37 | yeah, they are gone

2K 275 49
                                    

"Mengapa Anda—" aku berkata dengan nada yang terputus-putus, "—masih di sini? B-bukankah kalian ... sudah pergi?"

Ini di luar dugaan. Seharusnya, lelaki di depanku sudah pergi. Seharusnya, mereka telah berada di Islandia saat ini, tapi mengapa Herbert Carpenter bisa tiba-tiba ada di hadapanku sekarang? Tidak masuk akal.

"Aku memang tidak pergi," kata Herbert Carpenter kemudian, "Merekalah yang pergi."

"Mengapa begitu?" Sedetik setelah kulontarkan pertanyaan itu, aku mulai bertanya-tanya apakah ini mimpi atau bukan karena aku malah mencubit lengan dengan  jemariku. Sial, lumayan sakit, seperti sengatan semut merah yang menyadarkanku akan kenyataan. "Apakah ini nyata?" pertanyaan bodoh tiba-tiba keluar dari mulutku. Aku masih berdiri di ambang pintu ketika Herbert Carpenter mulai melangkah menjauhi kompor yang sudah dimatikannya. Pria itu melangkah hingga berhenti tepat kira-kira satu meter di depan ujung kakiku.

"Karena sudah takdir," katanya, dan nada kalimat itu terdengar berbeda sekali dari sebelumnya, dalam dan penuh penyesalan, sepertinya. Apa itu artinya? Apakah semua kehidupan hanya bisa ditentukan oleh takdir saja? "Aku tidak bisa ikut  mereka tinggal di Islandia karena memang begitu seharusnya. Islandia bukan rumahku."

Dan itukah juga karena 'takdir'? Persetan dengan omong kosong tentang takdir. Aku ingin bilang padanya kalau aku mendadak membenci takdir karena perkataannya barusan namun tidak jadi kukatakan karena pria di depanku tahu-tahu menaruh telapaknya di pundakku. Menepuk pundakku, dan sekali lagi, dan tersenyum. Aku memberinya tatapan bahwa aku butuh kejelasan atas semuanya dan kurasa, itu berhasil.

Herbert Carpenter membelakangiku dan berjalan ke arah loker penyimpanan di dinding dan mengambil sesuatu; dua buah piring. Diletakan piring itu di meja yang kosong sebelum akhirnya berkata lagi padaku, "Kau mau omelette?" What the ... Kenapa malah menawariku makan dan bukannya memberiku penjelasan?

Kuberi ia tatapanku yang kuanggap paling menusuk. "Saya sudah sarapan. Tapi, terima kasih," kataku cepat, "Saya hanya butuh penjelasan."

Pria itu terkekeh mendengarku berkata seperti tadi. Mungkin ia pikir, aku bercanda dan itu wajar karena sepanjang hidupku saja, sikapku selalu kekanak-kanakan seperti ini dan sungguh sialan dengan orang-orang menganggap diriku lucu. "Aku tahu kau menyukai Julia," katanya sambil diselingi tawa yang terdengar menjengkelkan, "Aku juga tahu kau sering menyelinap ke kamarnya," Ketika aku mendengar ucapannya, telingaku panas, seolah meletup-letup dengan sendirinya gara-gara rahasiaku selama ini tengah dijabarkan oleh seorang pria dengan terang-terangan.  Herbert Carpenter menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "hanya saja, kubiarkan kau membuat Julia bahagia setidak-tidaknya hanya seringaian mungil dari wajahnya. Sejauh yang kutahu, istriku tidak pernah tahu kelakuanmu itu. Aku sengaja tidak memberitahunya supaya Julia bisa terus tersenyum melihat tingkah konyolmu itu, Jason."

Aku tidak memberikan respon apa-apa, bergeming di ambang pintu dapur sambil mengarahkan fokusku pada gerakan Herbert Carpenter di meja makan. Melihatku tidak mau diajak bercanda dengan gurauan konyol, lelaki itu pun melanjutkan, "Kemarilah, duduk. Setidak-tidaknya kau bisa mendengar ceritaku sambil makan pagi untuk yang kedua kalinya."

---

Ia jatuh cinta pada Olivia Whitney, dua tahun yang lalu, kira-kira pertengahan bulan Desember, tepat ketika malam pertama di saat salju pertama di bulan Desember turun, musim dingin spesial pertama di pusat kota Minnesota. Dia mengatakan kata 'spesial' dengan penuh perasaan namun kuanggap itu terlalu menjijikkan karena wajah Herbert Carpenter menunjukkan seulas senyuman penuh arti ketika mengatakannya. Untung aku masih bisa menahan muka rasa jijik agar tidak kutampakkan di hadapannya.

Dia bilang, berdasarkan kontrak, Olivia Whitney menyewa flat miliknya selama musim panas berlangsung di Minnesota. Olivia Whitney sedang melakukan tur kala itu. Waktu itu Herbert Carpenter adalah seorang pengusaha interior kaya yang mempunyai salah satu gedung apartemen sewa di Minnesota. Awalnya, Herbert Carpenter tidak pernah menyangka ia akan jatuh cinta dengan penghuni sementara apartemen miliknya. Namun, sesuatu terjadi dengan Olivia Whitney. Wanita itu tidak sanggup membayar sewa setelah akhir musim panas. Karyawan resepsionis sudah berulangkali menagih, hanya saja Olivia Whitney terus mengulur waktu dan bilang 'saya masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi, tolong perpanjang jangka sewanya'. Hingga suatu hari, Herbert Carpenter sendiri tidak segan mengetuk pintu kamar Olivia Whitney dan menagih uang sewa.

Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang