4 | people said, they are anti-social family

11.5K 1.1K 76
                                    

Mom—seperti yang kuketahui bahwa dia merupakan salah satu dari ahli gosip di Bloomington—segera menyebarkan berita hangat yang baru didapatkannya dengan cara yang sangat memalukan, yaitu menyuruh anak laki-lakinya untuk berkunjung mengantar kue serta berbasa-basi dengan penghuni rumahnya. Aku—sebagai anak Mom—sungguh merasa malu apabila Julia mengetahui bahwa maksud dan tujuanku sebenarnya mengunjungi rumahnya adalah mencari berita gosipan untuk Mom. Aku berasumsi bahwa Mom bisa saja menambahkan embel-embel tidak benar pada pernyataan keluarga Carpenter adalah pindahan dari Kota Minnesota kemudian menjadi keluarga Carpenter adalah pindahan dari Kota Minnesota dan mereka suka mengupil. Yeah, kira-kira seperti itulah gosip yang akan terdengar, lucu tetapi tidak lucu jika didengar.

Dan benar, tepat pagi hari setelah kunjunganku ke rumah Julia, ketika aku hendak menaiki sepeda menuju sekolah, Nyonya Penny—oh, ya, tentu saja wanita tua itu lagi—bilang padaku bahwa keluarga Carpenter adalah pindahan dari Kota Minnesota, yang tidak lain adalah tempat tinggal keluarga kami dahulu. Nyonya Penny sempat bertanya apakah benar kami tinggal satu kota dengan mereka, dan kujawab iya. Nyonya Penny bilang juga, katanya, keluarga Carpenter itu tidak pernah suka keluar rumah dan bergaul.

Apa-apaan Mom ini? Dari mana Mom berkesimpulan bahwa keluarga Carpenter adalah keluarga antisosial? Apakah hanya karena keluarga kami dahulu tinggal di satu kota sementara keluargaku tidak pernah tahu bahwa yang namanya 'Keluarga Carpenter tinggal di Minnesota'? Ya, memang saat aku tinggal di Minnesota dulu, aku belum pernah mendengar nama keluarga Carpenter disebut-sebut. Tetapi, tidak mengenal satu sama lain bukan berarti bisa menggosip seenaknya bukan?

Aku sampai di sekolah. Memarkir sepeda dengan tergesa, dan lanjut menuju kelas bahasa Perancis Mr. Hemingway.

Suasana kelas berjalan baik hingga Mr. Hemingway masuk kelas dengan pembukaan selamat pagi darinya dalam bahasa Perancis. Kemudian kami para siswa membalasnya dengan selamat pagi juga.

Ketika bel istirahat pertama berbunyi, aku dan beberapa anak di kelas bahasa Perancis beranjak ke kafetaria. Sampai di sana aku langsung mengambil nampan setelah itu mengisinya dengan kentang tumbuk dan segelas susu kocok. Setelah membayar di kasir, kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kafetaria, mencari tempat duduk. Akhirnya hanya kutemukan satu yang kosong di belakang gadis-gadis yang sedang menggosip dengan lantangnya; seolah-olah dunia ini hanyalah milik mereka.

Oh, apakah kota ini sudah seperti neraka? Di mana-mana orang bisa seenaknya menggosip tentang kejelekan orang lain. Padahal bisa saja, tanpa mereka ketahui pun, orang lain mungkin sedang membicarakan mereka.

Aku berjalan menuju bangku kafetaria yang kosong, hingga ketika aku melewati tempat gadis-gadis yang sedang menggosip, tidak sengaja kudengar sesuatu. Kudengar mereka membicarakan seseorang yang sepertinya kukenali, dan itu membuatku berhenti di tempat.

"....dan asal kau tahu, ketika aku menyuruh gadis bisu itu bicara sebisanya alih-alih menulis di kertas, dia hanya bisa merengek tanpa suara dan kemudian pulang sekencang-kencangnya. Kalau kau melihat cara dia berlari sambil menangis seperti anak kecil, mungkin kau akan tertawa juga seperti aku," jelas salah satu gadis—kalau tidak salah namanya Penelope—sambil diselingi tawa cekikikan, kemudian disusul gelak tawa menggelegar dari teman-temannya.

Aku masih berdiri di tempatku, tepat di belakang gadis yang tadi bercerita tengah duduk; menatap mata setiap gadis-gadis itu satu-persatu. Dulu, Mom pernah bilang bahwa aku mempunyai kedua mata elang yang tajam. Awalnya aku tidak percaya, namun kemudian aku percaya setelah beberapa anak kecil ketakutan meminta permen kepadaku di hari Halloween; memutuskan untuk pergi dengan mimik wajah hampir menangis. Hal selanjutnya yang membuatku semakin percaya adalah bahwa ketika aku sedang marah dan menuntut sesuatu, Seth adikku, langsung mengabulkannya seraya pergi dari hadapanku; tidak berani menatapku hingga aku berhenti marah.

Maka, saat ini, aku mengeluarkan kembali aura tatapan mata elangku yang dulu karena aku pikir mungkin gadis-gadis penggosip ini akan takut. Ya, jujur saja, aku benci penggosip; apalagi yang satu ini, menggosip di tempat umum.

Penelope yang melihat ketiga temannya menunduk ketakutan karena tatapanku, menyadari ada seseorang di belakangnya—ya, aku. Gadis itu menoleh dan betapa terkejutnya dia menyadari ada orang lain yang tengah menguping di sini. Ah, ya. Aku ingat sekarang. Gadis ini, Penelope, tinggal di Jalan Fess. Satu deret dengan rumahku, tepatnya terletak dua rumah dari rumahku; itu artinya, persis di sebelah rumah Julia.

Penelope menatapku dengan wajah memelas; meminta belas kasihan.
Aku bertanya, "Siapa yang kalian bicarakan, huh?" lalu mendengus pelan.

"Eh, h-hanya t-tetanggaku, bukan siapa-siapa," jawab Penelope terbata-bata.

"Apa yang kau bicarakan tentangnya?" tanyaku dingin.

Penelope mengedikkan bahu seraya berkata, "Tidak ada."

"Dengar, gadis bisu itu namanya Julia. Dia juga tetanggaku. Jadi sudah sebaiknya sesama tetangga saling mengingatkan," aku menjeda ucapanku, lalu melanjutkan lagi dengan penuh penekanan dan semakin mendekati wajahnya, "jangan. Membuat. Masalah. Mengerti?"

Gadis di hadapanku mengangguk cepat, seolah-olah ingin agar aku cepat-cepat pergi dari tempatnya. Begitu aku meninggalkannya, Penelope masih mematung di tempatnya duduk sambil mengamatiku menjauh hingga aku sampai di meja yang kududuki. Sebelum aku memakan kentang tumbukku, kusempatkan untuk mendongak ke arah meja Penelope dan teman-temannya untuk terakhir kali. Huh, masih sama seperti tadi. Menggosip. Aku tidak suka orang-orang seperti mereka. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang