- 03. Badmood

1.6K 102 10
                                    

‘Kamu pergi meninggalkan teka-teki, lalu kembali dengan memulainya lagi’

---

Setibanya di kelas, aku menelungkupkan kepala di meja dengan beralaskan buku. Pikiranku masih tertinggal pada seseorang yang menanyakan keberadaan toilet. Di mana dia sekarang? Apa sudah masuk kelas lain? Semoga saja iya.

Sejauh ini belum ada tanda-tanda guru yang akan mengajar. Sampai lima belas menit berlalu setelah bel masuk berbunyi, beberapa temanku masih berkeliaran di luar kelas. Namun, ada juga yang asyik bermain game online di tempat duduk bagian belakang. Rutinitas agar tidak bosan kata mereka.

"Syif, bener 'kan nanti nggak ada tugas?" tanya Nesya memastikan sekali lagi. Dia memang suka lupa. Makanya suka memastikannya padaku, atau ke depan dan belakang tempat duduknya.

"Nggak ada kok, Nes. Santai aja," jawabku masih dengan posisi seperti tadi. Menelungkupkan kepala, sambil memejamkan mata sejenak.

"Haha, bagus deh. Yaudah nanti pas guru masuk, bangunin ya," pesan Nesya kepadaku, sebelum dia ikut-ikutan menelungkupkan kepala.

Aku hanya bergumam. Tidak lama kemudian, terdengar suara seseorang di sampingku.

"Kenapa, Ra?"

"Nggak apa-apa, Lif," jawabku seraya membenarkan posisi duduk. "Udah selesai nyatetnya?" Giliran aku yang bertanya ketika melihat dua buku tulis di tangan Alif. Kemarin dia meminjamnya karena dua hari yang lalu tidak masuk.

"Udah, makasih ya. Catetannya ringkas, tapi lengkap. Tulisannya juga rapi banget."

Aku tertawa pelan. "Alhamdulillah, sama-sama … Itu biar gampang diinget, dan gampang dipahaminnya aja."

"Tapi ada bagian yang aku bingung. Makin kesini materi makin susah, Ra. Palingan nanti malem dibaca ulang lagi. Kalo nggak mager."

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Alif tersebut. Memang semakin lama semakin sulit. Apalagi kalau ada sesuatu yang belum dipahami, tetapi memilih lanjut ke materi selanjutnya. Yang terjadi adalah kita sendiri semakin kesulitan, bingung, karena masih ada pertanyaan yang belum terselesaikan.

"Bener, Lif. Coba deh, misalkan ada yang kita bingungin, kita liatin terus aja materinya," ujarku serius, dan Alif memutuskan duduk di kursi depan tempat dudukku, setelah memutarnya 90°. Kebetulan penghuninya sedang main ke barisan pojok dekat pintu.

"Terus jadi langsung paham gitu ya?" Alif tertawa menanggapi ucapanku.

"Bisa iya, bisa nggak sih. Aku malah jadi ngelamun, bukannya mikirin pelajaran." Aku menyengir lebar, melihat ekspresinya berubah. "Ih, malah ditabok!"

Aku mengusap dahiku, lalu merebut buku tulis yang baru saja Alif gunakan untuk melakukan kekerasan. Saat ingin kubalas, Alif selalu bisa menghindar. Kucoba lagi, dia menghindar lagi.

"Haha, nggak kena."

“Berisik, Syifaaaaa.” Spontan aku dan Alif menoleh ke Nesya yang baru bangun. Dia tidak membiarkan aku menyanggah. “Kalian tuh nggak mau langsung jadian aja gitu? Kadang gemes, kadang berantem, kadang bikin baper sekelas, terus sekarang berantem lagi. Mungkin kalo jadian—”

“Nggak,” jawabku kompak dengan Alif. Nesya yang menyaksikannya pun semakin pusing. Dia akhirnya lanjut menelungkupkan kepala. Mungkin sekadar memejamkan mata saja, karena tidurnya tadi sudah terganggu.

Hanya Sebatas Teman?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang