40 | page 2, 3 December

1.3K 236 26
                                    

3 Desember

Sejujurnya aku ragu untuk menulisi buku ini, rasanya tidak berguna. Akhir-akhir ini aku beralih menulis sajak dalam lembar-lembar kertas bekas yang mana bertumpuk di pojokan meja kamarku. Cita-citaku? Sejujurnya belum ada. Menjadi penyair terlalu muluk-muluk dan kuyakin ibuku tidak akan menyetujuinya karena ketika aku di Islandia dulu, ibuku memasukkanku ke bimbingan menari balet. Aku tahu ia menaruh harapan pada kegiatan itu untuk kesuksesanku kelak, dianggapnya aku tidak akan bisa apa-apa selain melakukan olah tubuh. Aku tidak bisa bicara sejak lahir.

Di Islandia, aku mulai disekolahkan di sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus tingkat sekolah dasar. Tiap pulang sekolah hari Senin sampai Rabu, aku langsung ditempatkan di sanggar menari balet oleh ibuku selama ia menjemput Aimee Whitney, kembaranku di sekolah dasar untuk anak pada umumnya, anak normal. Seingatku, ibuku tidak pernah pilih kasih dengan kami (aku dan Aimee). Ketika Aimee meminta susu kocok rasa taro pada ibuku, ibuku selalu membelikan dua, untuk Aimee dan aku juga (padahal sebenarnya, aku tidak terlalu suka susu, apalagi rasa taro, membuatku mual).

Hari ini ibuku terlihat sangat frustasi ketika penjaga flat menagih uang sewa. Ibuku meminta waktu satu minggu lagi untuk melunasi, hanya saja, rasanya tetap tidak mungkin katanya. Kata ibu, uang kami hanya cukup untuk terbang ke Islandia bukannya untuk membayar ini itu. Ketika kutanya kenapa uangnya bisa habis, ibuku menangis lagi, membanting semua barang, bahkan barang-barangku di kamar juga termasuk. Ia bilang ia menyesal. Selama hampir setiap hari semenjak kedatangan kami ke Minnesota, ibuku hanya menghabiskan uangnya untuk berbelanja dan sebagian lainnya untuk bersenang-senang seperti menonton film dan menonton pertunjukkan. Dan selama itu juga, aku dibiarkan di apartemen selama hampir seluruh hari. Seperti tujuan kami sebenarnya ke sini, kami hanya berniat untuk berlibur, tidak lebih. Tidak ada sekolah, tidak ada Islandia, tidak ada kesedihan dan tidak ada ayah. Tapi sebenarnya tujuan itu kurasa hanya diperuntukkan bagi ibuku; bukan buatku.

Hingga akhirnya, sampai bulan Desember ini, kami belum berniat untuk pulang ke Islandia karena persoalan uang. Ibuku akhir-akhir ini selalu frustasi, mendekam diri di kamar, kadang-kadang meracau sendiri. Ketika kudekati ia, aku diusir dan malah bilang bahwa hidupku tidak berguna untuknya, anak bisu yang tidak bisa apa-apa. Ia bilang juga, "Kenapa harus kau yang ada di sini?! Kenapa bukan Aimee?!" katanya. Lalu, ia meracau lagi, bicara pada tembok, "Aimee, ibu merindukanmu." []

" []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang