18. I'll Be A True Woman

2.3K 118 0
                                    

"Ughh...."

Filah memegangi kepalanya yang terasa berat dan pusing. Ia baru saja bangun. Filah melirik sepasang tangan besar yang melingkupi perutnya. Tiba-tiba, ia merasa perutnya bergejolak dan melepas tangan Mario serta berlari ke kamar mandi. Dua minggu ini, Filah selalu merasa mual dan tubuhnya lemas. Mario selalu mengajak Filah untuk ke dokter, tapi Filah menolak karena merasa ia tidak sakit parah dan hanya kecapekan saja. Mario tidak tega melihat wajah Filah yang selalu terlihat pucat, namun ia juga tidak memaksakan Filah untuk ke dokter karena penolakannya. Sudah sebulan lebih Filah lulus kuliah dan kini ia bekerja sebagai editor di sebuah jasa penerbitan buku self publishing yang didirikan oleh teman-teman sekelasnya di Fakultas Sastra dan Filah termasuk anggota. Pekerjaannya ringan dan lebih banyak dikerjakan di rumah selain karena permintaan Mario agar Filah tetap di rumah saja sambil mengurus rumah tangga. Mario ingin Filah lebih fokus kepada rumah tangga dan Filah merasa itu sudah kewajibannya sebagai seorang istri, dan kebetulan ia mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Filah tidak ingin juga diam di rumah tanpa ada kegiatan apa pun dan ia ingin mengaplikasikan ilmunya dengan bekerja yang bisa membuatnya tetap mengasah kreativitasnya dan otaknya.

Hoeekkk ... hoeekkk ....

Filah terus memuntahkan isi perutnya dan ia melihat hanya cairan bening saja di wastafel. Ia membasuh mulutnya, lalu terduduk dengan lemas di lantai kamar mandi. Mario yang mendengar suara kran di kamar mandi langsung sadar dan meraba tempat di sebelahnya sudah tidak ada. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar mandi dan melihat Filah yang terduduk lemas dengan wajah yang pucat. Seketika kesadarannya sepenuhnya kembali.

"Ya Allah, sayang...! Kamu gak apa-apa, 'kan?" Mario panik dan langsung membopong Filah ke tempat tidur. Filah tak menjawab karena rasa pusing yang masih mendera.

Mario membaringkan Filah dan mengambil minyak angin serta membalurkannya ke perut dan tengkuk Filah, lalu mengambil air putih di atas nakas dan meminumkannya dengan hati-hati kepada Filah.

"Gimana? Udah agak baikan?" Filah hanya mengangguk.

"Rio, boleh kan aku ke rumah Mama hari ini?" pintanya memohon. Mario berdecak.

"Ck, sayang... Kamu lagi sakit gini masih mikirin buat keluar rumah. Kamu mesti istirahat dan jangan ke mana-mana. Aku akan cepat pulang lebih awal!" tegas Mario. Filah mengerucutkan bibirnya.

"Nanti juga baikan lagi. Ayolah sayang, aku cuma kecapekan aja. Please...! Aku bosen di rumah. Kali ini aja, ya, ya?" Filah menggoyang-goyangkan lengan Mario dan memasang wajah memelasnya, berharap Mario akan luluh. Mario memejamkan matanya sambil menghela nafasnya. Ia terdiam sejenak untuk berpikir.

"Rio...." Filah mengeluarkan nada memohonnya disertai dengan mimik hampir menangis. Senjatanya yang biasanya selalu digunakan kalau Mario sedang tidak bisa diajak kompromi dan berhasil. Mario luluh oleh tatapannya.

"Oke, oke, aku izinkan. Aku akan antarkan, tapi kamu harus sarapan yang banyak dulu. Tunggu di sini! Aku akan siapkan roti bakar dan teh hangat." Filah tersenyum lebar.

"Yess! Makasih banyak suamiku, sayang." Filah mengecup bibirnya dengan riang. Mario terkekeh dan mengacak rambut istrinya pelan, lalu meninggalkan kamar untuk ke dapur menyiapkan sarapan menggantikan tugas Filah.

***

Sekarang Filah sedang berada di rumah mertuanya. Mario sudah berangkat kerja satu jam lebih yang lalu setelah mengantarkannya terlebih dahulu ke sini. Dua hari yang lalu, Mama mertuanya meneleponnya agar hari ini bisa berkunjung ke rumahnya. Kebetulan hari ini akan diadakan acara arisan ibu-ibu di rumah mertuanya. Filah merasa bosan di rumah dan kangen ingin main ke rumah mertuanya yang sudah menjadi rumahnya sejak 3 tahun yang lalu. Filah sedang membantu membuat kue dengan Estelle di dapur. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tak bisa dipungkiri tubuhnya masih terasa lemas sejak tadi pagi.

Colorful DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang