18 | but Mom never trying

3.6K 436 8
                                    

Ini semua gara-gara kau, ketikku, di papan pesan, dan pesan singkat itu akhirnya terkirim pada kontak Penelope; cewek paling tidak punya hati di dunia ini—kurasa.

Setelah mencermati kembali tulisan-tulisan tangan di kertas yang kutemukan di kamar Julia, aku mulai berprasangka bahwa Penelope adalah sebenar-benarnya Penelope yang selama ini kukenal; jahat dan memang selalu menunjukkan sisi buruknya. Aku masih menyimpan kertas itu; kertas dari Penelope.

Ketika kuingat-ingat sekali lagi, hujatan-hujatan yang ditujukan kepada Julia itu adalah tulisan tangan Penelope—tulisan yang hampir sama dengan yang kutemukan di loker; ucapan terima kasih. Antara spasi dan karakter dari tinta yang tergores di atas kedua kertas itu memang betul sama setelah aku mencocokkan keduanya. Ya, aku masih menyimpan ucapan terima kasih itu, namun perlu diketahui, aku bukannya masih berharap sesuatu terhadap maksud pesannya, melainkan hanya iseng saja, berpikir mengapa di zaman sekarang ini Penelope masih menggunakan surat-menyurat dan alih-alih mengirimkan pesan melalui ponsel canggihnya.

Ada apa? Begitulah balasan singkat yang kudapatkan dari kontak Penelope selang beberapa menit. Penelope sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah di dalam pesan itu—yah, setidaknya cewek itu mau membalasnya.

Kita perlu bicara. Dua orang, balasku.

Aku baru saja keluar dari ruang kelasku—kelas pertama bulan Juli di tahun keempatku sekolah (oh, ya, omong-omong, aku sudah mulai masuk sekolah di kelas senior minggu ini.) Pandanganku berfokus pada ponsel sampai-sampai lupa memperhatikan jalan ketika tiba-tiba seseorang dari lawan arah menyenggol pundakku. Aku bisa saja sampai tersungkur dengan ponsel jatuh lebih dulu jika aku tidak cepat-cepat memasang kuda-kuda berdiri lalu mengumpat pada seseorang yang menyenggolku tadi, "Apa kau punya mata, bung?!" Aku tidak terbiasa mengumpat apalagi mengomel pada seseorang karena selama hidupku, hanya Mom yang melakukannya dan itu dilakukan Mom semata-mata karena aku memang benar-benar bersalah.

Aku tidak sempat memikirkan hal-hal lain tentang cowok yang kuumpati serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah aku memarahinya. Sialnya, cowok itu berperawakan lebih besar dan tinggi dariku—seperti karakter utama dalam film Wreck It Ralph—membuatku harus mendongak ketika menatap wajahnya yang berubah sangar ketika mendapati ada seorang cowok culun sok keren sedang mencemoohnya. Aku jadi merasa kecil sekali. Sangat-sangat kecil ketika di hadapannya.

"Maafkan aku, bung. Sungguh, aku tidak bermaksud...." Namun ketika kulihat lagi wajahnya, ia tampak memerah. Berubah cepat sekali.

Cepat.

Sekali.

Dalam satu tonjokkan....

Pukulan keras menghantam hidung mancungku seketika dan tahu-tahu aku terjerembap di lantai yang dingin. Ketika kulihat ke atas, wajah karakter Wreck It Ralph menutupi seluruh sudut mataku, seolah ia semakin dekat, dan dekat, dan....

Sebuah sepatu menendang bokongku—dan itu sakit sekali rasanya. Aku merintih, berusaha memeluk tubuhku sendiri seolah aku adalah perisai yang melindungi tubuhku sendiri. Namun percuma saja, sepatu itu menendangku sekali lagi, menyebabkanku terpejam.

---

"Bangunlah pelan-pelan, hati-hati terhadap memarmu," aku bisa mendengar seseorang berkata demikian. Itu suara gadis, dan sepertinya suara itu tidaklah asing bagiku.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang