Di sebuah ruangan bernuansa putih, terdapat seseorang yang tengah berbaring dengan kedua mata yang masih tertutup. Di sampingnya terdapat seseorang yang tengah duduk dan setia memperhatikan sesosok itu. Sudah setengah jam lebih dan belum ada pergerakan sama sekali pada gadis yang masih berbaring lemah. Membuat sosok laki-laki itu sangat khawatir.
Setengah jam yang lalu, Haidar sangat shock ketika mendapati Beena yang tiba-tiba ambruk. Gadis itu pingsan. Dan Haidar berteriak menyebut nama gadis itu. Dengan cekatan Beena langsung membawa Beena ke kamar gadis itu. Sedangkan ayah Beena yang baru saja mengetahui putrinya pingsan juga sangat khawatir. Beliau langsung memberitahu istrinya perihal tersebut lewat panggilan telephone. Sehingga, Ibu Beena pulang sebelum pengajian selesai.
Keadaan Beena masih sama, belum siuman. Hal itu lah yang membuat Haidar menjadi khawatir sekali dengan keadaan gadis itu.
"Nak Idar, sholat dulu gih. Biar Ibu yang ganti jaga Beena. Ibu sudah sholat tadi" sesosok Ibu Beena datang menghampiri Haidar dan menyuruh anak itu untuk menunaikan sholat dzuhur terlebih dahulu.
Haidar mengangguk, dia langsung berdiri dan sebelum dia pergi dia menyampatkan terlebih dahulu melihat Beena.
Kali ini, giliran Ibu Beena yang menjaga putrinya yang masih belum sadar kan diri. Jihan menatap nanar putrinya. Mengelus lembut kepala putrinya dengan penuh kasih sayang.
Beena belum siuman, bahkan minyak kayu putih pun tak mempan. Jihan, bingung harus dengan cara apa. Untuk kesekian kalinya Jihan mengoles minyak kayu putih tersebut tepat di hidung putrinya. Semoga saja, kali ini berhasil membuat Beena siuman.
"Bangun nak, Ibu dan bapak khawatir sama kamu, nak. Apalagi nak Idar. Dia setia njagain kamu lho" lirih Jihan.
Tanpa di duga, kedua kelopak mata Beena bergerak. Dan perlahan terbuka. Membuat Jihan merasa lega dan senang. Putrinya kali ini sudah siuman. Membuat dia sangat bersyukur.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Beena"
Pandangan Beena sudah mulai jelas, dan gadis itu langsung mendapati Ibunya dengan senyum lembutnya melihat kearahnya.
"Ibu? Tadi Beena kenapa? Kok Beena ada disini? Kak Idar sudah pulang ya, Bu?" Beberapa pertanyaan langsung muncul dari mulut Beena.
Jihan menggeleng-nggeleng kecil kepalanya mengenai beberapa pertanyaan tersebut yang tertuju padanya.
"Satu-satu dong nanyanya. Kamu tadi pingsan Beena. Untuk ada nak Idar. Dia langsung bawa kamu ke kamar" jelas Jihan dengan tangan kanannya yang sibuk mengusap lembut puncak kepala putrinya yang tertutup oleh kerudung.
"Beena pingsan?" dia terkejut apa yang tadi terjadi dengan dirinya. Jihan hanya mengangguk.
"Iya, lo pingsan tadi. Untung gue langsung bawa lo kesini. Walaupun lo itu sedikit berat tadi" tiba-tiba Haidar sudah muncul saja. Anak itu berada tepat di pintu kamar Beena.
"Apa kata lo tadi? Gue berat? Yang bener aja. Badan kurus gini di bilang berat" ada sedikit rasa kesal mengenai ucapan yang Haidar lontarkan tadi. Setelah berbicara itu Beena berdecak dan pandangannya melengos kearah lain. Jihan terkekeh kecil melihat kelakuan kedua anak itu.
"Makanya, Beena. Kalo mau puasa, jangan lupa sahur juga. Kamu pasti ngga sahur kan? terus kamu paksain puasa aja" omel Jihan pada putrinya yang hanya merespon dengan cengiran lebar saja.
Haidar sedikit terbebalak atas mendengar kenyataan tadi. Jadi, itu lah yang menyebabkan Beena pingsan.
Anak laki-laki melangkahkan kakinya maju dan mendekat kearah Ibu dan anak itu. Kedua mata Haidar tak lepas dari Beena.
Jihan membantu putrinya untuk mengambil posisi duduk dengan bantal yang menjadi senderan punggungnya. Sedangkan Haidar kini sudah berada di tepat di samping ranjang Beena. Disamping Ibunya Beena berada.
"Jadi, Beena ngga sahur, Bu?" tanya Haidar sekedar mencari kejelasan dari mulut sang Ibu gadis itu.
Jihan mengangguk, dia menoleh sebentar kearah putrinya sebelum dia menjawab pertanyaan yang tadi Haidar lontarkan.
"Iya, Beena itu tadi bangun kesiangan dan ngga sempet sahur dia. Tapi dia tetep paksain puasa aja" jelas Jihan pada Haidar. Laki-laki itu kemudian mengangguk pelan dan sudah merasa jelas mengenai apa yang terjadi pada Beena hari ini.
Haidar langsung menoleh kearah Beena yang kebetulan sedang menatapnya juga.
"Itu, kalo ngga sahur jangan di paksain juga. Kan jadi kaya gini. Kalo lo kuat sih ya udah ngga papa. Tapi ini, lo aja ngga kuat dan malah berakhir pingsan!" kali ini giliran Haidar yang mengomeli Beena, yang sebelumnya sudah Jihan lakukan.
Beena sedikit tertegun.
Ini pertama kalinya Haidar mengomeli dirinya walau raut mukanya menandakan rasa khawatir yang sangat mendalam.
"Kan udah ada niat dari tadi malamnya. Kalo ngga di terusin kan percuma" sahut Beena kemudian setelah terjadi keheningan beberapa detik setelah Haidar mengomelinya.
"Ya sudah, Ibu mau keluar sebentar dulu. Nak Idar tolong jagaian Beena sebentar ya"
"Baik, Bu" Haidar mengangguk dengan patuh. Jihan tersenyum kecil, kemudian wanita setengah baya itu beranjak keluar dari kamar putrinya.
Haidar duduk, di pinggiran ranjang Beena, laki-laki itu masih menatap lekat kearah gadis itu. Tubuh Haidar perlahan maju mendekat kearah Beena dan salah satu tanganya mengusap lembut puncak kepala Beena. Sehingga, tanpa sadar telah membuat kedua pipi Beena bersemu.
"Jangan di ulangi lagi Beena, gue ngga mau kejadian ini terulang lagi. Paham?" Setelah berucap seperti itu, Haidar menatap tepat kedua mata Beena. Yang ditatap pun agak salah tingkah karena ditatap dengan jarak yang cukup dekat.
Mulut mungil Beena entah kenapa seperti tidak bisa bicara sedikitpun. Bahkan mulutnya hanya bisa tertutup rapat. Sedangkan jantungnya bekerja dua kali lipatnya."Minum, batalin tuh puasanya. Badan lo juga butuh cairan"
Tubuh Haidar perlahan menjauh, membuat keadaan Beena menjadi sedikit lega. Anak laki-laki itu mengambil segelas air putih.
"Nih minum dulu"
"Tapi kan udah ada setengah hari lho, masa iya di batalin"
"Ya tapi tubuh lo kan butuh cairan Beena, lo pasti lemes tuh"
Beena menggeleng cepat.
"Ngga kak, gue ngga mau. Udah mendingan kok. Gue mau lanjut puasa aja"
Mendengar jawaban dari Beena yang masih menolak membuat Haidar menghela nafasnya. Anak laki-laki itu menaruh kembali gelas tersebut ke tempat semula.
"Ya udah kalo gitu. Yakin lo kuat sampai adzan maghrib tiba?"
"Iya, kuat kak. Ngga usah khawatir deh" jawab Beena sambil mengangguk. Haidar tersenyum kecil dan mengusap-usap kembali kepala Beena. Kali ini dengan tempo yang cepat. Lalu dia langsung menarik tanganya menjauh dari kepala Beena. Raut mukanya masih menampilkan senyuman yang tanpa laki-laki itu ketahui bisa membuat hati Beena berdesir melihatnya.
Lagi-lagi membuat Beena menjadi sedikit ada rasa yang aneh dalam tubuhnya. Apalagi pipinya memanas setelah perlakuan Haidar barusan.
"Gimana gue ngga khawatir, Na? Karena lo itu penting buat gue
Kenapa kakak kelasnya itu sering kali membuat dirinya menjadi seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
BEENA (Completed)
Teen Fiction"Lo itu bagaikan permen yang masih di bungkus rapi dan belum tersentuh oleh serangga, berbeda dengan permen yang sudah di buka bungkusanya. Mereka para serangga atau lebih tepatnya semut akan mendekatinya dengan banyaknya mereka. Jadi, intinya lo it...