Bab Tujuh

9.4K 704 2
                                    

Suara Adzan terdengar mengalun lembut memasuki gendrang telinga. Arfan yang sudah bangun lebih dulu dan melaksanan shalat tahajud kini tengah berjuang membangunkan isterinya.

Nadia hanya melenguh pelan kemudian merubah posisi tidurnya tanpa membuka kedua matanya. Arfan mendesah pelan kemudian mengecup seluruh permukaan wajah isterinya dengan gemas sampai pemilik wajah menggeliat tidak nyaman.

“Nadia, bangun! Kita shalat berjamaah yuk.”

Nadia perlahan membuka kedua matanya. Mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan silau cahaya lampu yang sudah dinyalakan Arfan lebih dulu.

Arfan masih setiap menciumi permukaan wajah isterinya sampai membuat Nadia jengah dan menatap Arfan dengan malas.

“Mas kenapa sih?”

“Memangnya mas kenapa?” tanya Arfan tanpa dosa.

Ia menjauhkan wajahnya dari wajah Nadia. Mengulum senyum saat melihat wajah Nadia yang sudah Semerah tomat.

“Tumben cium-cium.”

Arfan terkekeh, dengan gemas ia kembali mengecup keningnya berulang kali kemudian turun dari atas ranjang.

“Mandi ya. Mas sudah siapkan air hangatnya.”

Nadia hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Ia kemudian berjalan ke arah kamar mandi dan langsung membersihkan diri tanpa menunggu lebih lama lagi.

***

Nadia tersenyum sumringah saat melihat suasana rumah milik suaminya yang tampak ramai. Di ruang makan tampak sosok suaminya tengah bercanda dengan kedua orang tuanya. Tertawa lepas seolah-olah tidak pernah ada beban yang menghimpit kehidupannya kini.

Sejenak tubuh Nadia mematung. Dulu, ia pernah merasakan hal seperti ini. Bedanya, posisi pria yang kini tengah tertawa bersama di meja makan dulu adalah sosok Revan, dan kini sosok itu tergantikan dengan sosok Arfan.

“Lho? Nadia sayang, kenapa diem disitu? Sini gabung sama ayah sama ibu, kita mulai sarapannya.”

Nadia tersenyum kikuk kemudian berjalan mendekat dan memilih duduk tepat di samping suaminya.

Arfan menyadari ada sesuatu yang terjadi pada istrinya. Wajah itu terlihat sendu, tatapannya kembali terlihat kosong sangat berbeda sekali dengan tatapan berbinar yang ia tunjukan seusai shalat berjamaah tadi.

“Gimana keadaan kamu? Sudah baikan?” tanya ibu Arfan seraya memberikan satu piring nasi goreng untuk suaminya.

Nadia melakukan hal yang sama. Menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum menjawab pertanyaan dari ibu mertuanya tersebut.

“Alhamdulillah, Bu. Sudah baikan.”

“ Alhamdulillah, lain kali jangan tunggu Arfan dulu. Kalau memang kamu sudah lapar makan saja duluan. Anak ibu itu memang selalu lupa waktu kalau sudah kerja.” Jelasnya panjang lebar.

“Iya, ibu.”

“Jangan tunggu lapar dulu kalau mau makan. Kalau maag nya kambuh siapa yang repot? Siapa yang rasain sakitnya? Nadia juga kan.”

Nadia kembali mengangguk kepala patuh. Ia mulai memasukan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya saat tiba-tiba tangan suaminya mencekal tangannya menahan gerakannya.

“Kenapa mas?” tanya Nadia keheranan.

“Nasi gorengnya kepedesan.” Ucapnya santai.

Nadia menatap bingung suaminya meminta penjelasan.

“Kamu baru saja sembuh, Nadia. Mas gak mau maag kamu kumat lagi gara-gara makan pedes di pagi hari. Tadi ibu buatkan roti bakar isi selai stroberi. Kamu makan itu saja ya.”

Nadia terperangah. Menatap piring kecil berisi 4 potong roti. Ia tidak terbiasa makan roti sebagai menu sarapannya. Kalaupun ia memakan roti di pagi hari, itu hanya akan bertahan satu jam untuk mengganjal rasa laparnya.

“Tapi—“

“Nadia!” ucap Arfan tegas, “Makan rotinya sekarang!”

Dengan menghela nafas berat Nadia akhirnya memakan roti tersebut dengan malas. Menatap ketiga orang yang menyantap nasi goreng dengan lahap membuatnya kesal setengah mati pada sosok suami yang tanpa berdosanya memakan nasi goreng yang seharusnya menjadi jatahnya itu.

***

Jalanan kota Bandung sedikit macet pagi itu. Maklum saja hari ini bertepatan dengan akhir pekan dimana beberapa orang memilih untuk menghabiskan waktu bersama keluarga di luar.

Nadia menatap jalanan dengan malas. Sedari tadi ia mengacuhkan suaminya yang terus menerus mengajaknya bicara. Nadia masih kesal, hari ini suaminya benar-benar berbeda dan tingkah lakunya benar-benar membuatnya kesal.

“Nadia? Masih marah sama mas?”

Menurut mas? Batinnya dalam hati.

Nadia mendesah pelan dan akhirnya mengalah karena merasa tidak enak pada suaminya itu. Ia menoleh menatap sosok Arfan yang tampak serius mengemudi.

“Nadia gak marah kok mas.” Cicitnya pelan, “Cuman kesal aja. Nadia gak suka sarapan makan roti. Tapi mengingat Nadia yang memang sedang tidak fit, dan mas mencoba memberi perhatian yang memang sedikit membuatku kesal. Nadia jadi merasa bersalah karena sudah mendiamkan mas.”

Arfan menoleh dan melemparkan senyum tipis andalannya. Nadia tahu ada yang berbeda dengan suaminya hari ini. Perhatian, ciuman, semua itu ia dapatkan pagi ini. Jelas sekali hak itu sangat berbeda dengan sosok Arfan beberapa waktu lalu. Pria itu bahkan berucap dengan tegas bahwa dia tidak Sudi menyentuhnya jika masih ada nama pria lain yang tersimpan di hatinya.

Dan sampai kini, hati Nadia masih terisi satu nama pria yang sudah pergi meninggalkan nya untuk selama-lamanya.

“Langsung pulang atau jalan dulu?” tanya Arfan saat lampu jalan berubah warna merah.

Nadia tampak berpikir sejenak dan tiba-tiba saja ia ingin menghabiskan waktu bersama pria yang duduk di sampingnya hari ini. Nadia ingin mengenal lebih jauh sosok suaminya, mantan kakak iparnya yang tak pernah ia jumpai selama satu bulan usia pernikahannya dengan Revan.

“Kita jalan ke BIP yuk mas?” tawar Nadia.

“BIP? Ngapain?”

“Belanja. Nonton juga mungkin? Pokoknya jalan aja.”

Arfan berdeham pelan seakan tengah mempertimbangkan permintaan sosok isterinya itu.

“Tapi ini masih pagi lho?”

“Ya, kita pulang dulu. Habis Dzuhur aja kita ke BIP nya mas.” Ucap Nadia dengan antusias.

Arfan tersenyum mendengar nada antusias dari istrinya itu. Dengan gemas ia mengacak puncak kepala Nadia yang terturup jilbab kemudian menari tangan wanita itu untuk ia genggam dan sesekali mengecup nya singkat.

“Apapun yang kamu minta. Mas usahakan untuk mewujudkannya.”

Nadia tersenyum lebar, hingga tanpa sadar ia memeluk tangan suaminya dan mengecup pipi kirinya singkat. Gerakan refleks yang tidak disadari Nadia, dan berefek besar pada tubuh suaminya yang seketika langsung membatu dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat.

***

Assalamu'alaikum. Kayaknya ada yang udah berani cium-cium Ni😂 jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥♥

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang