'Sangat handal mengobati luka orang lain, tetapi tidak menyadari luka sendiri'
---
“Kok bisa bareng sama Arka, Syif?"
Bukan Nesya namanya kalau tidak penasaran. Dia sudah memperhatikanku sejak baru masuk ruangan. Sehingga aku langsung diserang pertanyaan saat menghampirinya. Nesya sudah mendapati novel untuk diresensi, sedangkan aku belum mencari sama sekali.
"Kebetulan ketemu di depan. Kamu ngambil di rak sebelah mana bukunya?" tanyaku buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Rak paling belakang yang di pojok sana, Syif. Aku liat-liat banyak judul yang bagus."
Aku memerhatikan arah yang Nesya tunjuk. Namun, aku akan mengembalikan buku terlebih dulu. Mataku menyapu sekeliling mencari penjaga perpustakaan yang tidak tahu sedang ada dimana. Tidak lama kemudian, beliau ternyata baru kembali dari luar.
Setelah menyerahkan bukunya, dan namaku sudah didata, aku berjalan menuju rak buku paling belakang. Dan benar saja, kuperhatikan banyak novel menarik. Aku jadi bingung mau memilih yang mana. Sudah membaca empat blurb novel, aku masih belum menentukan pilihan.
Aku membenarkan letak kacamataku, hendak membaca salah satu judul buku di bagian atas. Aku penasaran dengan isi bukunya, tetapi aku sedikit kesulitan meraihnya.
Melihat semuanya sedang sibuk dan fokus, aku tidak jadi meminta bantuan. Aku sudah berjinjit, berusaha meraih buku bersampul jingga itu. Tetap saja tidak tergapai. Sudahlah, lebih baik mencari buku yang lain saja. Atau, aku akan mengambil kursi ke sini untuk kunaiki? Oke, bisa dicoba.
Belum sempat berbalik badan, ada salah satu tangan yang meraih buku tersebut. Aku mengenali aroma parfum orang di belakangku.
"Yang tumbuh tuh tingginya juga, Ra. Bukan cuma pipi aja."
"Ih apasih, jangan bawa-bawa tinggi ya. Kamu kan sarapan gala tiap hari."
Sebelum memberikan bukunya, dia menepuk kepalaku menggunakan buku. Itulah kebiasaannya dia. Aku menerima buku itu sambil membalas ledekan Alif. Tinggiku sama seperti tinggi rata-rata siswi lain. Alif saja yang terlalu tinggi. Kalau aku berdiri di sebelahnya, tinggiku sebatas bahunya.
"Kamu sendiri sarapan bakpao tiap hari. Makanya pipinya mirip bakpao."
Aku memutar bola mataku malas. "Yaudah sana, Lif, kerjain tugasnya. Makasih udah diambilin."
Alif mengangguk, kemudian berlalu dari hadapanku. "Mager, Ra. Nanti aja di rumah."
"Ih, nggak boleh males, Aliff. Kamu udah dapet buku yang mau kamu resensi?"
Aku langsung menyusulnya sampai dia berhenti di meja paling pojok. Dia mengambil sebuah buku yang tergeletak di atas meja tersebut, kemudian menunjukkannya padaku.
"Bukunya udah dapet. Niat buat bacanya yang belum ada, Ra."
Aku akan berusaha memunculkan minat bacanya yang sedang redup. Kutarik kursi di sampingnya dan duduk di sana.
"Kenapa? Itu kan buku bagus. Aku udah selesai baca itu bulan lalu, Lif. Beneran deh, seru banget! Aku yakin kamu pasti juga suka."
"Ra, yang seru menurut kamu, belum tentu seru juga bagi aku."
"Nggak juga, Alif …." Aku membuka buku bab pertama. "Kamu jangan langsung nilai dari bagian awalnya aja. Baca sama pahamin dulu tiap paragrafnya. Dijamin deh kalo udah penasaran, lama-lama keterusan."
Sepertinya Alif setuju dengan penjelasanku itu. Dia mengambil alih bukunya dan masuk ke bab pertama. Eh, tunggu dulu. Dia tidak benar-benar membaca. Buku itu malah dimanfaatkan untuk menghalangi wajahnya yang tengah memejamkan mata.
"Iya, Raaa, nanti pasti dibaca. Niatnya sekarang udah ada, tapi tetep nggak sekarang ya. Mau tidur bentar."
Aku mengangguk pelan. Netraku terfokus ke bawah kedua matanya yang sedikit menghitam. Meskipun samar, aku bisa melihatnya jelas dari sini. Dan aku baru menyadarinya. Lebih baik aku pindah tempat ke samping Nesya yang ada di depan sana, karena takut mengganggu tidur Alif.
"Jangan kemana-mana, Ra. Di sini aja," ujar Alif saat mendengar decitan kursi. Baiklah, aku tidak jadi pindah.
"O-oke." Aku kembali duduk.
Apa yang menyebabkan Alif kurang tidur? Dia tidak suka main games, sehingga tidak mungkin Alif begadang karena itu. Lalu apa? Insomnia? Atau suka mengalami mimpi buruk? Ingin bertanya, sepertinya kurang tepat. Alif tidak pernah menceritakan masalah pribadinya. Dia cukup tertutup meski kami sudah kenal lama.
Cerita yang kuingat yaitu dia pernah bercerita mengenai adiknya yang suka membuatnya kesal, karena memiliki banyak permintaan yang harus dituruti. Jika tidak, pasti akan mengadu ke orangtuanya. Namun, ada tanda tanya lain tentangnya yang membuatku sangat penasaran. Aku pernah melihatnya dalam kondisi tidak baik-baik saja. Wajahnya terluka, tetapi seperti ada luka lain yang tidak kasat mata. Saat aku tanya kenapa, dia selalu menjawab bukan apa-apa, dan baik-baik saja.
"Jangan sungkan untuk cerita ke aku, Lif. Kaya sama siapa aja sih." Aku bergumam, tidak tahu sampai ke telinganya atau tidak. Dia terlihat sudah tidur. Matanya terpejam, tetapi masih seperti mengerutkan alisnya.
Aku melirik ke jam dinding di belakangku. Tersisa waktu sekitar lima belas menit lagi sebelum bel pulang berbunyi. Namun, sebagian temanku sudah ada yang kembali ke kelas duluan. Aku ingin ke kelas juga, tetapi tidak tega membangunkan manusia yang tengah terlelap.
"Syif, ke—"
Mendengar suara Nesya, aku langsung mengisyaratkan padanya untuk diam. Dia menggantung ucapannya, kemudian mulutnya membentuk huruf o.
"Kamu duluan aja, Nes." ujarku dengan suara kecil. Dia mengangguk dan beranjak dari sana. Namun, sebelum itu dia menyempatkan diri menggodaku. Seperti mengucapkan 'ciee' tanpa suara. Menyebalkan. Memangnya ada yang salah ya dengan tindakanku?
Aku lanjut membaca novel yang tadi kuambil. Menyapu setiap kata di dalamnya sampai saat mau berpindah ke halaman berikutnya, tanganku tertahan. Aku mendengar perdebatan, lalu disusul teguran dari penjaga perpustakaan. Ada Arka diantara dua orang perempuan. Aku baru tahu itu dia ketika orang di depannya baru berpindah tempat. Lihatlah, Arka diperebutkan.
Dia diserang pertanyaan dari masing-masing kanan dan kirinya. Aku bisa menerka, beberapa hari kemudian pasti Arka akan langsung dikenal seisi sekolah. Persis seperti di SD dan SMP. Setiap angkatan pasti kenal dia.
Pandangan kami bertemu selama beberapa detik sebelum aku memutuskan kontak mata duluan. Aku segera merapikan buku, dan membangunkan Alif berhubung sebentar lagi bel pulang. Syukurlah sangat mudah membangunkannya. Hanya aku goyangkan tangannya sambil aku cubit, hehe.
"Nyenyak?"
"Kurang."
"Yaudah lain kali nggak akan dibangunin."
"Emang tega?"
Aku tertawa mendengar pertanyaannya. "Yaudah Alif jangan begadang terus."
"Udah banyak yang berubah, Ra."
Tawaku langsung pudar, ekspresiku datar. Apa yang berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebatas Teman?
Teen FictionHarusnya aku tahu, menjalin persahabatan antara laki-laki dan perempuan, ada yang perlu dikhawatirkan. Iya, adanya perasaan tanpa direncanakan. Aku tidak menyesal memendam perasaan padanya cukup lama. Namun, justru aku sangat menyesal karena menuli...