Masa lalu, awal...

15.2K 752 16
                                    

TIGA


"Aya... Aku mau berbicara penting sama kamu. Tapi aku mohon, kamu jangan benci dan hal ini tidak akan membuat persahabatan kita hancur. Please..." ucap Hanifa.

"Ada apa sih Fa. Kok kayaknya serius gitu. Kamu enggak usah canggung gitu. Cerita aja." Aya memberi senyuman hangat.

Mereka saat ini sedang duduk di cafe kantin rumah sakit.

Hanifa memegang tangan Aya dengan tangan kirinya. Air matanya menetes di pipi.

Mata Aya menangkap sebuah cincin emas putih di jari manis kiri Aya.

"Aku... Aku menerima lamaran Boy..." ucap Hanifa menunduk.

Seketika Aya menarik tangannya dari genggaman Hanifa. Tubuhnya menegang. Hatinya terasa di remas-remas.

"Aku... Kamu enggak bercanda kan Ifa?"

Hanifa menggeleng.

"Sebenarnya selama ini, aku juga suka dan cinta sama Boy. Tapi, karena aku tahu perasaan yang kamu simpan juga untuknya, aku mengalah. Tetapi, belakangan ini dia semakin intens mendekatiku, lalu menyatakan cinta dan aku... Maaf Ay... Aku juga akhirnya kalah dengan rasa cinta ini." Hanifa semakin menunduk menyesal. Menangis. Entah tulus entah palsu.

Dunianya terasa runtuh. Harapannya hancur. Boy adalah satu-satunya lelaki yang dekat dengannya selain Alex, Ayah tirinya dan Reno abang angkatnya. Satu-satunya pria yang ia anggap spesial bukan karena urusan keluarga.

Air mata Aya menetes kala itu. Jantungnya? Jangan ditanya berapa kecepatannya permenit, ia bahkan sampai sulit bernafas, sesak, demi menetralkan debarnya. Dan hatinya yang tadi seperti diremas-remas kini telah remuk.

"Kami sebenarnya sudah bertunangan. Bulan lalu. Maaf gak ngundang kamu. Aku takut bicara jujur sama kamu. Tapi, hari pernikahan semakin dekat dan undangan akan disebar, aku enggak mungkin selamanya nutupin ini dari kamu." Hanifa mencoba memandang Aya.

Aya menatap sahabatnya penuh luka. Rasanya hatinya kini berdarah-darah seolah ia akan kehilangan seluruh darahnya akibat luka yang begitu sakit. Lemas.

"Kamu bukan takut bicara jujur kan Ifa? Sebenarnya kamu takut, aku mengacaukan pertunanganmu bukan? Ifa... Aku mengenalmu dengan sangat baik."

Hanifa mengangguk beberapa kali sambil kembali menunduk.

" Sebenarnya, Aku hamil anak Boy. Kami khilaf. Aku takut, Boy akan berubah fikiran jika kamu datang saat pertunangan kami."

Dan, semakin lengkaplah rasa nyeri di hati Aya kini. Badannya lemah. Seolah pendarahan akibat luka di hatinya benar-benar membuatnya kehabisan pasokan darah. Ia butuh transfusi darah. Haruskah ia segera dibawa ke UGD untuk pertolongan pertama akibat luka patah hati ini??? Tatapannya menggelap. Aya pingsan.

---

Aya membuka matanya. Ia melihat sosok tampan Boy di sisi kanan ranjang ia berbaring. Aya menatap sekeliling, dan sadar jika ia benar-benar di UGD RS.

"Kamu enggak apa-apa kan Ay?"

Hati Aya perih mendengar pertanyaan itu.

"Kamu? Pergilah..." ucapnya hanya mampu berkata sesingkat itu.

Aya membelakangi Boy yang menatapnya bingung. Tidak lama, karena ia pun menuruti Aya.

---

my beLOVEd AryanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang