Bab Sepuluh

8.2K 594 7
                                    

Nadia tidur terlentang dengan satu tangan mengusap perut nya. Ia kemudian menoleh ke samping melihat punggung suaminya yang bergerak teratur. Suaminya mungkin sudah terlelap sejak 2 jam yang lalu.

Nadia mendesah pelan, sudah dua hari suaminya bersikap dingin kepadanya. Mendiamkannya dan hanya berbicara seadanya. Jika sebelumnya saat tidur suaminya itu terus memeluknya sampai terlelap. Maka dua hari ini Arfan tidur menungganginya, dan jujur itu membuatnya sedikit terusik. Nadia rindu hal-hal kecil yang biasa dilakukan Arfan kepadanya.

Dengan mencoba menutup mata, Nadia berusaha menghilangkan kegelisahan dihatinya. Tapi perutnya kembali berulah, ada gejolak yang ia rasakan di dalam sana. Sebuah dorongan untuk mengeluarkan semua isi makanan yang ada di dalam perutnya.

Tak mampu menahan lagi, Nadia terburu-buru lari ke kamar mandi. Ia langsung memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Dengan lesu ia berjalan kembali ke atas ranjang dan mencoba memejamkan mata kembali.

Arfan yang sebenarnya hanya pura-pura tertidur merasa terusik dan tidak enak hati saat mendengar suara istrinya yang muntah-muntah. Ia kemudian berbalik dan langsung melihat istrinya dengan posisi meringkuk menghadap ke arahnya.

“Umi...” panggilnya pelan, “Mi, bangun. Kenapa? Perutnya sakit?” Tanya Arfan lembut.

Nadia membuka kedua matanya dan langsung menggeleng lemah sebagai jawaban, “Mual.”

“Mau Abi buatkan teh hangat?”

“Enggak abi. Nadia mau...” bisiknya lirih, “Peluk aja.”

Arfan terperangah. Dengan cepat ia meraih tubuh mungil istrinya ke dalam pelukannya. Ia usap punggung istrinya naik turun dengan lembut seraya mengecup keningnya lembut.

“Abi...” panggilnya ragu, “Nadia buat salah ya? Abi kenapa?”

“Abi gak kenapa-kenapa, umi. Abi sedang menenangkan diri.” Jelasnya.

“Menenangkan diri? Kenapa bi?”

Arfan terdiam sejenak, ia kemudian melerai pelukannya dan menatap lurus ke dalam kedua mata indah milik istrinya.

Dalam hati ia tengah menimang-nimang, antara mengucapkan secara jujur atau lebih baik memendamnya seorang diri. Tapi ia tidak mau istrinya berprasangka buruk. Arfan tidak mau istrinya resah karena sikap nya yang berubah secara tiba-tiba.

“Abi dengan ucapan umi dua hari lalu di rumah umi.” Jelasnya, “Abi langsung pergi saat itu juga. Abi hanya tidak ingin mendengar kelanjutan dari apa yang umi ucapkan.”

“Abi dengar semuanya?”

“Hanya sampai umi yang mengutarakan perasaan bahwa umi masih sangat mencintai almarhum Revan dan sangat merindukannya. Setelahnya Abi langsung pergi dan bersikap dingin belakangan ini.”

Nadia tersenyum penuh arti. Ia kemudian mengusap rahang suaminya lembut seraya mengecup pipi kirinya lembut.

“Mas seharusnya dengarkan sampai akhir. Umi kena marah karena mencintai pria lain disaat umi sudah memiliki suami yang luar biasa baik dan mencintai umi apa adanya. Sampai akhirnya umi berjanji untuk mulai belajar menerima Abi dan mengikhlaskan Revan. Tidak mudah memang, tapi umi akan belajar. Oleh karena itu Abi mau bantu umi kan?”

Arfan merasakan kelegaan luar biasa. Ia kembali memeluk tubuh istrinya erat dan menggunakan ucapan terimakasih berulang kali. Ia benar-benar bersyukur, istrinya mau belajar menerima dan mencintainya. Meski masih ada Revan dihatinya, tapi Arfan tetap akan berusaha membantu istrinya untuk belajar menerimanya.

***

Pagi harinya mual-mual kembali menyerang Nadia. Sejak bangun tidur sampai sekarang pukul 6, entah berapa kali Nadia keluar masuk kamar mandi mengeluarkan cairan yang menyebabkan tubuhnya lemas seketika.

Arfan merasa prihatin. Dengan perlahan ia memijat tengkuk istrinya lembut dan mengolesi kayu putih disekitar perut rata istrinya itu.

“Udah baikan?”

“Mual banget, bi. Gak bisa masuk makanan sedikitpun.”

“Maag nya kambuh?”

Nadia menggeleng lemah. “Nadia makan teratur terus mas. Nadia jugi rutin minum obat kok.”

“Terus kenapa? Kok bisa mual gini?” tanya Arfan yang mulai merasa khawatir.

“Masuk angin paling bi.”

Nadia kembali terbangun saat dirasakannya kembali dorongan untuk kembali memuntahkan isi perutnya. Ia sedikit berlari ke arah kamar mandi dan kembali muntah-muntah sampai tubuhnya merasa lemas dan jatuh terduduk di lantai kamar mandi dengan tubuh lemas.

Arfan dengan gesit membopong tubuh istrinya dan membandingkannya di atas ranjang. Kedua matanya sudah tertutup rapat dengan wajah pucat. Buru-buru Arfan menghubungi dokter pribadi dan menunggu dengan perasaan cemas luar biasa.

***

Assalamu'alaikum, iyaa tahu kependekan. 😂😂 Jangan lupa tinggalkan jejak ♥♥

Keikhlasan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang