Malam itu hujan menyapa bumi. Semilir angin masuk melalui celah-celah jendela menyapa setiap manusia dengan udara dingin yang terasa membekukan tubuh.
Arfan duduk termenung, menatap sosok gadis kecil yang kini terbaring koma setelah menjalankan operasi yang menghabiskan waktu cukup lama.
Arfan merasakan kegelisahan luar biasa. Ia takut, saat Jessica mengabarinya bahwa Aina-nya, gadis kecilnya, menjadi korban tabrak lari di depan rumahnya sendiri. Akibatnya, kepalanya terbentur cukup keras dan berakhir dengan Aina yang harus di operasi dan kini mengalami koma.
Arfan mendesah pelan, ia pejamkan kedua matanya seraya menyenderkan tubuhnya di kursi tepat di samping brankar. Ia berulang kali menyebut nama Nadia, berulangkali mengucap maaf, namun tak bisa hanya untuk mengangkat tubuhnya disana dan membawanya untuk kembali ke rumah keluarganya.
Maaf
Arfan tersenyum tipis. Ia gagal, ia telah gagal memegang janji yang dibuatnya sendiri. Ia telah gagal menjadi seorang imam, menjadi seorang kepala rumah tangga.
Yang ia lakukan kini bukan membahagiakan , justru memberikan beban yang terus menerus ia torehkan di hati sang isteri.
Ya Allah ampuni hamba.
Suara pintu di ketuk menyadarkan Arfan dalam lamunan. Sosok ibunya masuk dengan sorot mata penuh kekecewaan. Arfan tahu, sangat tahu. Bukan hanya Nadia dan Rais yang ia kecewakan kini. Tapi juga banyak sosok lain di luar sana yang dibuatnya kecewa atas apa yang ia lakukan.
Kemana Arfan yang bisa bertindak tegas seperti dulu? Kemana Arfan yang bisa mengambil keputusan dengan adil tanpa merugikan kedua belah pihak?
Nyatanya semuanya sudah berubah. Arfan terlalu larut dalam sandiwara “sosok ayah Aina” yang pada kenyataannya ia mengetahui bahwa kenyataannya bukanlah dia sosok pria yang pantas dipanggil gadis itu ayah.
Atau bahkan ia pun tidak pantas dipanggil Abi oleh putranya Rais?
Arfan malu, sebagai sosok lelaki ia terlalu lemah dihadapkan pada situasi seperti saat ini?
“Assalamu’alaikum , Fan.”
Arfan mengangguk kemudian meraih tangan ibunya dan mengecup punggung tangannya dengan takzim.
“wa’alaikumsalam, Bu.
“Kamu gak pulang?” tanya sang ibu seraya mengusap rambut poni cucunya itu.
Ya, bagaimanapun wanita itu ingin melupakan masa lalu yang begitu kelam tentang kedua putranya. Ia tidak bisa begitu saja mengabaikan sebuah fakta bahwa Aina tetaplah cucunya.
Arfan diam saja. Ia tahu ibunya tidak memerlukan jawaban saat ini. Cukup dengan melihat penampilan Arfan kini, ia sudah tahu bahwa putranya tidak pulang semalam.
“Ibu kecewa sama kamu Fan.” Ucap ibunya lirih.
“Sudah berapa kali kamu biarkan istrimu menangis seorang diri?”
Entahlah, jawab Arfan dalam hati.
Arfan menatap lurus-lurus sosok Aina. Ia bingung harus bagaimana sekarang. Disisi lain Arfan ingin pulang, tapi di sisi lain ia ingin berada disini. Menemani Aina, menguatkan gadis kecil itu agar senantiasa tegar, kuat, dan tetap semangat untuk kembali pulih
Lantas kemana ibunya? Kemana Jessica?
Arfan lagi-lagi mendesah. Mengingat wanita itu yang memang selalu egois.
Setelah Arfan berhasil menenangkannya, Jessica mendapatkan panggilan dari sosok ibunya.
Ada seorang tamu yang ingin bertemu dengannya, begitulah kiranya alasan yang diucapkan ibunya dan berakhir dengan Jessica yang meninggalkan Aina sendiri dan belum juga kembali sampai saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keikhlasan Hati
Spiritualité#47 - Spiritual #65 - Spiritual #75 - Spiritual #100 - Spiritual *** Bagaimana jadinya jika pernikahan yang baru berjalan satu bulan kini kandas karena ditinggal suami untuk selama-lamanya? Lantas bagaimana jadinya jika akhirnya ia dinikahkan den...