- 01. Jangan berharap banyak

6K 180 44
                                    

“Setiap manusia pernah dibawa oleh tingginya harapan, dan dilepaskan karena suatu kenyataan.”

Mataku lanjut menyapu deretan kalimat selanjutnya.

“Ada juga rasa yang hadir karena terbiasa, tanpa direncana. Sulit dideteksi, dan rumit didefinisikan. Seiring berjalannya waktu, ternyata—”

“Ternyata apa?”

Aku terdiam. Lisanku terasa sulit mengeluarkan lanjutan kalimat yang belum selesai kubaca. Kalimat demi kalimat di salah satu halaman seolah mengusik apa yang pernah aku alami.

Pada jam istirahat seperti ini, tepatnya setelah menandaskan seporsi Mie Ayam, biasanya aku gunakan untuk melanjutkan bacaan novelku. Namun, karena kebetulan sedang kehabisan bacaan, Nesya—teman sebangku sekaligus sahabat—menyuruh aku membacakan kutipan di novel miliknya tersebut.

Awalnya bermaksud hanya menunjukkan, siapa tahu aku berminat meminjamnya. Begitu katanya sebelum kami keluar kelas dan pergi ke kantin.

Daftar bacaan Nesya bisa menjadi daftar bacaanku. Sedangkan daftar bacaanku, tidak bisa menjadi daftar bacaannya. Kita memang berbeda selera.

Nesya mengeluarkan tatapan bingung. Tidak ingin membuatnya penasaran, aku melanjutkan kalimat tadi. Ternyata novel pilihan Nesya membuatku tertarik untuk membaca semuanya sampai selesai. Lain kali aku akan meminjamnya, menuruti rasa penasaran akan  bagaimana endingnya nanti. Memang terasa sakit mengungkit luka lama. Namun, mau bagaimana lagi? Aku sangat penasaran.

“Ternyata … Ternyata tidak semua rasa diharuskan sampai ke pemiliknya.”

“Syifaaa ....”

“Kenapa, Nes?” tanyaku pada Nesya yang matanya mulai berkaca-kaca. Bila aku ingat-ingat, saat itu Nesya pernah cerita tentang masa lalunya, dan tentang kakak kelas yang dia kagumi. “Ah, biar aku tebak! Kamu kepikiran mantan?”

Nesya menggeleng. “Bukan mantan, Cipaa ... Mantan mah ngga perlu diinget lagi!”

Aku terkekeh pelan. Berarti tebakanku yang kedua pasti benar.

“Hmm, jangan-jangan kakak kelas yang jadi gebetan kamu ya? Kak Bevan?”

Akhirnya Nesya mengangguk. Dia menoleh ke sekitar, seperti memastikan sesuatu. Lalu setelahnya, suaranya mulai mengecil.

“Syif, ngomongnya pelanin dong, takut ada yang denger.” Aku mengangguk. Jeda beberapa detik, dia melanjutkan bicaranya.

“Kayanya aku ngga mau tau kelanjutan novel yang tadi, Syif.”

Aku terkejut. Serius, Nesya tidak mau menyelesaikan bacaannya? Setahuku dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.

“Beneran, Nes? Yang tadi aku baca tuh baru halaman awal, ibaratnya baru pembukaannya. Kalo kamu ngga mau lanjut, biar aku yang lanjutin di rumah nih,” ujarku dengan maksud bercanda, tapi kalau dianggap serius tidak apa-apa.

“Iya, Cipaa … beneran. Takutnya jadi pesimis. Aku bacanya nanti aja, kalo berhasil jadian sama dia, hehe.”

Kalian jangan bingung ya. Nama lengkapku Syifa Azura. Aku memang suka dipanggil Syifa, atau Cipa. Sebenarnya ada panggilan lain lagi, yaitu … Rara. Nanti kalian akan tahu, siapa saja yang memanggilku dengan nama itu.

Hanya Sebatas Teman?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang