Aku sangat berharap apa yang akan kulakukan pagi ini terjadi begitu saja tanpa ada hal-hal aneh dan konyol menyelinginya. Aku sangat berharap semoga saja penghuni rumah yang akan kutemui sedang pergi ke suatu tempat yang nantinya membuatku menunggu lama di depan pintu sampai akhirnya menyadari bahwa rumahnya kosong dan aku hanya perlu meletakkan kue-kue dari Mom di depan pintu tanpa perlu berbicara dengan gadis yang—
Oh, sial. Harapanku melayang. Seseorang telah membukakan pintu diiringi bunyi kriiiet pendek. Oh, sial dua kali. Harapanku membuyar-buyar. Seorang gadis berdiri di depanku dengan alis yang agak terkejut akan kehadiranku pada pagi hari yang cerah ini. Aku berasumsi bahwa pasti gadis ini tengah berpikir ada apa gerangan cowok tampan dan wangi—yang telah memakai parfum tadi pagi—datang ke rumah barunya secara tiba-tiba. Ha ha ha. Naif sekali diriku. Persis seperti Mom.
Gadis itu mematung di tempatnya berdiri. Masih dengan memegangi kenop pintu yang setengah terbuka seakan-akan pintu itu bisa lari jika ia melepasnya, menyisakan dirinya berhadapan dengan cowok tampan setengah konyol pembawa kue.
"Hai," kataku kikuk.
Beberapa detik kemudian gadis di depanku berhenti mematung dengan menggerakkan tangan kanannya. Dengan jempol dilipat dan keempat jari lainnya menjulur ditempel di dekat dahi lalu digerakkan ke depan, aku menduga bahwa itu hanyalah balasan dari sapaanku tadi. Semacam kata 'hai juga' atau 'halo' atau apalah itu.
"Eh, uhm... Mom-ku menitipkan beberapa kue untukmu dan keluargamu. Aku dengar kalian baru pindah."
Tangan kanan gadis itu terbuka—dengan telapak tangan ke dalam—lalu dikenakannya pada bibir dan digerakkan ke depan. Oh, sial. Apa lagi maksudnya ini? Aku tidak paham.
Jadi aku, Jason—dengan segala kebodohanku—hanya bisa berpura-pura mengerti terhadap apa yang gadis itu katakan dengan menganggukkan dagu seraya berkata singkat, "Oh, oke."
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Oh, Tuhan, kenapa terasa lama sekali kecanggungan ini...
"Oh, iya. Ini," aku menyerahkan sekotak cupcakes yang baru kusadari ternyata masih berada di tanganku. Kemudian aku berpikir keras lagi. Berusaha berpikir keras tentang apa yang harus kukatakan lagi dan lagi, mengingat gadis di depanku adalah seorang tunawicara. "oh, ya. Siapa namamu?"
Dirinya kembali menggerak-gerakkan tangan dan jemarinya—dengan cepat sekali sampai-sampai aku bingung dibuatnya; sumpah aku sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya dikatakannya. Jadi, setelah gadis di hadapanku berhenti berbicara dengan jemarinya, aku membalas, "Maaf, siapa?"
Ya, akhirnya gadis itu tahu bahwa aku sebenarnyalah tidak bisa berbahasa isyarat. Pasalnya, dia rupanya kembali masuk ke dalam ruangan, yang kemudian—ketika kuintip sedang apa dia—rupanya mengambil selembar kertas dan sebuah pena di atas sebuah nakas ruang tamu. Dia kembali lagi kehadapanku, dan menuliskan sesuatu pada kertas kecil yang baru saja dia ambil. Aku ingin mengintip, namun percuma saja, gadis itu sudah memberikan tulisannya kepadaku begitu dia selesai menulis.
Aku menerima kertas itu dari tangannya. "Julia Carpenter," aku membacanya. Ya, rupanya namanya adalah Julia. "hm, nama yang bagus."
Julia menggerakkan tangan kanannya. Begitu aku menyadari yang sebelumnya belum sempat terpikirkan olehku, ternyata dia bilang 'terima kasih'.
"Sama-sama," balasku. Dan, oh! Aku baru teringat satu hal lagi. Mom menyuruhku menanyakan kota asalnya, maka aku pun melakukannya, "Oh, ya. Omong-omong, kau dari kota mana sebelumnya?" Lalu kusodorkan kertas nama yang tadi disodorkan padaku.
"Minnesota," begitu dia akhirnya menulis. "wow, tampaknya dunia ini sempit sekali, ya. Perlu kau tahu, dulu aku juga tinggal di Minnesota."
Julia tersenyum kecil. Sepertinya, gadis itu ingin menuliskan sesuatu, tapi dengan pertimbangan segala sesuatu lainnya, sepertinya dia juga enggan—mengingat diriku ini orang asing baginya.
"Oke, baiklah. Kalau begitu, aku pulang dulu, Julia," ujarku melambaikan tangan dengan kikuk, "oh, senang bertemu denganmu. Dah." Kemudian aku berjalan pulang, membelakangi Julia. Aku bersumpah tidak ingin menoleh ke belakang karena jika aku melakukannya, mungkin akan terlihat aneh—atau sesuatu yang berarti lebih—bagi Julia. Maka tentu saja aku tidak akan melakukannya.
Ketika aku telah sampai di halaman rumahku sendiri, Nyonya Penny menyapaku selamat pagi yang kemudian kubalas "Selamat pagi juga, semoga hari anda menyenangkan, Nyonya Penny."
Sebelum sempat aku masuk rumah, Nyonya Penny tiba-tiba bertanya, "Hei, Jason. Apa kau baru saja dari rumah itu?" tanyanya sambil mendongakkan dagu ke arah rumah yang baru saja kudatangi, rumah Julia.
"Iya, benar. Mom menyuruhku mengantar kue."
"Hei, nak. Biar kuberitahu sesuatu, bahwa keluarga Carpenter rumornya sering berpindah-pindah dari kota satu ke kota yang lainnya adalah karena masalah anak gadis mereka yang bisu."
"Oh ya? Kalau begitu bagus," ujarku singkat lalu langsung masuk ke dalam rumah.
Dari dalam aku masih bisa mendengar nyonya tua itu sedang menggumamkan sesuatu sendirian di luar sana. Ya, setiap hari memang dia selalu begitu. Bahkan Mom sepertinya terpengaruh oleh omongan nyonya tua itu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Rumors about the Mute Girl
Teen FictionOrang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana Mom menyuruhku mengantarkan kue untuk tetangga samping rumahku di mana gadis bisu itu tinggal. Namanya Julia. Dan keluarganya adalah kelua...