Masih menunggu Nesya yang ke toilet, aku memilih duduk di bangku koridor yang tidak jauh dari sana. Bosan diam saja, kulanjutkan membuka novel di tanganku.
'Berhati-hatilah jika ada urusan hati yang belum selesai secara pasti. Salah siapa kalau dia tiba-tiba pergi? Jika tujuan hatinya memang kamu, dan ditakdirkan bertemu, mungkin suatu saat akan kembali lagi.'
Novel ini sebenarnya sedang menyindirku atau bagaimana? Aku membuka mundur beberapa halaman, menengok daftar isinya. Benar, novel ini sangat cocok untuk aku baca, dan aku pun membutuhkannya. Siapa tahu setelah selesai bisa menjawab pertanyaan yang kubingungkan.
Mengutip dari kalimat yang tadi, siapa yang salah kalau dia tiba-tiba pergi? Aku menghela napas perlahan, kembali terbayang ke tahun itu. Ya tentu aku. Sosoknya pergi dari keseharianku, dan pergi meninggalkanku sendiri ketika keadaan sedang kacau. Bahkan tidak ada kata pamit, juga salam perpisahan.
Terakhir kali aku mengunjungi rumahnya seusai pulang sekolah, yang kudapati hanya informasi bahwa penghuni rumah minimalis di sana sudah pindah. Pantas saja dia tidak pernah terlihat lagi. Mulai saat itu lah, aku harus membiasakan diri tanpanya. Walaupun jujur, seperti ada bagian dari hidupku yang kurang.
Arka El-Fatih. Kamu apa kabar ya, Ar? Sudah tiga tahun lebih tidak ada kabar. Jika tulisanku di kertas itu tidak kamu baca, mungkin hubungan pertemanan kita baik-baik saja, 'kan? Jika kamu tidak marah, tidak kecewa, kita mungkin masih bisa berkabar walaupun tidak sesering dulu.
"Syif, ayo!"
"Ah, iya."
Ajakan Nesya membuyarkan lamunanku. Di sepanjang koridor, aku lebih banyak diam. Hanya menanggapi pertanyaan Nesya secukupnya. Mulai dari pertanyaan apakah ada tugas yang harus dikumpulkan nanti, tugas untuk besok, apakah ada acara Pensi, dan apakah ada rapat, karena aku termasuk anggota OSIS.
"Coba aja kamu masuk OSIS juga, Nes."
"Emang kenapa?"
"Ya biar kamu bisa ngerasain sendiri gimana ribetnya kalo mau hari H. Dan bisa jawab sendiri pertanyaan yang biasa kamu tanyain tentang acara sekolah."
Aku terkekeh pelan di akhir jawaban. Tidak melulu anggota OSIS tahu mengenai bermacam kegiatan atau acara yang akan diadakan. Daripada nanti salah menjawab, atau dinilai memberi kabar palsu, lebih baik menunggu kabar dari pihak pembina OSIS, dan para guru yang terkait.
"Ngga ada Kak Bevan sih. Kalo dari awal ada, aku pasti daftar paling pertama. Terus selalu bantuin dia."
"Ehhh bisa begituuu. Yang ada malah nanti kamu modus, Nes. Kamu mah isinya Kak Bevan terus ih." Aku melirik Nesya yang salah tingkah. "Belum pacaran aja bucinnya keliatan."
"Hahaha, gimana pas berhasil ya. Aamiin!"
Aku menggeleng pelan. "Suka-suka kamu, Nes. Aamiin ...."
Ketika baru belok kiri di pertigaan koridor, napasku tercekat, mataku membulat. Dari jarak sekitar empat meter, pandanganku mengarah ke salah satu siswa yang berlawanan arah. Jarak kami dengannya mulai dekat. Dia terlihat berjalan santai, sambil membaca papan nama kelas.
Aku tidak mungkin salah lihat. Laki-laki tadi adalah orang yang selama ini putus komunikasi denganku. Yang sejak tadi mengusik pikiranku, padahal tadinya tidak. Aduh, bagaimana ini. Aku belum siap jika harus bertemu dia sekarang. Rasanya mau putar balik, agar tidak berpapasan dengannya.
Kira-kira sekarang berjarak dua meter. Dengan perlahan aku sedikit mendekat ke Nesya, tak lupa memanfaatkan buku yang dari tadi di tangan. Setidaknya buku ini bisa membantu menutupi wajahku yang tidak tahu apakah dia masih mengingatnya atau tidak.
"Permisi, mau nanya sebentar."
Ah, dia bertanya sama siapa? Sama Nesya 'kan ya? Kalau begitu aku akan berjalan ke kelas duluan. Baru maju selangkah, lengan bajuku ditahan Nesya.
"Tungguin," ujarnya kepadaku. "Nanya apa ya?" Nesya kembali bertanya pada dia.
"Toilet cowok sebelah mana?"
"Ohh, ada di lantai dua. Pertigaan, belok kanan."
Aku hanya menyimak. Membiarkan Nesya saja yang menjawab pertanyaannya. Pikiranku sendiri masih sibuk bertanya, mengapa ada dia di sini. Selama ini ke mana?Dia bagai lenyap ditelan bumi. Tidak pernah mengunggah story di media sosial, dan juga mengupload fotonya sama sekali. Memangnya ada yang seperti itu? Ada. Dia salah satunya. Arka El-Fatih, manusia yang dulu kulabuhkan perasaan lebih dari teman. Si langganan ranking satu, tapi sangat hobby mengganggu.
Jika dia benar pindah ke sekolah ini, semoga kami tidak sekelas. Misalkan sekelas, semoga kembali menjadi seperti orang asing yang pertama kali bertemu.
"Ayo, Syif."
Aku mengerjap saat mendengar ajakan Nesya dari depan. Sejak kapan dia sudah di depanku?
"Eh, iya ayo," jawabku kemudian menyusulnya. Bisa-bisanya aku melamun. Aku menoleh ke sekitar, mencari sosok Arka yang ternyata tidak berjalan sesuai arahan Nesya. Punggung tegapnya menghilang di belokan koridor.
"Dia nggak jadi ke toilet?"
"Tadi sih bilangnya mau ke kantin dulu, Syif." Aku hanya mengangguk paham. "Masa kamu nggak denger? Terus juga kenapa tadi mau main kabur aja? Kamu kenal sama anak tadi?"
Bisa-bisanya diserbu pertanyaan seperti itu. Aku sama sekali belum pernah menceritakan apapun mengenai Arka. Hanya pernah mengatakan, kalau aku memiliki teman laki-laki yang menyebalkan, tetapi selalu dibanggakan semua orang. Terutama para guru ketika aku dan dia masih berseragam putih merah, dan putih biru.
"Ah, nggak. Aku nggak kenal. Cuma buru-buru mau ke kelas. Ada yang mau pinjam buku catatan," jawabku berbohong, tetapi Nesya langsung percaya.
"Dikirain kenapa." Aku menghela napas lega. "Eh, Btw ... yang tadi tuh anak baru, 'kan? Mukanya sebelas dua belas sama Kak Bevan deh. Cakepnya maksudnya."
Aku mengedikkan bahu, kemudian meliriknya sekilas. "Langsung berpaling, Nes?"
"Nggak dong. Nesya setia." Aku tersenyum mendengarnya. Pun dengan ucapan selanjutnya. "Kalo udah capek, baru aku berpaling, Syif."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebatas Teman?
Teen FictionHarusnya aku tahu, menjalin persahabatan antara laki-laki dan perempuan, ada yang perlu dikhawatirkan. Iya, adanya perasaan tanpa direncanakan. Aku tidak menyesal memendam perasaan padanya cukup lama. Namun, justru aku sangat menyesal karena menuli...