Jerk 7 : Moon

36.5K 3.3K 308
                                    

Tau kok, tau. Telat 'kan? Sebenarnya itu loh alesannya, itu loh.. haha.. pasti ngerti lah, orang sibuk juga. 😂 Sibuk revisi, because...

Vote sebelum membaca 😘😘😘




.




.




Bulu mata lentik itu mengerjap ketika telinganya mulai mendengar suara orang yang sedang berbicara. Cleopatra perlahan membuka matanya, langit-langit berwarna putih adalah hal pertama yang ia lihat. Beberapa detik matanya menyesuaikan dengan cahaya di ruangan yang didominasi warna putih itu. Tubuh yang awalnya terasa kaku kini mulai dapat Cleopatra rasakan, begitu pula dengan rasa sakitnya.

Perlahan ia menengok ke sebelah kiri, hanya ada sofa tanpa ada orang di sana. Bola mata Cleopatra bergerak, mencari suara orang yang sedang berbicara. Hingga matanya berhenti mencari, ia melihat seseorang memakai kaos abu sedang bicara dengan seorang dokter. Keduanya berdiri di dekat sekat pembatas, mereka tidak menyadari seseorang telah bangun. Cleopatra harus sedikit mengangkat kepalanya untuk memastikan siapa orang itu. Namun, kepalanya terasa sangat sakit, ia meringis keasakitan. Dan itu mampu membuat dua orang yang sedang bicara melihat ke arahnya.

Telinga Cleopatra menangkap bunyi langkah kaki langkah mendekat, saat matanya kembali terbuka, Jarvis sudah ada di samping sambil mengelus kepalanya dengan pelan. Mulut Cleopatra seakan terkunci, tidak memiliki tenaga untuk mengucapkan sesuatu. Ia membiarkan dokter memeriksanya, pria berjas putih itu mengangguk pada Jarvis setelah menanyakan berbagai pertanyaan yang hanya bisa dijawab anggukan atau gelengan oleh Cleopatra.

Ketika Cleopatra mengangguk saat dirinya ditanya haus, Jarvis segera menelusupkan tangannya ke belakang leher Cleopatra, membantunya menahan tubuh untuk minum sebelum kembali tidur. Dokter itu keluar, meninggalkan Cleopatra dan Jarvis. Pria itu duduk di samping ranjang Cleopatra sambil menggenggam tangan Cleopatra.

Bayangan saat dirinya dipukuli berputar dalam otak Cleopatra, membuat tubuhnya bergetar ketakutan sambil menitikan air mata. Disusul dengan isakan yang lolos dari bibir Cleopatra.

"Hei, Petra. Jangan menangis."

Jarvis memposisikan dirinya tidur terlentang di samping Cleopatra, ranjang yang besar mampu menampung dua orang dewasa. Dengan hati-hati, Jarvis memeluk Cleopatra, memiringkan tubuh perempuan itu lalu membiarkannya menangis di ceruk leher Jarvis. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengusap punggung Cleopatra.

"Tidak apa, semuanya baik-baik saja. Kau aman sekarang, Petra."

Kata-kata yang keluar dari mulut Jarvis tidak dapat menghentikan tangisan Cleopatra. Bayangan ketika dirinya dipukuli terus berputar dalam benaknya, di setiap tendangan dan pukulan masih bisa Cleopatra rasakan. Seumur hidupnya, baru kali ini Cleopatra merasakan pukulan fisik. Ia ketakutan, bibirnya tidak berhenti mengeluarkan isakan. Mata madu itu tidak lelah mengeluarkan butiran kristalnya.

"Petra. Hei, lihat aku. Tatap mataku." Tangan Jarvis merangkup kedua pipi Cleopatra, memaksa mata cokelat itu untuk menatapnya.

"Tidak akan ada yang menyakitimu. Aku di sini, paham?"

Cleopatra mengangguk samar. Bukan karena percaya dengan perkataan Jarvis, melainkan karena takut melihat mata safir itu. Seakan memaksanya diam, berhenti menangis dan jangan banyak bicara. Yang Cleopatra lakukan sekarang hanya mencoba mengatur napasnya, menghentikan isakan agar tatapan Jarvis kembali seperti biasanya. Tidak menakutkan seperti tadi.

"Tenanglah, aku di sini."

"A..aku ta-takut," ucap Cleopatra dengam suara yang kecil, tapi Jarvis mampu mendengarnya.

"Tidak ada yang perlu kau takutkan lagi."

Lagi, Jarvis membawa Cleopatra ke dalam pelukannya. Mengusap rambut cokelat itu dengan pelan seakan itu adalah barang pecah.

"Mereka memukuliku, menendangku, Jarvis."

Kali ini Jarvis diam, tidak bicara apa pun. Hanya tangannya yang bergerak naik turun mengusap kepala Cleopatra. Hal itu terus dilakukan Jarvis selama beberapa menit, membuat perempuan itu tidak ingin melepaskan pelukannya. Ia menggeleng pelan ketika Jarvis hendak menjauhkan tubuhnya. Di saat suara pintu terbuka, baru Cleopatra melonggarkan pelukannya. Membiarkan Jarvis menjauh dari tubuhnya.

Sebelum Jarvis berdiri, ia mengusap pipi Cleopatra, membersihkan sisa-sisa air mata lalu mencium kedua kelopak matanya. Cleopatra memejamkan mata, mengatur napas untuk  menghentikan isakan yang masih terdengar.

"Whoa! Sepertinya ini bukan waktu yang tepat, ya?" ucap seseorang sambil bertepuk tangan, mendekat ke arah Jarvis yang bergerak untuk berdiri.

"Haruskah aku kembali?" Stryke menggoda Jarvis, pria itu menaik turunkan alisnya.

"Hentikan," desis Jarvis tidak suka.

Perempuan yang ada di samping Stryke bergerak melangkah mendekati Cleopatra tanpa perintah, wajahnya memperlihatkan kekhawatiran. Ruby duduk di samping Cleopatra, tangannya bergerak untuk menggenggam tangan perempuan itu.

"Apa kau baik-baik saja?"

Cleopatra menggelengkan kepalanya. "Tidak," ucapnya dengan suara yang lemah. Matanya kembali berkaca-kaca.

"Jangan menangis, kau akan sembuh." Ruby mencoba menghibur Cleopatra. Perempuan itu mengangguk, mempercayai ucapan Ruby.

"Lihatlah dia," ucap Stryke dengan tatapan mengejek pada Cleopatra. Jarvis memyeringai samar, kakinya melangkah dan berhenti tepat di belakang Ruby.

"Ruby akan menemanimu untuk beberapa saat, Petra."

Kening Cleopatra berkerut. "Kemana?"

"Menemui seseorang. Aku hanya pergi sebentar."

"Tapi-"

"Aku akan menemanimu di sini, Cleopatra," ucap Ruby mengalihkan pandangan Cleopatra.

"Baiklah," ucap Cleopatra dengan sedih. Ia memejamkan matanya sesaat begitu Jarvis mengelus pipinya sebelum melangkah menjauh diikuti Stryke di belakangnya.

"Jangan khawatir, mereka akan segera kembali."

Cleopatra tersenyum kecil lalu menganggukan kepalanya. Dalam hati Cleopatra tidak ingin Jarvis pergi, ia ingin pria itu merawatnya ketika ia sakit. Sama seperti dulu, di saat Cleopatra mengeluh pusing, Jarvis membawanya ke apartemen. Membiarkan Cleopatra beristirahat, membuatkan makanan dan membelikannya obat. Ingin sekali Cleopatra merasakan kehangatan Jarvis lagi, mementingkan dirinya dan berbuat apapun untuknya.

Cleopatra menghela napasnya pelan, ia mendudukan dirinya dibantu oleh Ruby. Menyangga punggungnya dengan bantal agar nyaman. Saat Ruby pergi untuk mengambil makanan, Cleopatra mengangkat bajunya sedikit. Matanya membulat begitu melihat perutnya lebam, air mata Cleopatra mulai turun kembali.

"Ini sakit, Jarvis," lirihnya sambil menangis.

Sementara itu, Stryke mengendarai mobil dengan Jarvis yang ada di sampingnya. Stryke memurar musik, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk stir menikmati. Ia menambah kecepatan mobilnya, lalu tersenyum ketika mengingat tubuh Cleopatra yang penuh dengan luka.

"Sungguh menyedihkan, aku yakin dia tidak akan bertahan jika kau sendiri yang memukulnya."

Jarvis tersenyum miring. Kepalan tangannya terbuka, menatap liontin milik Louise yang kini ada pada dirinya. Ia beruntung memilki pion yang dapat dikendalikan, Cleopatra begitu bodohnya menuruti perkataan Jarvis.

"Para pria Italia itu meminta uang lagi, haruskah aku memberi?"

"Beri mereka kematian," ucap Jarvis menatap kembali ke depan.

Stryke terkekeh sebelum mengangguk-anggukan kepalanya. Cleopatra yang dipukuli dan ditendang, semuanya dalam kendali Stryke. Pria itu begitu membenci Cleopatra karena waktu itu Cleopatra pernah memukulnya. Stryke bukanlah pria pemaaf. Seperti Jarvis, semua yang mmenyakitinya harus dibalas dengan lebih sakit lagi. Tidak ada ampun, saat air mata korbannya keluar itulah yang menjadi puncak kesenangan Stryke dan Jarvis. Darah dibayar darah.

Stryke diam-diam menyuruh preman setempat untuk memukuli Cleopatra. Awalnya Jarvis tidak tahu, tapi begitu Stryke memberitahunya, pria itu memperlihatkan wajah datar. Jarvis tidak marah, ia hanya mengangguk dan berkata bahwa ia mengetahui semuanya.

"Apakah kau ingat, saat kecil kita pernah mengintip Cleopatra yang sedang menyusu pada ibunya?"

Jarvis tertawa, ia menganggukan kepalanya. "Tidak pernah aku lupakan," ucapnya kembali membayangkan hari ulang tahunnya, di mana melihat Cleopatra kecil yang menyusu pada ibunya.

"Itu hari di mana kau tertarik dengannya, Jarvis."

"Ya, hari itu yang membuatku rela menjadi pria cupu."

Tawa Stryke meledak mendengar ucapan datar Jarvis, ia memukul stir mencoba menghentikan tawanya. Ingatan saat Jarvis memoleskan minyak rambut dan memakai kacamata kotak terus berputar, bagaimana bodohnya pria itu meninggalkan harta yang bergelimang.

Stryke mengatur napasnya. "Kau seharusnya bersyukur. Karena perempuan itu, kini kau menjadi seperti ini."

Jarvis berdecih, ia menggelengkan kepalanya.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Menikahinya lalu hidup bahagia selamanya?"

"Dalam mimpinya!"

Stryke kembali tertawa. "Lalu apa? Mempermalukannya di depan umum seperti yang ia lakukan padamu?"

"Kau tahu apa yang ada dalam pikiranku, Stryke."

Ketika Jarvis menatapnya sesaat dengan tatapan tajam, senyum Stryke mulai menghilang. Digantikan dengan seringai mematikan miliknya.

"Aku mendukungmu, brother. Buat dia menangis kesakitan," ucap Stryke dengan suara merendah. Ia tahu bagaimana Jarvis begitu mencintai Cleopatra. Di saat dirinya sudah mulai memasuki dunia gelap, Jarvis masih sibuk dengan perempuannya. Hingga angan-angan Jarvis menikah dengan Cleopatra lalu memiliki anak itu hancur, baru ia melangkah mengikuti Stryke dan menjadi lebih kuat darinya.

Ketika mobil merah milik Stryke itu memasuki jalan hutan yang sepi, aura mencekam mulai terasa. Jarvis merasakan sesuatu yang janggal, ia mengambil senapan yang ada di jok belakang mobil. Stryke diam, ia juga merasakan hal yang sama.

Perlahan Jarvis menurunkan senapannya ketika melihat dua orang pria mencegatnya di tengah jalan sambil membawa senjata. Salah satu pria itu berjalan dan mengetuk kaca, Stryke menurunkan kaca itu sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Kami menyerah," ucap Stryke.

"Menyerah untuk mengampunimu!" Jarvis menambahkan sambil menembak pria itu tepat di bagian jantungnya. Sedetik kemudian Jarvis keluar dari mobil sambil memegang senjata di tangannya.

Seketika pria yang satunya lagi melakukan tembakan pada mobil Stryke. "Shit, Jarvis sialan," ucapnya sambil menepikan mobilnya, ia ikut keluar setelah mesinnya dimatikan.

Jarvis sudah membunuh dua orang pria itu, Stryke mendekat dengan senapan panjang dengan satu tangannya yang bertolak pinggang. "Sepertinya mereka sedang melakukan transaksi."

"Aku tahu," ucap Jarvis melangkah lebih dulu, masuk ke dalam hutan mengikuti instingnya.

Sebelum Stryke mengikuti Jarvis, ia menghubungi anak buahnya untuk membereskan mayat-mayat yang tergeletak itu. Ia kemudian melangkah ke dalam hutan yang hanya diterangi cahaya bulan begitu mendengar suara tembakan berkali-kali. Mulut Stryke terbuka begitu ia melihat mayat yang sudah bertebaran di mana-mana, Jarvis melakukannya dengan sangat singkat.

"Kau membunuh semuanya?"

"Mereka bertransaksi di wilayahku," ucap Jarvis sambil mengusap dahinya yang terkena ciptratan darah. Ia melangkah kembali meninggalkan Stryke yang masih menatap mayat-mayat itu.

"Kau tidak menyisakan satu pun untukku?!" Stryke berjalan menyusul Jarvis.

Keduanya kembali masuk ke dalam mobil, Jarvis mengambil tissue untuk membersihkan darah pada wajahnya. "Menjijikan," ucapnya membuang asal tissue itu.

"Kita terlambat, Jarvis."

Stryke segera mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh, menerobos hutan malam yang begitu sepi. Sepanjang perjalanan menuju mansion Jarvis, hanya ada hutan gelap yang jarang dilewati para pengendara. Hanya dalam beberapa menit, mobil yang Stryke kendarai sudah sampai di mansion Jarvis. Ia segera merapikan kaos miliknya sebelum keluar dari mobil, begitupula dengan Jarvis.

Keduanya tidak memasuki mansion, melainkan berjalan menuju rumah kaca yang jaraknya memang cukup jauh dari mansion utama. Rumah kaca yang hanya bisa didatangi oleh orang tertentu saja, melangkah di atas jalan setapak yang berada di antara pohon-pohon yang lebat.

Stryke berjalan mendahului Jarvis, ia tersenyum saat melihat beberapa orang sedang bercengkrama di dalam sana.

"Mama!" Teriak Stryke dengan wajah yang menunjukan ekspresi senang, ia memeluk erat Alara begitu ia sudah sampai di hadapannya. Saat Gunner mendekat, Stryke segera melepaskan pelukan pada Alara lalu beralih pada ayahnya.

"Shimmer benar-benar tidak ikut?"

"Dia sibuk mempersiapkan dirinya masuk universitas." Alara menjawab pertanyaan Stryke tentang adiknya, Shimmer.

Saat Jarvis masuk ia disambut hangat oleh keluarganya, tentu saja dengan Genesis yang paling berisik. Mata Jarvis menelusuri sekeliling, mencari kedua orangtuanya. Sekarang hanya ada Gunner, Alara, Genesis, Molly dan suaminya.

"Di mana moon?"

"Cassila!" Jarvis membalikan badannya, melihat seorang malaikat bermata hijau yang selalu ia rindukan. Sementara di sampingnya, seorang pria berkemeja hitam masih saja memiliki aura yang menakutkan. Menatapnya tajam dengan mata birunya yang indah, Jack sama sekali tidak berubah. Beberapa tahun Jarvis tidak menemui kedua orangtuanya, mereka masih sama seperti dulu, layaknya vampire yang tidak pernah menua.

Pure Jerk [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang