'Setiap manusia memiliki sudut pandang yang tidak akan bisa disamakan. Tidak ada yang bisa mengenal kita lebih baik selain diri kita sendiri.'
---
Setiap aku tanya, dia malah sengaja mengalihkan ke pembahasan lain. Padahal aku menunggu penjelasannya. Aku hanya ingin membantu, sama halnya seperti dia yang selalu ada untukku.
"Lif, yang berubah apa?"
"Nggak tau, Ra."
"Ada masalah di rumah?"
"Kamu langsung pulang atau kemana dulu?"
"Pertanyaan aku nggak dijawab ya? Aku mau ke rumah Nesya. Dia ngajakin ngerjain tugas bareng."
"Naik apa?"
"Bareng dia. Dia kan selalu dijemput sopirnya."
Begitulah percakapannya. Setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama, karena rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahku. Sekitar 300 meter. Tidak jarang juga aku harus naik angkutan umum, atau ojek online kalau salah satu dari kami sedang ada ekskul, dan aku rapat OSIS.
Selama mengenal Alif, aku seperti mempunyai seorang kakak. Padahal tahun lahirnya sama. Hanya selisih bulan. Dia berusaha menjaga, dan menemani agar aku tidak sendiri. Bapak dan Ibuku sangat mengenal Alif. Bahkan mereka pernah mengatakan, sudah menganggap dia seperti bagian dari keluarga ini.
"Jangan ada alesan lupa makan, Ra. Inget ya, kamu punya maag."
"Iyaaa, Alif … Inget."
"Makan dulu baru ngerjain tugas, biar nggak lupa. Kalo ngerjain tugas dulu, ujung-ujungnya kamu lupa makan."
"Iyaaaaa … Ada Nesya kok. Dia pasti ngajak makan dulu."
"Terus pulangnya jam berapa? Mau aku jemput?"
"Nggak usah dijemput ih, kasian kamunya. Rumah Nesya juga jauh banget. Palingan aku pulang abis Isya, pesen ojol."
"Jauh nggak masalah, Ra, yang penting kamu aman. Nanti biar aku yang pesenin ojolnya. Kabarin aja, Ra."
"Iyaaa … kamu hati-hati pulangnya. Jangan ngebut!"
Selalu seperti itu saat aku ada kegiatan lain. Alif menghampiriku ketika sedang menunggu Nesya piket. Alif dengan segala bentuk peduli, dan kekhawatirannya.
Biasanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di rumah Nesya. Namun, karena lalu lintas cukup padat bersamaan dengan orang yang baru pulang kerja, kami tiba 15 menit lebih lama. Dulu ketika pertama kali main ke rumahnya, aku dibuat terkejut karena luasnya bisa tiga kali lipat luas rumahku. Serta arsitektur bangunannya pun begitu indah, mewah, juga sangat rapi.
"Kamu pasti ngerasa beruntung bisa punya rumah sebagus ini ya, Nes. Mulai dari luar, sampe isinya cantik semua ih."
"Kata siapa? Aku malah ngerasa kesepian, Syif. Aku nggak punya kakak, nggak punya adik. Mama papa pulangnya malem, pas aku udah ngantuk. Paginya kadang juga udah berangkat duluan. Jarang bisa sarapan bareng. Makanya kamu sering-sering main ke sini dong. Ya ya yaa?"
"Jangan sering-sering, bisa-bisa aku diusir dari rumah."
"Hahaha, nginep sekalian nggak apa-apa, Syif."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebatas Teman?
Teen FictionHarusnya aku tahu, menjalin persahabatan antara laki-laki dan perempuan, ada yang perlu dikhawatirkan. Iya, adanya perasaan tanpa direncanakan. Aku tidak menyesal memendam perasaan padanya cukup lama. Namun, justru aku sangat menyesal karena menuli...