- 07. Hujan dan perdebatan

1K 58 9
                                    

'Kita dekat dalam waktu yang tidak singkat. Memori yang tercipta pun semakin banyak dan selalu melekat. Namun, sayangnya hati kita tersekat. Sudah terikat dengan label sahabat'

---

"Gerimisnya makin deres, Raaa! Mana aku lupa bawa jas hujan ... Neduh dulu ya, di halte?"

"Tanggung deh kayanya, Lif. Haltenya juga udah pada penuh tuh!” ujarku menunjuk ke halte depan sana. Beberapa pengendara menepi, guna berganti memakai jas hujan. Ada juga pejalan kaki yang sengaja berteduh, sambil menunggu bis kota. Dan ada pun yang sekadar menanti gerimis benar-benar berhenti, baru lanjut pergi lagi.

“Apanya yang nanggung, Raa? Nanggung sebentar lagi deres? Kita mampir aja ke situ deh. Masih agak sepi.”

Alif menepikan motornya di depan pedagang kaki lima. Tepatnya di tukang bakso yang tidak jauh dari sini. Tempatnya juga aman dari hujan, dan parkirnya mudah. Kami segera turun sebelum pakaian kami benar-benar basah.

Aku mengekor di belakang Alif sampai menempati salah satu tempat yang masih kosong. Membiarkan Alif memanggil penjualnya, aku mengeluarkan kotak kacamata dari tas. Kacamataku berembun. Aku jadi tidak bisa melihat dengan jelas.

“Ra, mau pesen apa? Bakso atau mie ayam?” tanya Alif saat aku masih sibuk membersihkan kacamata. Padahal di rumah Nesya sudah makan cukup banyak, tapi kenapa mendengar dua makanan itu jadi lapar lagi? Apalagi makannya disaat cuaca dingin seperti ini.

“Apa ya?” Aku malah bertanya balik, karena belum memutuskan. Mataku mendapati tulisan di spanduk yang membuatku semakin bingung. Perkara mau pesan makanan saja aku lama.

“Kok nanya aku? Ya aku nggak tahu kamu maunya apa.”

“Di sini ada bakso hamil? Aku itu aja deh, Lif.” Aku sudah memutuskan, ketika Alif belum paham maksudku. “Pak, aku bakso hamil mercon ya.”

Bapak penjualnya langsung mencatat pesananku. Dia sudah pasti paham apa yang aku maksud. Berbeda dengan Alif, dia masih mencerna apa yang kukatakan.

“Bakso hamil mercon?” tanya Alif. “Itu tuh bakso beranak yang super pedes itu?”

Aku mengangguk semangat. “Iya … Alif. Sama aja, ‘kan? Namanya emang bakso beranak, tapi aku nyebutnya bakso hamil.”

“Dimana-mana namanya bakso beranak, Ra. Eh tapi aku nggak ngebolehin.” Tuh kan. Setiap kali makan bersama manusia di depanku ini, pasti ada saja yang dia larang. Padahal yang makan aku sendiri, bayar sendiri, dan tanggung jawab sendiri kalau ujungnya kenapa-kenapa.

“Ih, aku maunya itu, Al … Hujan-hujan gini enak banget makan yang pedes-pedes gitu. Aku jarang nemu, jarang makan itu juga.”

“Ra … itu mungkin emang enak banget, tapi belum tentu cocok sama perut kamu. Sebelumnya udah makan ceker mercon. Sekarang bakso beranak mercon? Kamu cinta banget sama mercon sih?”

“Karena itu semua enak. Kamu kalo penasaran juga, pesen aja yang sama kaya aku. Pokoknya aku pesen bakso hamil mercon. Titik.”

Sayang sekali Alif tidak terlalu suka pedas. Jadi tidak tahu betapa enak dan nikmatnya. Aku berusaha memperjuangkan keinginanku terhadap bakso hamil mercon. Kasihan bapak penjual di samping meja kami jadi bingung.

Hanya Sebatas Teman?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang