alaska; 41

499K 35K 2.8K
                                    

ALASKA menjatuhkan tubuh tingginya di sofa cokelat rumahnya sembari memejamkan mata rapat-rapat. Salah satu tangannya menekuk menutup matanya. Kalau dedek-dedek gemes Alaska melihat gayanya sekarang ini yakin ribuan pujian akan dilempar begitu saja untuknya. Memilih beristirahat sejenak Alaska membiarkan kunci mobilnya tergeletak sembarangan. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya duduk di sampingnya mengecilkan volume TV, hal tersebut membuat Alaska sontak membuka matanya, netranya yang biasa memandang orang lain datar kini berbeda saat memandang sosok Aruna, begitu pun juga Tama.

Menurut pengetahuan Alaska, Ayahnya bersama kedua saudaranya sedang pergi bertiga menyisakan Aruna sendiri di rumah. Sebenarnya Aruna sudah dipaksa ikut namun tetap saja wanita itu tak mau. Sebab, ia sedang tidak ingin bermain billiard. Selain karena alasan itu, mereka pasti tau Aruna sedang mencemaskan Alana apalagi saat melihat wajah cemas Aruna kala di pemakaman Mama Alana, tadi. Sedangkan Alaska, cowok itu sebenarnya sudah siap untuk ikut, Pajerro sport milik Ayahnya sudah menunggu namun karena ada perintah dadakan dari Aruna jadinya ia harus mengurungkan niat untuk ikut bersama tiga orang itu.

Alaska memperbaiki posisi duduknya kemudian menyesap teh hangat yang baru saja di bawah Aruna untuknya. "Dia udah sampe, Bun, gak ada yang perlu dicemasin lagi."

Aruna menggeleng, "Gak, Bunda masih ngerasa cemas kalau gak ngeliat Alana di sini."

"Tapi dianya yang gak mau Bun, udah gak usah dipikirin, besok kan bisa ketemuannya." Alaska meneguk lagi teh di dalam cangkir bening itu, "lagian, kok Bunda sampe cemas segininya sih?"

Mendesah, Aruna memijit pangkal hidungnya sebentar kemudian mulai menceritakan kejadian yang ia alami sebelum Mama Alana benar-benar pergi untuk selamanya. "Waktu kamu sama Alana ke rumah Papanya Alana, Bunda datang ke rumah sakit buat ngejengukin Mamanya Alana sekalian mau mastiin kamu ada di sana apa nggak. Waktu masuk ke ruangan ternyata gak ada siapa-siapa selain Mamanya Alana. Awalnya sih Bunda cuma mau ngasih bunga aja terus pulang tapi pas ngeliat pergerakan kecil Mamanya Alana, Bunda jadi duduk nemenin mau panggil dokter tapi mamanya Alana ngelarang, bukannya Bunda sok tau tapi emang gitu. Bunda udah hampir nangis pas ngeliat Mamanya Alana udah sadar tapi heran pas dianya bilang ke Bunda 'tolong jaga Alana' waktu Bunda nanya balik kenapa ngomong kayak gitu Mamanya Alana ngeregangin napas terakhirnya."

Alaska mengusap punggung wanita paruh baya di sampingnya ini. Ia tau betul bagaimana perasaan Bundanya sekarang, terlepas dari wasiat mendiang Mama Alana, Alaska tau kalau Aruna teramat sayang dengan gadis bernama lengkap Alana Juwanda itu.

"Bunda mau coba telepon Alana dulu." wanita paruh baya tersebut segera mengeluarkan ponselnya kemudian mencari kontak bernama Alana di sana. Awalnya Aruna biasa saja saat hendak menelepon gadis itu, namun perasaan cemas timbul begitu saja kala panggilan ketiga tak kunjung diangkat.

"Kenapa, Bun?"

"Alana kok gak angkat, yah?"

"Tidur kali kecapean."

"Biar Bunda coba ke telepon rumahnya." Aruna berharap-harap cemas, saat teleponnya itu terhubung ia segera menanyakan bagaimana keadaan Alana sekarang, tak lupa mengucap salam terlebih dahulu.

Alaska menatap Bundanya dengan tatapan mengernyit kala melihat wanita tersebut merubah mimik wajahnya menjadi lebih panik dari sebelumnya. Setelah sambungan teleponnya terputus, Aruna segera menghadap ke arah Alaska, "Cepetan ke club, Ska, kata Bi Inah Alana gak ada di rumah."

"Bun, jangan panik gitu, kali aja dia main ke rumah temennya."

"Tapi kata Bi Inah, Alana keliatannya kacau banget, Aa, dan kalau dia lagi stres dia biasanya ke club." Alaska menghela napas pasrah, dengan segera ia beranjak dari duduknya kemudian mencari Alana tak lupa menyalimi Aruna.

Sejujurnya, Ia jadi geli sendiri mendengar Bundanya memanggil dirinya dengan embel-embel 'Aa'. Cukup Cakra saja yang menjadi korban panggilan 'Aa' dirinya tidak usah diikut-ikutkan.

Hal yang pertama ia lakukan adalah segera melajukan mobilnya juga menyuruh keenam temannya menghubungi teman terdekat Alana dan mencari tahu dengan pasti di mana keberadaan cewek itu.

Tak perlu menunggu lama, informasi yang ia minta beberapa menit lalu kini sudah ia dapatkan, Alana benar-benar berkunjung ke club yang sangat jauh dari rumahnya bersama kedua teman dekatnya namun, sekarang hanya dirinya yang tinggal di tempat tersebut sedangkan Viona dan Renata sudah pulang lebih dulu.

Cowok dengan jam tangan di pergelangan kanan tersebut mempercepat laju mobilnya hingga tanpa memakan waktu lama ia pun sampai di club yang dimaksud teman-temannya.

Segera turun dari mobilnya, ia pun kemudian berlari kecil masuk ke dalam club tersebut, mencari di mana keberadaan gadis gila yang sedang menyusahkan dirinya sekarang ini. Alana itu, sinting, bego, gila, menurutnya, namun kenapa Bundanya begitu menyukai gadis itu?

Berdecak, Alaska kemudian berjalan menemui Alana yang kini tengah menumpukkan kepalanya di atas meja bar. Cewek itu keliatan mabuk berat. Terbukti dengan keadaannya yang sudah sangat mengenaskan.

Tanpa rasa kasihan Alaska menarik Alana keluar dari club menuju mobilnya terparkir. Agak jauh memang karena ia tak memarkirkan mobilnya di parkiran club yang sangat ramai, bisa-bisa mobilnya kena macet saat akan dikeluarkan, jadi parkir di tempat yang sepi adalah pilihan yang baik.

Selama kedua tangannya ditarik Alana tak meracau sama sekali, namun ketika sebentar lagi akan sampai di mobil Alaska, cewek itu dengan cepat menghempaskan tangan Alaska dari tangannya.

"Aku gak mau pulang!"

"Alana!"

"Apa? Mau ngelarang aku? Kamu gak berhak ngelarang aku, Ska. Gak berhak sama sekali. Sekarang gak ada yang berhak ngelarang aku, aku bebas sekarang, Ska," Alana berkata seraya menatap kedua bola mata cowok di hadapannya ini, "Papa aku ninggalin aku sama Mama aku, abis itu Mama aku yang pergi ninggalin aku, dan sekarang? Sekarang aku bebas, aku bisa hidup suka-suka aku. Udah gak ada artinya lagi aku hidup, tinggal tunggu aja waktunya aku nyusul Mama aku pergi, dan selesai."

"Aku capek, capek banget, semua orang milih pergi dan gak ada yang mau bener-bener tinggal bareng aku, Papa aku pergi karena aku, Ska. Aku itu bukan anak yang diharapin hidup di dunia ini, harusnya aku tuh mati dari dulu. Mama aku? Mama aku gila, Ska, dan itu gara-gara aku, karena aku hidup di dunia ini. Kamu lihat di pemakaman Mama aku tadi? Gak ada satu pun keluarga dari Papa aku maupun Mama aku yang datang, karena apa? Itu karena aku, Ska. Karena aku, Mamaku sama sekali gak dianggap keluarga mereka, Ska." Alana tertawa hambar dengan tangis yang ia tahan, "aku coba bener-bener sabar ngadepin semuanya, Ska. Ngadepin tingkah laku Mama aku yang selalu jadiin aku tempat pelampiasannya saat dia kambuh lagi. Sabar ngadepin orang-orang yang neror hidup aku. Dan sabar sama dunia yang kejam banget sama aku."

Alana menyeka air matanya, "hidup aku gak sebahagia orang lihat, aku bisa aja haha hihi di luar sana tapi di belakang, aku punya segudang masalah."

"Dulu, aku emang sayang banget sama Papa aku, lelaki yang paling aku banggain tapi lihat dia malah nelantarin aku sama Mama aku. Kamu tau? Gara-gara itu aku jadi takut kamu juga malah nelantarin aku. Papa aku yang cinta sama Mama aku aja berakhir nelantarin Mama aku, gimana kamu yang sama sekali gak ada rasa sama aku?!"

Alaska terdiam sebentar. Mewajarkan apa yang sedang dilakukan Alana sekarang. Cewek itu sedang mabuk namun biasanya orang mabuk itu jujur.

"Gue bukan Papa lo, jadi berhenti samain gue sama Papa lo itu."

Bukannya berhenti Alana malah kembali tertawa hambar, "aku gak mau pulang, Ska, dan berhenti jadi orang yang seakan-akan mencintai aku."

"Pulang!" cowok tanpa balutan jaket itu mencoba memaksa Alana pulang namun sialnya Alana meracau tak mau.

"Kamu apa-apaan sih, Ska? Bukannya ini yang kamu mau? Aku berhenti ngejar-ngejar kamu, berhenti perjuangin kamu, berhenti gangguin hidup kamu, bukannya itu yang kamu mau? Sekarang aku udah nyerah sama perasaan aku, aku mundur buat dapetin kamu, karena aku udah capek, kamu juga gak suka kan sama aku?" dengan mata memerah Alana berusaha menatap Alaska, "Regan bener, bitch kayak aku gak berhak dapetin cowok kayak kamu."



TBC.





nisaafatm

ALASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang