Perihal perasaanku, biarlah menjadi urusanku sendiri.
---
Alarm terus berdering menyapa pendengaranku. Aku masih enggan beranjak, atau sekadar meraih ponsel untuk menghentikan bunyinya. Nanti alarmnya juga mati sendiri. Berulang kali mencari posisi tidur ternyaman, tetap tidak bisa. Mata terpejam, selimut kembali kunaikkan hingga menutupi wajah.
Beberapa detik kemudian, aku menurunkan selimut ini, dan membuka mata. Bagaimana kalau nanti aku kesiangan? Aku segera duduk, mengumpulkan kesadaran hingga penuh.
“Kakkkkk … udah bangun belum?”
"Udah, Buuu …."
Ibu mengetuk pintu, sambil memastikan aku tidak bangun kesiangan. Setelah selimut sudah kulipat, aku langsung beranjak ke kamar mandi. Hampir setengah jam sudah rapi berseragam, sudah salat shubuh, memastikan perlengkapan sekolah sudah siap, aku turun ke dapur menyiapkan sarapan.
Di dapur sudah ada Ibu yang tengah mengaduk nasi goreng. Aku menyiapkan piring untuk penyajiannya, kemudian kotak makan yang akan kubawa.
"Nyari kotak makan, Kak? Emangnya nanti nggak ke kantin?" tanya Ibu yang menyadariku kebingunganku. Kotak makan yang biasanya selalu ada di dalam rak, kenapa tidak ada?
"Iya, bu. Kotak makan aku di mana ya? Kok hilang?"
"Coba inget-inget dulu, Kak … Cari pelan-pelan."
Aku mengikuti ucapan ibu. Aku mencari dengan teliti, tetap tidak ada. Di dalam kulkas juga tidak ketemu. Itu kotak makan kesayangan aku, semoga tidak benar-benar hilang.
Aku menggantikan posisi ibu yang tadinya masih sibuk membuat nasi goreng. Beliau pergi ke kamar membangunkan adikku yang juga masuk sekolah, tetapi masih tertidur pulas.
"Kak, ini yang kamu cari-cari, 'kan? Dipake sama Dhiba buat nyimpen lilin-lilinan di kamar," tanya Ibu ketika aku baru mematikan kompor.
Ibu meletakkannya di meja, dan langsung berlalu ke kamar mandi. Aku menghampiri Dhiba yang kebetulan sedang menuju ke sini.
"Dhibaaa … kenapa nggak bilang ke kakak kalo mau pinjem ini?" tanyaku pada Dhiba yang masih mengucek mata. Anak kelas tiga SD tersebut hanya menyengir lebar, seraya menggaruk kepala.
"Ma-maaf, Kak Ra. Dhiba kemarin buru-buru main sama temen, jadi langsung ambil aja punya Kakak. Kakak marah?"
"Kakak nggak mempermasalahin boleh apa nggaknya ya, Dhib. Tapi bilang apa nggak pas pinjemnya. Lain kali, kalo mau pinjem barang, atau apapun yang bukan punya kamu, izin dulu ya. Biar orangnya nggak nyariin. Oke?"
Dia langsung mengangguk, aku tersenyum mengusap puncak kepalanya. Semoga Dhiba semakin tumbuh menjadi anak perempuan yang sholehah, dan bisa membanggakan orangtua.
"Siap, Kak Ra cantik!"
"Langsung mandi sana, bau asem sama bau ilernya kecium nih."
Aku pura-pura menutup hidung sebelum berlalu dari hadapan Dhiba, dan kembali menyiapkan sarapan.
"Dhiba nggak bau, Kakk! Kak Ra boong nih," ujarnya dengan sedikit cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebatas Teman?
Teen FictionHarusnya aku tahu, menjalin persahabatan antara laki-laki dan perempuan, ada yang perlu dikhawatirkan. Iya, adanya perasaan tanpa direncanakan. Aku tidak menyesal memendam perasaan padanya cukup lama. Namun, justru aku sangat menyesal karena menuli...