Bab Tiga

9.6K 743 5
                                    

Tok... tok...

Arfan mengalihkan perhatiannya sejenak dari layar laptop di hadapannya. Ia menatap pintu ruang kerjanya yang perlahan terbuka. Sosok istrinya menggunakan gamis polos berwarna putih dengan jilbab instan warna merah muda yang menutup rambutnya dengan sempurna.

“Assalamu’alaikum, mas.”

“Wa’alaikumsalam. Kenapa belum tidur?” tanya Arfan saat melihat jam di meja kerjanya yang sudah menunjuk angka 11 malam.

“Itu... Nadia mau izin mas. Nadia keluar sebentar mau beli obat.”

Arfan sontak saja langsung berdiri dan berjalan menghampiri istrinya. Ditatapnya wajah istrinya dengan ekspresi yang sulit di baca kemudian dihembuskannya nafasnya perlahan.

“Kenapa? Kamu sakit?”

Nadia menatap sosok pria di hadapannya. Dalam hati ia membanding-bandingkan sosok suaminya yang sekarang dengan sosok Revan dulu. Revan memang lebih bersikap lembut, perhatian, dan selalu bisa mencarikan suasana tegang seperti sekarang.

Sedangjan Arfan. Dia terkesan kaku, tak banyak bicara, sesekali berbicara dengan nada tinggi, dan sangat minim ekspresi. Hanya satu kesamaan diantara keduanya sebagai saudara. Bahwa baik Revan maupun Arfan akan bersikap tegas dan sangat protektif.

Astaghfirullah. Nadia lantas menundukkan kepala merasa malu. Tidak sepantasnya dia membanding-bandingkan suaminya dengan almarhum Revan. Seharusnya dia sudah menata hati. Sudah memantapkan hati untuk menyerahkan semaunya—termasuk hati dan pikiran yang dihiasi nama Revan—hanya untuk Arfan seorang.

Tapi lihatlah sekarang. Nadia bahkan dengan lancang membandingkan nya dengan sosok Revan. Yang sudah pasti akan menyulut emosi suaminya kembali jika sampai Nadia secara terang-terangan membandingkannya.

“Nadia? Mas tanya sama kamu, kamu sakit? Jawab mas!”

Nadia berdeham pelan kemudian memegang perutnya yang kembali terasa perih. “Nad... Nadia cuman sakit perut mas.”

Nadia kembali meringgis saat diterpa rasa perih luar biasa. Sejak siang perutnya itu tidak diisi makanan apapun. Ia hanya mengganjal perutnya dengan air. Sesampainya di rumah pun karena Arfan yang masih memendam rasa kesal kepadanya dan langsung menyibukkan diri di ruang kerja. Nadia memutuskan untuk langsung tidur tanpa mengisi perutnya terlebih dahulu.

Lalu satu jam kemudian, sengatan perih itu kembali mengusiknya. Ia terbangun dan tanpa pikir panjang langsung pergi menemui suaminya. Dan disinilah ia sekarang, meremas perutnya kuat, berdiri mematung di hadapan suaminya mencoba menahan sakit yang sudah tak mampu ia tahan-tahan lagi.

“yasudah mas antar ya. Ini sudah sangat malam. Gak baik keluyuran di luar seorang diri.”

Arfan berbalik dan kembali ke meja kerjanya. Mematikan laptop kemudian meraih jaket yang ia sampirkan di sofa. Bukan untuk ia kenakan. Pria itu justru menyampirkannya di pundak sang istri kemudian mengusap puncak kepala nya dengan lembut.

Nadia yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya yang terasa memanas.

***

Arfan memilih-milih Snack dan beberapa roti serta kebutuhan lainnya dengan seksama. Sesekali ia akan menoleh ke samping kiri atau kanan mencari sosok istrinya yang tak kunjung datang.

Sesampainya di supermarket yang buka 24 jam, Nadia langsung pamit pergi ke bagian obat-obatan meninggalkan Arfan. Bahkan setelah 10 menit berlalu, istrinya itu belum kembali dari usahanya mencari obat.

Arfan memilih untuk bersikap santai. Barangkali istrinya itu sedang mencari barang lainnya yang akan ia beli. Dan baru akan menemuinya saat kebutuhannya sudha terpenuhi.

Disisi lain Nadia berjongkok lemah menekan tangannya di ulu hati. Kini bukan hanya rasa perih, rasa mual juga ia rasakan kini.

Dengan tangan gemetar, Nadia meraih obat yang hendak di belinya. Tetapi bahkan belum sempat ia menjangkaunya tubuhnya ambruk lebih dulu menyentuh tanah. 

“ Astaghfirullah, Allahuakbar, sakit sekali.” Ucapnya lirih dengan kedua mata yang sudah mengeluarkan cairan bening.

Ia sudah tak mampu lagi menahan sakitnya. Dengan lemah ia mencoba bangkit kembali namun tubuhnya lagi-lagi ambruk lemah tak berdaya.

Akhirnya Nadia hanya mampu pasrah saat orang-orang mulai datang mengerumuninya. Ia memejamkan mata dengan hati yang tiada henti mengucapkan istighfar memohon pertolongan kepada Allah agar diberi kekuatan.

Mulutnya terbuka memanggil satu nama yang saat ini sangat dibutuhkannya. Arfan. Ia memanggil nama itu berulang kali sebelum akhirnya kegelapan merenggutnya secara paksa.

***

Allohumma robbannaasi adzhibii ba'sa asyfi antasyaafi laa syifaa'a illa syifaauka syifaa'an laa yughoodiru saqomaa.

Ya Allah wahai Tuhan segala manusia, hilangkan lah penyakitnya, sembuhkanlah ia. Engkau Zat Yang Maha menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain.

Arfan menggenggam jari jemari Nadia dengan erat. Berulangkali ia membacakan do'a untuk kesembuhan istrinya itu.

Ia merasa kalut saat mendapati Nadia jatuh pingsan di supermarket. Sudah dua jam dan sampai sekarang Nadia belum juga membuka kedua matanya.

“Bangunlah. Aku mohon.” Bisiknya lirih.

Ia berdiri dari duduknya kemudian membungkuk dan mengecup kening istrinya dengan lembut.

“Sayang, bangunlah. Bangunlah istriku.”

***

Assalamu'alaikum.
Maaf sebelumnya belum sempat aku edit. Semoga suka ya 💞 vote and comment jangan lupa

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang