Selama beberapa hari, adikku mengurung diri di kamar setelah hari itu—hari dimana aku mulai berumur tujuh belas dan Penelope dengan gilanya memberiku kado, tetapi aku jelas tidak menerimanya. Seth bilang dia tidak apa-apa tapi aku tahu dia kenapa-napa. Soal Penelope yang malah mengira bahwa pengirim kado tengah malam—saat Penelope berulang tahun—itu adalah aku dan bukannya Seth, hal itu membuat adikku sedih. Lebih tepatnya, patah hati. Aku menimbang-nimbang apakah aku harus mengajaknya pergi ke suatu tempat atau membiarkannya mati membeku karena kegalauannya sendirian di kamar. Namun aku malah memilih opsi yang kedua; membiarkan Seth mengurung diri di kamar.
Sementara aku, selama beberapa hari ini juga, kutimbang-timbang sesuatu tentang Julia. Bagaimana kabar gadis itu, ya? Sudah lama aku tidak ke rumahnya. Apakah dia juga mendekam di kamar sama seperti yang dilakukan Seth? Aku kadang juga bingung, apa ya, yang dilakukan gadis itu ketika orangtuanya sedang pergi?
Maka, pada hari kesembilan liburan sekolahku, kuputuskan untuk mengunjungi Julia ke rumahnya. Aku mengambil hari Senin karena kupikir, hari Senin adalah hari yang sibuk dan orangtuanya pasti sedang pergi bekerja atau urusan para orangtua yang lain.
Kuketuk pintu rumah Julia, pelan tapi pasti. Perlu beberapa detik aku harus menunggu pergerakan seseorang dari dalam ruangan, namun setelah itu masih tidak ada respons. Aku baru saja mulai menghitung dari detik pertama dan ketika aku sampai di detik kelima, seseorang telah menarik engsel pintu dari dalam, membuatku berhenti berhitung dalam hati dan buru-buru menegakkan tubuh; bersiap menyapa Julia.
Namun itu bukan Julia yang berdiri di ambang pintu.
Itu Mrs. Carpenter. Aku tersenyum ke arahnya, dan wanita itu balas tersenyum pahit dengan ekspresinya yang bingung mengapa aku di sini.
Aku mengamati Mrs. Carpenter sedetik kemudian. Dengan busana yang dikenakannya, aku yakin itu adalah baju para wanita berpergian, model yang sama seperti gaya berpakaian Mom setiap kali aku melihatnya hendak berbelanja dengan Dad pada Minggu pagi setiap bulan.
"Selamat pagi, Nyonya."
"Pagi. Ada apa?" tanyanya, dengan nada seolah ia menyuruhku pergi.
Aku mengernyit dan meringis. Berpikir sepintas sebelum akhirnya aku sadar, betul juga, kenapa juga aku di sini sekarang? Dan sialnya mengapa juga aku harus bertemu Nyonya Carpenter? Padahal tadi sebelum ke sini, aku yakin sekali orangtuanya sedang pergi. Aku bergumam pelan, "Ehm, tidak ada," kataku. "M-maksudku, saya hanya harus memastikan bahwa keadaan sesama para tetangga harus berjalan baik, anda tahu."
Bodoh. Siapa juga yang bakal percaya dengan omong kosong seperti itu?
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Ehm, tidak ada," kataku, kali ini jujur. Memang benar, tidak ada yang menyuruhku berkunjung. Dan aku sendiri juga bingung saat ini, mengapa aku melakukan ini semua? Saat aku membayangkan alasan apa yang mendorongku ke sini, aku baru sadar jika ternyata aku juga menjinjing bungkusan berisi tiga gelas milkshake berwarna ungu di tanganku. Aku baru ingat itu adalah untuk keluarga Julia sekarang setelah beberapa detik rasa kecanggungan ini berlangsung akibat kebodohanku menghadapi Nyonya Carpenter yang menatapku sangar; tatapan yang menusuk, membuatku sungkan untuk bergeser sesenti pun. Lalu kuserahkan milkshake yang kubawa sambil berkata, "saya dengar Julia suka sekali taro, jadi saya membawakan tiga."
Aku ragu Nyonya Carpenter akan mengambilnya. Namun ternyata aku salah. Justru ia malah menerimanya dan berterima kasih padaku diselingi senyum kecil. Aku mengucapkan terima kasih kembali sebelum akhirnya wanita di hadapanku buru-buru berujar, "Kau sudah selesai?" tanyanya, "Karena jika tidak, aku harus terpaksa meninggalkanmu di sini. Aku buru-buru, ada urusan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Rumors about the Mute Girl
Ficção AdolescenteOrang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana Mom menyuruhku mengantarkan kue untuk tetangga samping rumahku di mana gadis bisu itu tinggal. Namanya Julia. Dan keluarganya adalah kelua...