11 | Seth and the truth

5K 551 66
                                    

Liburan akhir tahun pelajaranku sungguh tidak menakjubkan. Ketika aku bertanya pada Dad apakah dia akan mengambil cuti atau tidak—untuk liburan keluarga kami seperti tahun-tahun sebelumnya—Dad menggeleng dan itu berarti tidak. Sebuah keputusan yang brilian. Membiarkan kedua anak lelakinya mendekam di kamar masing-masing atau mati kebosanan; menunggu keajaiban datang kapan ayah mereka akan berubah pikiran.

Aku mengisi waktu liburanku dengan menamatkan video game-ku dan selesai tepat pada hari keempat. Kemudian pada hari-hari selanjutnya aku mulai jemu dengan kegiatan di rumah yang hanya sekadar menonton televisi-makan-tidur-bermain ponsel-menonton film dan terus begitu sampai tiba nanti waktunya tahun keempatku di kelas baru menjadi murid senior di sekolah. Sedangkan adikku, anak itu akan menjadi murid sophomore (siswa tingkat kedua di SMA).

Hari-hari berlalu begitu cepat serta menjemukan hingga sesuatu terjadi. Semua berawal pada hari Minggu pagi ketika Penelope secara tiba-tiba mengetuk pintu rumahku dan pada saat itu, akulah yang menemui tamu-tak-diundang itu.

Aku terlonjak kaget ketika tiba-tiba gadis itu memelukku seolah-olah kami baru bertemu setelah bertahun-tahun berlalu. Gadis itu juga berucap ceria, "Selamat ulang tahun, Jason!"

Aku lekas-lekas mendorong tubuhnya dengan kasar; jijik. "Apa-apaan kau?!" umpatku dengan nada sarkastik.

Dia pasti melihat wajahku yang ngeri karena dia berkata, "Ucapan ulang tahun pertama untuk Jason-ku. Kenapa kau—"

Untuk beberapa saat, aku sadar dan teringat rupanya hari ini memang hari kelahiranku setelah kuingat-ingat. "Kau sakit?" Aku menepuk-nepuk dahi gadis-yang-kupikir-sakit itu. "demensia? Alzheimer?" Dan aku juga melihat tangannya memegang sesuatu—semacam kado. Ya, rupanya memang benar itu adalah kado.

"Aku baru tujuh belas! Bukan orang tua pikun yang lupa akan cucunya sendiri, huh!" gerutu Penelope. "dan ini, kado untukmu!" serunya, seraya menyodorkan benda yang dipegangnya.

Aku mendecakkan lidah alih-alih menerima pemberiannya; kesal terhadap perubahan sikap Penelope pagi hari itu. Kupikir, gadis ini mulai gila—oh, mungkin saja karena dia mulai mengalami sekarat kebosanan karena di rumah tidak melakukan apa-apa, seperti diriku.

"Seriously? Kau mengucapkannya padaku?" kataku datar, dengan nada paling-rendahku.

Bahu Penelope merosot perlahan, diikuti dengan wajahnya yang sok-ingin-dikasihani oleh cowok bernama Jason-yang-tidak-sudi-terhadapnya. "Aku serius. Belakangan ini aku menyadari sesuatu."

Kuputar bola mataku dengan asal-asalan—sebenarnya aku risih dengan cewek ini. "Menyadari apa? Ada upil di telingamu?"

"Ih kau jorok juga, rupanya," Dan wajahnya tampak seperti dijatuhi kotoran cicak sebesar penghapus. "tidak, bukan itu. Kau tahu, sejak kau mengirim kado ulang tahun itu... Aku mulai menyuka—"

"Woops, wait, wait! Kau bilang kado? Kado sialan apa?!" Aku menyela penjelasan cewek-ribet itu sebelum nantinya mulutnya itu akan melebar-lebarkan gosip yang sungguh memuakkan telinga; Jason dan Penelope sekarang bersama! Tentu saja aku tidak sudi dengan itu dan kalau perlu, satu hari kemudian aku akan angkat kaki dari rumah lalu pindah ke negara bagian di benua Amerika yang lainnya.

"Dengar. Sebelum kau benar-benar menderita karena menyesali perbuatan konyolmu ini, perlu kau tahu. Aku tidak memberimu kado semacam yang kau bilang tadi." tegasku, penuh penekanan disertai tatapanku yang menukik tajam ke arah kelopak Penelope; membuat cewek itu memasang muka setengah tidak percaya terhadap apa yang kukatakan barusan.

"Tapi Jason, ini kado—"

"Ini konyol. Sebaiknya kau pergi. Jangan berharap sesuatu yang lebih terhadapku." Aku meletakkan kedua tanganku pada bahu Penelope dengan tujuan memutar tubuh cewek itu, dan mendorongnya pergi—ya, aku mengusirnya.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang