasalnya, ada sebuah mobil yang tak asing baginya. Mobil itu terparkir di tempat yang biasanya menjadi parkir mobil Farah. Ia tak ambil pusing dengan hal itu. Ia memilih tempat teduh lainnya untuk dijadikan tempat parkir.

Tok... tok... tok...

"Iya, sebentar." Sahut seseorang dari dalam rumah.

"Eh, Rah. Lo ngapain kesini? Gimana acara nikahan Kakak lo kemaren? Lancar?" Cerocos Farren.

"Bukannya suruh masuk dulu. Malah disemprot pertanyaan ini itu." Keluh Farah yang melenggang masuk tanpa harus menunggu izin Farren.

"Yee, lo kenapa si?" Tanya Farren.

Farah merebahkan tubuhnya di sofa. Menarik nafasnya dengan kasar. "Gitu deh, gue lagi banyak masalah. Jadi, lo diem."

"Lo banyak masalah kok suruh gue diem? Gak gitu juga dong."

Farah berdecak kesal. Tak ingin menjawab lagi ucapan Farren. Namun akhirnya, ia teringat akan satu hal yang membuatnya mau tak mau harus bertanya.

"Oh ya, Ren. Itu mobil siapa?" Tanya Farah.

"Mobil elu kan." Jawab Farren polos.

"Bukan mobil gue yang gue maksud. Itu, mobil yang---"

"Oh itu, mobilnya Felisa." Potong Farren.

"Hah? Felisa? Ngapain dia ke rumah lo." Tanya Farah penasaran.

"Ngapain? Ya main lah. Emangnya lo, yang jadi anak rumahan mulu."

My Lecturer Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang